Kata perempuan vs kata pria: Di balik pertanyaan ‘Kapan kawin?’

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata perempuan vs kata pria: Di balik pertanyaan ‘Kapan kawin?’
Kamu bete tiap ditanya 'Kapan kawin?' setiap lebaran? Mungkin kamu adalah perempuan. Bagi pria, sepertinya bukan masalah.

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Topik pekan ini adalah momok nomor satu para lajang setiap lebaran: Pertanyaan kapan kawin.

——–

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri

Edisi lebaran!

Lebaran sudah di depan mata. Di Indonesia, lebaran bukan hanya tentang hari kemenangan, silaturahmi, atau bahkan angpao. Ada satu tradisi yang cukup menyebalkan bagi para lajang di seantero negeri: datangnya pertanyaan “kamu kapan kawin?”.

Pertanyaan ini pertama kali muncul 4 tahun lalu saat saya dengan bodohnya membawa pacar ke pernikahan saudara jauh saya. Saat itu saya hanya tertawa lebar, wong S1 saja belum lulus, ya masa mau nikah. Mau nanti setelah nikah cuma mampu makan Anak Mas setiap hari?

Empat tahun kemudian, pertanyaan itu ternyata menjadi semakin menyebalkan. Akhirnya saya tahu kenapa orang-orang benci kalau ada yang menanyakan hal ini, sampai-sampai ada film yang dibuat untuk membahas masalah nasional ini.

Tante, bude, uwak, dan saudara-saudara yang sebenarnya kita juga tidak dekat, tahukah kalian jika:

1)  Bertanya “kapan kawin?” tidak serta merta menjadikan yang ditanya cepat menikah. Ingat, pernikahan adalah sesuatu yang berlangsung secara dua pihak. Dan kedua pihak itu tidak termasuk tante. Kalaupun kami mau menikah dalam waktu dekat, percayalah, itu bukan karena untuk menjawab pertanyaan tante.

2) Kalau sudah tahu belum ada calonnya, YA BUAT APA DITANYAKAN? Kecuali kalau mau mengenalkan pada calon yang berkualitas, pertanyaan tante tidak ada gunanya. Cuma nambah dosa. Toh, kalau sudah ada rencana nanti juga diberitahu kok. 

3) Pertanyaan mengganggu semacam ini lama-lama bisa merusak silaturahmi kita, lho. Kita cuma bertemu saat lebaran, masa dua kali itu mau tante gunakan untuk membuat saya kesal? Bukankah barusan kita baru saja bermaaf-maafan? Ingat, tidak ada yang suka pada orang yang suka menekan dan terlalu ingin tahu.

Saya tidak pernah mengerti mengapa orang Indonesia begitu ingin tahu tentang masalah-masalah semacam ini. Mungkin supaya dibilang akrab, tapi kadang-kadang kita lupa, ada batasan antara akrab dan mengganggu.

Mungkin kita lupa, di balik pertanyaan “kapan kawin?” bisa saja ada orang yang sebenarnya sudah ingin menikah tapi masih bergumul dengan trauma hubungan sebelumnya, dan di balik pertanyaan “kapan punya anak?” bisa saja ada orang yang yang sudah berusaha bertahun-tahun untuk hamil, namun doanya belum dikabulkan.

Kita terlalu ingin tahu sampai lupa bahwa hal-hal semacam ini terkadang merupakan topik sensitif. Kita lupa kadang pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa mengungkit masalah hidup seseorang. 

Bukankah lebaran ini bisa jadi momen yang baik bagi kita untuk belajar menahan diri dan mengaplikasikan pelajaran tentang sabar selama bulan Ramadan? Bukankah ada lebih banyak hal yang bisa dibahas selain pertanyaan-pertanyaan menyebalkan itu? Bukankah fokus pada rendang lebih bermanfaat dibandingkan membuat orang kesal pada hari yang fitri ini?

Jadi, tante, bude, uwak, boleh tolong berhenti bertanya kapan nikah? Daripada bertanya, lebih baik mendoakan. Toh, yang ditanyakan juga tidak tahu.

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

Buat para jomblo, momen lebaran bisa berubah menjadi sebuah pengalaman menakutkan.

Ajang silahturahmi yang seharusnya membahagiakan ini, di mana kita bertemu dan bersalam-salaman dengan sanak saudara, bisa jadi sebuah momen yang paling dihindari oleh mereka-mereka yang single, alias belum punya pasangan.

Di saat acara temu kangen keluarga ini, para jomblo mendapat teror dari para kakek, nenek, om, dan tante berupa pertanyaan-pertanyaan seperti ini: “Kok kamu masih single juga?” “Mana pacarnya?” atau “Kapan kawin?”

Pertanyaan-pertanyaan menakutkan seperti itu ditambah lagi dengan berbagai pernyataan yang tidak kalah menohok, seperti misalnya, “Ayo jangan mau kalah sama si anu” atau “Ayo jangan kelamaan, umur kamu sudah enggak muda lagi lho.”

Tapi, kalau boleh jujur, itu sebenarnya ketakutan itu hanya dialami oleh para perempuan jomblo. Kita, para pria, tidak menganggap hal itu sebagai teror. Kenapa juga mesti takut? Toh, itu cuma basa-basi ala Indonesia yang tidak ada substansinya. 

Sebetulnya, para om dan tante kita hanya bingung mau ngomong  apa ketika berjumpa dengan keponakannya yang sudah berbulan-bulan tidak pernah menampakkan batang hidungnya di acara keluarga. Mereka bingung mau bertanya apa, secara mereka pasti lupa kita kuliah atau kerja apa. Jadi, pertanyaan yang paling mudah dan alami diucapkan adalah: “Kok belum ke pelaminan juga?”

Proses evolusi selama ratusan ribu tahun, sejak manusia modern pertama hijrah dari benua Afrika hingga akhirnya menyebar ke seluruh muka bumi, telah membuat pria sebagai individu yang pemberani, kuat, dan pantang menyerah, termasuk juga cuek, egois, dan terkadang tidak tahu malu.

Di zaman dulu, pria punya tugas untuk memburu hewan liar yang bisa dikonsumsi oleh semua keluarga, sementara para perempuan menunggu sambil mempersiapkan api untuk memasak hasil buruan. Perilaku ini membuat pria tangguh dan selalu bisa diandalkan, selalu optimis bahwasanya mereka dibutuhkan bukannya membutuhkan. 

Selama dia bertubuh kekar dan berotot, serta selalu berhasil menangkap hewan buruan yang bernilai, seperti gajah, rusa, dan sedikit buah-buahan serta sayuran, pria tidak perlu takut menghadapi masa depan.

Semangat inilah yang terbawa hingga era modern, abad ke-21. Mentalitas pria selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan, mulai dari urusan pekerjaan hingga persoalan masih jomblo atau tidak.

Perempuan bisa saja protes, menuduh pria jomblo juga punya ketakutan yang sama ketika harus berhadapan dengan teror hari lebaran. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Kami santai saja ketika ditanya kenapa belum juga punya pasangan. Paling kami menjawab: “Belum nemu yang cocok sih.“ Atau tanggapan yang paling spektakuler: “Bingung mau pilih yang mana!”

Pria tidak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Di dalam hatinya, pria jomblo berujar: “Memangnya tahu apa mereka soal hidup kita!”

Perempuan jomblo selalu gugup ketika ditanya soal status pernikahan, bingung mau bilang apa. Dengan raut muka yang tampak kebingungan, mereka selalu mencari jawaban yang paling masuk akal, walau akhir-akhirnya tetap saja jawaban seperti itu tidak ditemukan.

Sementara pria dengan kecerdikannya punya cara-cara jitu untuk menghindari perdebatan panjang tidak bermutu: “Yah namanya juga hidup,” lalu ngacir mengambil tusukan sate kambing yang berlumuran kecap atau menuangkan kuah opor ayam ke dalam mangkok yang tampak begitu lezat. 

Pura-pura sibuk, lalu hilang di antara kerumunan orang. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!