Jokowi: Tempat kita sandarkan harapan

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi: Tempat kita sandarkan harapan

EPA

Lewat jalinan kata di media sosial, lewat binar mata dan senyum ketika ia berkampanye, lewat tepukan tangan dan teriakan: rasa-rasanya seperti Tanah Air sedang berdoa untuknya

 

Jauh sebelum Joko Widodo terpilih menjadi presiden Indonesia yang ketujuh, jutaan rakyat di negara ini telah menumpahkan berton-ton harapan mereka ke pundaknya yang ringkih tanpa bantalan koloni lemak itu. Sosoknya yang dikenal sebagai gubernur yang suka blusukan untuk meninjau keadaan rakyat Jakarta dan mendengarkan keluh kesah mereka, mungkin menjadi kelebihannya. 

Ia mendengarkan, tak masalah harapan itu hanya sekedar harapan ibu-ibu untuk tidak terkena banjir atau seorang tukang ojek tua yang ingin tidak khawatir soal jaminan kesehatan ketika berobat ke rumah sakit. Barangkali karena harapan tak harus selalu menjadi kenyataan saat itu juga, ia hanya cukup diucapkan, dengan atau tanpa suara, dan membuat masa kini menjadi bukan hanya sekedar detik yang terlewat begitu saja. 

Dan juga yang tidak boleh dilupakan: Lewat jalinan kata di media sosial, lewat binar mata dan senyum ketika ia berkampanye, lewat tepukan tangan dan teriakan: rasa-rasanya seperti Tanah Air sedang berdoa untuknya.

Jokowi, begitulah ia akrab dikenal, menjemput harapan itu dengan berlari sambil sambil melambaikan tangan dan tersenyum di Gelora Bung Karno pada Juli lalu, di konser Salam Dua Jari. Sosoknya begitu ringan dan ramah, seperti teman sebangku yang menawarkan kepercayaan. Dan benar, beberapa teman saya yang sebelumnya golput mengaku, setelah menyaksikan konser Salam Dua Jari dan debat pertama capres-cawapres, mereka memutuskan untuk memberikan suaranya untuk pasangan Jokowi-Jusuf Kalla: dengan harapan pasangan nomor urut dua tersebut akan membawa perubahan yang lebih baik. 

Jokowi, di satu titik, menunjukkan bahwa di negeri demokratis yang mulai kering dan memprihatinkan ini, rakyat tidak memiliki banyak pilihan selain berharap. Betapa tidak, ketika perwakilan mereka di parlemen memilih tidak mendengarkan aspirasi mereka dan hanya sibuk dengan jadwal pelesiran, maka sudah selayaknya rakyat berharap: agar bangsa yang telah diraih dengan susah payah oleh pejuang-pejuang terdahulu, tidak lekas menjadi sia-sia. Dan Jokowi yang merakyat, adalah yang Indonesia miliki saat ini untuk membuat perubahan, terlepas dari sinisme para pendukung rivalnya yang belum bisa beranjak dari pahitnya kekalahan. 

Namun, harapan bukan tumbuh tanpa aral. Bahkan sebelum Jokowi memulai tugasnya sebagai presiden, ia telah menemui banyak persoalan, yang (barangkali) akan segera membuat ia menjadi presiden tidak populer: kebijakan mengurangi subsidi BBM, lahirnya beberapa undang-undang yang dapat menjegal program Nawacita-nya, dilema politik transaksional agar kelak koalisinya tidak terbantai di parlemen.

Jokowi mungkin dapat berkaca pada presiden AS Barrack Obama. Baru-baru ini saya membaca opini di koran yang cukup terkenal, bahwa dalam periode pertamanya, Obama tidak cukup berhasil memenuhi janji-janji kampanyenya karena suara yang timpang di parlemen dimana mayoritas suara berada di kubu Republikan. 

Ada kekhawatiran bahwa Jokowi akan mengalami hal yang sama. Bahwa ia tidak akan dapat memenuhi ekspektasi yang tinggi dari masyarakat di masa pemerintahannya. Bahwa mungkin selama ini kita terlalu larut dalam euforia Jokowi yang populer, bahwa media tidak cukup objektif dalam mengawal Jokowi dari waktu ketika ia masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Namun barangkali masih terlalu dini untuk membicarakan hal itu.

Filsuf Vaclav Havel dari Republik Ceko sekali berkata bahwa yang menjadi inti dari harapan adalah bukanlah sebuah keyakinan bahwa hal-ikhwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya bualan dalam semua ini, apapun yang terjadi akhirnya. 

Bahwa apa yang penting sekarang ini adalah bahwa siapapun yang menjadi pemimpinnya, rakyat tidak boleh berhenti berharap. Karena harapanlah yang menjadikan sebuah bangsa menjadi hidup.  

Dengan dilantiknya Jokowi dan Kalla, harapan-harapan baru muncul. Doa-doa disampaikan kepada langit. Dan kiranya dengan pelantikan itu, harapan kita tak lekas surut. Kiranya harapan kita mengawal mereka dalam memimpin negara ini selama lima tahun ke depan. Karena seperti yang dituturkan penyair Emily Dickinson dalam puisinya: “harapan adalah sesuatu yang bersayap… ia hinggap di jiwa, tanpa suara, dan tak pernah berhenti”. 

Seperti itulah bangsa Indonesia harus berharap. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!