Apakah isu perbudakan nelayan menggugah petinggi dan publik ASEAN?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah isu perbudakan nelayan menggugah petinggi dan publik ASEAN?

EPA

Isu terkait dengan agenda ASEAN dianggap kurang menarik, dan karenanya kurang diberitakan. Informasi bersumber dari petinggi, mulai dari kepala pemerintahan, pejabat, dan pakar. Sebuah liputan investigasi dapat mengubah kebijakan.

Empat puluh anak-anak asal Myanmar diperbudak untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Mereka dikurung tanpa gaji dan dipaksa kerja setiap hari.  

Itu berita menarik. Investigasi hampir setahun lamanya yang dilakukan kantor berita Associated Press (AP) soal perbudakan yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources yang dimiliki perusahaan Thailand. Berita ini menjadi lebih menarik karena produk laut yang ditangkap anak-anak itu diekspor ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.  

Tahukah Anda, bahwa ikan yang Anda makan di restoran mewah, adalah hasil perbudakan manusia? Pertanyaan yang menggugah.

Cerita soal perbudakan itu menyebar secara cepat, disebar oleh puluhan media di seluruh dunia dan menjadi topik percakapan di media sosial. Di Indonesia, dan saya yakin juga di negara lain, banyak percakapan di media sosial yang dipicu oleh peliputan media tradisional. Penghargaan ini didapat oleh karya jurnalistik yang baik, yang biasanya hasil peliputan investigasi yang kaya akan data dan informasi dan menggarap topik yang bersentuhan dengan nasib kehidupan rakyat bawah. 

News that public needs to know, bukan hanya news that public wants to know.

Peliputan AP soal perbudakan yang dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di perairan Aru, Maluku itu, memicu reaksi. Asosiasi Perikanan Thailand tentu saja merasa malu dan mengutuk keras praktik itu.  

Dampak bisnisnya, banyak yang menghentikan membeli ikan dari perusahaan itu. Dampak berhenti membeli bisa menulari perusahaan perikanan milik Indonesia dan milik Thailand, karena liputan AP memicu pertanyaan, apakah praktik seperti itu cuma dilakukan oleh PT PBR?

Pemerintah Thailand bahkan mengambil langkah lebih jauh, akan mengubah undang-undang terkait perdagangan manusia. Pelakunya akan dihukum mati. Laporan AP menyebutkan ada nelayan asal Thailand yang bekerja di PT PBR. Apakah negara ASEAN lainnya akan mengikuti kebijakan ini untuk mencegah perdagangan manusia?

Bantahan juga muncul dari pemerintah Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyesalkan bahwa praktik perbudakan itu terjadi di perairan Indonesia, mengingat pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo justru tengah gencar memberangus praktik perikanan secara ilegal di perairan pemerintah.  

Pertanyaannya, apakah PT PBR selama ini beroperasi secara ilegal? Saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Yang ada adalah bantahan dari pemerintah daerah, sebagaimana dapat dibaca di sini.

Tahukah Anda, bahwa ikan yang Anda makan di restoran mewah, adalah hasil perbudakan manusia? Adakah anak-anak Indonesia yang harus bekerja seperti itu?

Penyesalan juga muncul dari pemerintah Myanmar, karena sebagian anak yang dipekerjakan sebagai budak itu adalah warga mereka. Pertanyaannya adalah, mengapa selama ini ada fakta bahwa warga Myanmar yang bekerja dengan situasi buruk seperti yang dialami 40 anak yang diliput AP, luput dari perhatian pemerintah Myanmar?  

Adakah anak-anak Indonesia yang harus bekerja seperti itu? Di waktu lalu, media di Indonesia memuat kisah sedih anak-anak yang bekerja di jermal, penangkapan ikan. Bagaimana dengan warga Thailand? Warga negara lain di kawasan ini? Negara anggota ASEAN, anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) di Asia Tenggara?

Isu bergulir kian menarik. Hari ini media memuat bantahan pengusaha Tomy Winata yang dikenal memiliki perusahaan perikanan di Maluku. Tomy membantah bahwa perusahaannya akan mengambilalih PT PBR jika perusahaan ini ditindak oleh pemerintah Indonesia. Dari pemberitaan media selama ini, publik tahu bahwa pengusaha Tomy memiliki hubungan dekat dengan Menteri Susi. Bantahan Tomy dimuat laman BeritaSatu.com. 

Mengapa isu ASEAN tidak menarik bagi media dan publik?

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Foto oleh Jet Damazo-Santos/Rappler

Saat menulis ini, saya tengah mengikuti tiga hari acara Reporting ASEAN: A Media Forum yang diadakan di Bangkok, Thailand. Acara diadakan oleh IPS Asia-Pacific, sebuah lembaga kajian studi media.

Johanna Son, mantan jurnalis dari Filipina yang menjadi direktur IPS Asia Pacific, mengatakan bahwa tujuan acara adalah mempertanyakan (dan mencari solusi) mengapa isu terkait ASEAN kurang menarik bagi pemberitaan media selama ini? Mengapa pemberitaan terkait ASEAN lebih banyak didikte oleh kantor berita dan media asing, di luar media yang beroperasi di kawasan ASEAN?

Jawabannya, menurut saya, adalah karena pemberitaan soal ASEAN selama ini banyak didominasi sumber elit, baik itu kepala pemerintahan di ASEAN, pejabat di sekretariat ASEAN, atau para pakar yang bekerja di lembaga kajian terkait isu ASEAN.  

Kontennya sering terlalu akademis, terlalu rumit untuk dicerna jurnalis, apalagi oleh konsumen media. Padahal, resep tradisional yang masih berlaku saat ini, di era media digital adalah memilih dan menyajikan isu yang terkait dengan kepentingan publik.  

Pichai Chuensuksawadi, editor Bangkok Post yang berbicara pada sesi pembukaan Reporting ASEAN, juga mengangkat bahwa pemimpin ASEAN kian berjarak dengan media. Peliputan di acara ASEAN semakin sulit, karena jurnalis ditempatkan di media center, sulit mendapatkan pernyataan langsung dari pemimpin.  

Buat apa mengirim jurnalis dengan biaya mahal meliput sebuah kegiatan yang kian tertutup? Belum tentu ada pernyataan menarik dan keputusan. Mencapai konsensus menjadi isu penting sejak ASEAN berdiri, dan terutama sejak bertambah anggota menjadi 10 negara. Beda sistem politik, situasi ekonomi, dan budaya menjadi penghalang.

Memproduksi berita yang penting bagi publik. Publik yang mana? Publik Indonesia? Publik ASEAN yang memiliki 600 juta penduduk dan mengelola ekonomi senilai US$2,1 triliun?  

Kecuali Indonesia menjadi tuan rumah dan presiden berpidato, belum pernah isu terkait ASEAN menjadi kepala berita.

Sabtu, 28 Maret lalu, melalui Twitter saya melempar cerita soal bagaimana nasib perusahaan gula Indonesia, terutama yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka terancam gulung tikar, kalah bersaing dengan gempuran gula impor dari Thailand jika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan. Indonesia akan menjadi negara pengimpor gula terbesar, karena pabrik gula yang ada teknologinya sudah kuno, dan banyak lahan tebu yang digusur oleh lahan sawit.

Tweet itu cukup mendapat respon. Ada kepedulian bahwa jika MEA 2015 berlaku dan kita tidak siap, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar.  

Apakah kepedulian itu karena sentimen nasionalisme soal produk impor? Apakah agregasi kepedulian terhadap isu masuknya barang dan jasa dari negara lain ketika MEA 2015 berlaku menggugah perubahan kebijakan yang melindungi kepentingan Indonesia? Apakah kepentingan Indonesia (dan negara lain di ASEAN) mengganggu pencapaian target integrasi ekonomi ASEAN?

Saya bisa merilis puluhan pertanyaan lain di sini, dan itu baru sebagian kecil dari isu terkait ASEAN yang selama ini luput dari pemberitaan media,termasuk saya. Karena di Indonesia, kita setiap hari dikepung puluhan isu yang dianggap lebih penting, lebih menarik, menghasilkan rating untuk televisi, dan pengunjung untuk media siber. Untuk media cetak, ukurannya relatif, tapi setahu saya kecuali Indonesia menjadi tuan rumah dan presiden berpidato, belum pernah isu terkait ASEAN menjadi kepala berita.

Liputan yang menggugah dan memicu perubahan kebijakan di negara ASEAN, sebagaimana yang dilakukan kantor berita AP, adalah contoh bagaimana isu perdagangan manusia di kawasan ini dimunculkan ke publik, dan mendapat perhatian. Juga isu lain yang berorientasi kepada manusia. Kepada kehidupan rakyat. Bukan isu yang didikte oleh agenda para politisi ASEAN. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!