Kata pria vs kata perempuan: Mencari jodoh di Internet

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata pria vs kata perempuan: Mencari jodoh di Internet
Topik pekan ini adalah mencari pasangan di Internet. Sudah pernah ada yang berhasil?

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Topik pekan ini adalah mencari pasangan di Internet. Sudah pernah ada yang berhasil?

——–

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

Walau mungkin banyak yang tidak mengakui, tapi sesungguhnya layanan kencan online – seperti Tinder – memang populer di kalangan pria Indonesia, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta. 

Pria zaman sekarang sungguh beruntung. Kemajuan teknologi telah memudahkan segalanya, termasuk membuat urusan berkenalan dengan perempuan, satu hal yang paling menakutkan dan menegangkan bagi sebagian besar pria, menjadi begitu mudah.

Betapa tidak, hanya dalam hitungan detik dan menit, seorang pria bisa dengan mudah memilih profil wanita yang disukai lalu mengajaknya berkenalan. Tidak perlu kecewa atau malu apabila mendapatkan penolakan. Lupakan saja, lalu cari kandidat lainnya. 

Para perempuan, seperti biasa, dengan segala macam kecerewetan dan kesoktahuannya, selalu menuduh kalau laki-laki pasti menggunakan layanan kencan online untuk hal-hal yang tidak benar. Tuduhan itu tidak sepenuhnya salah memang.

Harus diakui, banyak pria, termasuk beberapa pria yang saya kenal, memang memanfaatkan layanan seperti itu untuk melakukan satu atau dua hal yang nyeleneh (if you know what I mean). Tapi tentu tidak semua pria seperti itu, karena memang tidak semua pria itu berengsek.     

Kenyataannya, jumlah perempuan yang menggunakan kecanggihan teknologi untuk menemukan pasangan hidup semakin hari semakin banyak saja, tidak hanya di negara-negara maju tapi juga di Indonesia. Suatu hari seorang teman saya memperlihatkan profil Tinder miliknya, sambil menunjukkan berbagai profil perempuan yang ia temukan di layanan itu. Terbukti, perempuan, baik muda maupun dewasa, tidak malu-malu memajang foto dan bio diri demi menggaet sang pria idaman.

Namun yang jelas, pria jauh lebih efisien ketika mengunjungi situs atau menggunakan aplikasi kencan online. Ketika berselancar di dunia maya, pria bisa tampil jujur dan apa adanya, tanpa beban dan ekspektasi berlebihan. “Ya, anggap aja lucu-lucuan,” begitu ujar pria. 

Tidak begitu dengan para perempuan. Perempuan tidak pernah bisa santai, membuang jauh-jauh perasaan emosionalnya yang walau terkadang penting namun seringkali justru membuat segala persoalan jadi semakin rumit – mulai dari urusan kerja, rumah tangga sampai soal yang paling sederhana seperti belanja dan liburan. 

Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, kebanyakan perempuan itu hidupnya dipenuhi dengan keribetan, segala macam hal-hal tidak penting yang seharusnya tidak dipikirkan dan tidak dilakukan. 

Misalnya, melontarkan pertanyaan atau pernyataan seperti ini: “Kalau pakai baju biru dan sepatu biru, enaknya bawa tas warna apa yah?” (Hellllooo, do you think we even care?) atau “Aku pingin makan pizza, tapi kok nasi goreng juga enak yah?” (Beli aja dua-duanya, gitu aja kok repot!).

Maka ketika membuat profil di situs kencan online, perempuan mengharapkan yang berlebihan, bermimpi menemukan sang pangeran dambaan hati di dunia maya. Mereka menulis biodata begitu panjang, begitu detail, mendeskripsikan semua hal tentang kehidupan mereka, mulai dari hobi, pekerjaan hingga buku bacaan favorit – gayanya sudah seperti mau mencari suami saja.

Oleh karenanya tidak heran banyak perempuan yang dibuat kecewa, mengeluh bahwasanya mereka selalu menemukan pria-pria brengsek di dunia maya, yang punya motif “terselubung” di balik ucapan-ucapan manis mereka. Padahal kita semua juga tahu kalau mau cari suami tempatnya bukan di Internet, tapi di masjid atau gereja. 

Oh sudahlah, mungkin mereka lelah!

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri

Di kota besar, ada dua tipe manusia — orang yang punya atau pernah punya akun kencan online dan pembohong, entah itu Tinder, Setipe.com, atau Grindr.

Saya yakin mayoritas dari kita pernah mencoba layanan tersebut. Alasannya pun macam-macam, ada yang dengan polosnya mau mencari jodoh, ada yang mau cari teman bobo, atau bahkan ada yang mau cari klien asuransi.

Aneh? Memang iya. Buat saya layanan kencan online adalah tempat yang aneh dan dihuni oleh orang-orang aneh.

Kali ini saya setuju dengan argumen Tasa di atas. Kalau mau cari suami, tempatnya bukan di Internet —meskipun teman saya baru-baru ini menikah dengan orang yang ditemuinya beberapa bulan lalu di Tinder. Jangan tanya, saya juga bingung.

Entah sudah berapa banyak teman-teman perempuan saya mengeluh kalau orang yang ditemuinya ternyata berbeda dengan yang selama ini diajak ngobrol di Tinder — ada yang ternyata belum apa-apa sudah posesif, ada yang pakai minyak wangi berlebihan, dan lain-lain.

Sementara yang laki-laki, biasanya mereka lebih santai, entah karena tidak mengharap apapun, atau ya berhasil mewujudkan “maksud” mereka (If you know what I mean).

Katanya, perempuan tidak pernah bisa santai, termasuk untuk urusan kencan online. Mungkin iya. Entah karena tendensi perempuan untuk lebih sentimental atau memang karena perempuan lebih rentan untuk jadi korban dari keisengan laki-laki ajaib di dunia maya.

Tapi dunia maya memang lebih sering memangsa perempuan, kan?

Lalu, apa betul perempuan cenderung lebih ribet ketika membuat profil di situs kencan online? Ah, rasanya tidak juga.

Laki-laki juga begitu. Berusaha sebisa mungkin menuliskan hal-hal menarik tentang dirinya (meskipun dengan tata bahasa yang berantakan) dan memasang foto terkeren mereka (yang sebenarnya tidak seperti kenyataan).

Iya, perempuan pun merupakan pengguna setia Camera 360, tapi bukankah pria juga penuh pencitraan? Mencoba bagaimanapun caranya supaya terlihat jago olahraga, macho, jago musik, dan pintar.

Lalu, setelah match di Tinder, akan berusaha sebisa mungkin terdengar pintar dan perhatian. (Kamu siapa, mas? Baru kenal kok sudah sok perhatian. Ada bedanya loh, tertarik dan penguntit.)

Intinya, layanan kencan online adalah tempat yang aneh dan satu-satunya cara untuk menyikapinya adalah dengan membawa semuanya secara santai. Ingat, ekspektasi adalah sumber kekecewaan, jadi jangan berharap apapun ketika kamu menggeser foto ke kanan atau kiri di Tindermu. 

Atau, kalau kamu betul-betul mau mencari pasangan, lebih baik hapus aplikasimu, lalu lihat sekitar. Mungkin sahabatmu punya teman baik yang ternyata pintar, menarik, dan menyenangkan, atau mungkin ada orang di kantormu yang selama ini menunggu kamu mengajak kenalan. Siapa yang tahu? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!