Memanfaatkan sepak bola untuk jualan pariwisata Indonesia

Sanikem

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memanfaatkan sepak bola untuk jualan pariwisata Indonesia

AFP

Kementerian Pariwisata Indonesia dapat memanfaatkan sepak bola untuk memasarkan Indonesia untuk menarik jumlah kunjungan wisatawan asing

 

Direktur Utama PT Telkom Arief Yahya telah ditunjuk oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai Menteri Pariwisata dalam Kabinet Kerja, pada Minggu (26/10). Arief kini menghadapi tugas yang tidak ringan. Jokowi memiliki kehendak agar ada 20 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia pada 2019 nanti.

Disebut tidak ringan karena pada 2013 lalu jumlah wisman yang berlibur ke Indonesia berada di angka 8,8 juta, lebih tepatnya lagi 8.802.129 mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun ini, sampai bulan Agustus tercatat ada 6.118.378 wisman, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mempunyai target 9,5 juta hingga akhir tahun. 

Dengan begitu, dalam lima tahun ke depan, Menpar yang baru punya tugas menarik 11,5 juta wisman baru datang ke Nusantara. Jika dirata-rata, dibutuhkan tingkat pertumbuhan 2,3 juta wisman per tahun. Sebagai perbandingan, tingkat pertumbuhan wisman pada 2013 sebesar kurang lebih 800.000 dan berturut-turut 400.000, 600.000, serta 700.000 pada 2012, 2011, dan 2010.

Angka 20 juta barangkali terlihat besar, tapi sesungguhnya masih tertinggal jika melihat negara tetangga. Di Asia Tenggara, Thailand dan Malaysia masih menjadi destinasi wisata primadona. Sebanyak 26,7 juta wisman mengunjungi Thailand dan 25,72 juta melancong ke Malaysia pada tahun lalu.

Negara sekecil Singapura pun masih lebih unggul. Sampai pertengahan tahun ini mereka berhasil menarik 7,5 juta wisman, sementara Indonesia baru ada di angka 6 jutaan.

Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mari Elka Pangestu, target 20 juta wisman memerlukan kerja keras dan kerja sama. Yang ia maksud adalah faktor-faktor pendukung yang ada di luar kendali Kementerian Pariwisata yaitu infrastruktur, konektivitas penerbangan, dan kesiapan daerah. Tapi sebetulnya Kementerian Pariwisata pun bisa melakukan inovasi pemasaran destinasi wisata yang masih berada di dalam kendalinya. Salah satu yang bisa dilirik adalah berjualan melalui media olahraga, apalagi jika bukan lewat sepak bola sebagai salah satu olahraga paling populer di Indonesia.

Sepak bola tentu punya mangsa yang jumlahnya sangat menggiurkan bagi para pemasar. Maka tidak heran banyak merek yang berlomba-lomba menjadi sponsor klub-klub besar Eropa agar bisa memasang logonya di jersey mereka. Samsung di Chelsea, Pirelli di Inter Milan, Standard Chartered di Liverpool, Qatar Airways di Barcelona, dan Chevrolet di Manchester United.

Namun sejatinya bukan cuma merek konvensional yang menjajakan diri mereka di sepak bola. Di dada jersey dua klub Spanyol, Sevilla dan Atletico Madrid terpampang tulisan “Visit Malaysia” dan “Azerbaijan Land of Fire”. Malaysia dan Azerbaijan tentu bukan produk elektronik, maskapai penerbangan, apalagi camilan. Keduanya adalah nama negara.

Adanya nama Malaysia dan Azerbaijan di jersey dua klub Spanyol itu merupakan hasil kerja dewan (ataupun kementerian) pariwisata masing-masing negara. Tentulah ada dana yang digelontorkan untuk bisa melakukannya. Umumnya besaran dana itu ada pada kisaran jutaan dolar Amerika. Nilai sponsorship Malaysia belum diketahui, tapi tidak dengan Azerbaijan. Kabarnya, Dewan Pariwisata Azerbaijan mengeluarkan dana 12 juta euro untuk menjadi sponsor Atletico Madrid musim 2013/2014.

Tiru langkah Azerbaijan

Tujuan menjadi sponsor sudah jelas, yaitu memasarkan merek. Dalam hal ini, dewan pariwisata adalah pedagangnya, sedangkan negara sebagai destinasi wisata adalah merek. Menjadikan sepak bola sebagai medium pemasaran merupakan salah satu usaha untuk mempertinggi angka kesadaran merek.

Potensi menjual merek lewat sepak bola sangatlah besar. Olahraga ini disaksikan miliaran pasang mata dan pernak-perniknya pun tersebar sampai ke sudut-sudut paling terpencil. Nama Azerbaijan saja misalnya, tidak lagi cuma bisa disaksikan saat Atletico bertanding tapi juga (mungkin) saat ada pertandingan di lapangan kampung. Barangkali di sana ada anak kecil bernama Budi yang memakai jersey KW (bajakan) Atletico yang dibeli di pasar seharga Rp 50.000. Ironis memang, tapi terkadang barang-barang bajakan malah membantu menumbuhkan kesadaran merek.

Jika mau, Indonesia bisa saja meniru langkah Azerbaijan dan Malaysia dalam rangka menggolkan target wisatawan asing pada 2019. Bahkan tanpa melalui proses kajian untung-rugi yang panjang.

Seperti diketahui, Azerbaijan merogoh dana sebesar 12 juta euro atau sekitar US$15 juta. Dalam rupiah, angka itu setara dengan Rp 180 miliar. Besarkah? Seharusnya tidak jika melihat apa yang dilakukan Kemenparekraf tahun lalu.

Pada 2013, Kemparekraf mengusulkan pemotongan anggaran sebesar Rp 119,95 miliar yang kemudian disetujui Komisi X DPR. Anggaran yang semula Rp 2,05 triliun dipangkas menjadi Rp 1,93 triliun dalam rangka penghematan. Artinya, dana bukan jadi soal jika ingin ada tulisan Wonderful Indonesia di dada jersey klub sepak bola Eropa. Untuk menyamai langkah Azerbaijan, Indonesia cukup menambahkan Rp 60 miliar.

Di sisi lain, untuk bisa mencapai titik break even point, alias balik modal, seharusnya tidak menjadi perkara yang terlampau sulit. Menurut data BPS, rata-rata pengeluaran wisman mencapai angka US$1142,24 pada 2013, naik dari tahun 2012 yang sebesar US$1133,81. 

Jika dihitung dengan memasukkan variabel pajak pariwisata sebesar 20%, maka Indonesia hanya butuh kunjungan 65.674 wisman tiap tahunnya. Angka yang kecil jika dikomparasi dengan kebutuhan pertumbuhan tiap tahun sebesar 2,3 juta.

Andai Menpar yang baru mau mengikuti langkah Azerbaijan dan Malaysia (yang angka kunjungan wismannya hampir tiga kali lipat lebih besar), maka kajian yang perlu dilakukan hanya berkutat soal klub dan liga mana yang perlu diajak bekerja sama. Kepopuleran klub dan liganya menjadi penting untuk memperkirakan besaran dana yang diperlukan.  

Nilai sponsor di klub seperti Liverpool tentu berbeda dengan Atletico Madrid. Selain Liverpool lebih populer, Liga Primer Inggris punya lebih banyak penikmat sehingga wajar jika pihak klub meminta nilai sponsor yang lebih besar. Variabel ini terlepas dari prestasi klub, yang mana dalam lima tahun ke belakang Atletico mendapat lebih banyak trofi daripada Liverpool.

Tapi bisa juga mengambil pendekatan mengajak kerja sama klub yang belum populer tapi punya potensi besar berprestasi. Pasalnya, prestasi secara otomatis mendatangkan publikasi. Sampai 2011 lalu, mencari jersey KW Atletico masih menjadi PR berat bagi pendukungnya di Indonesia. Tapi begitu mereka menjuarai La Liga musim lalu, mencari jersey Atletico sudah sama mudahnya dengan mencari DVD film bajakan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!