Kontroversi ide Ahok soal izin rumah ibadah

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi ide Ahok soal izin rumah ibadah
Jika tak penuhi izin, GKPI Jatinegara ditutup hari ini. Buku ‘Kontroversi Gereja di Jakarta’ memuat kontroversi regulasi gereja di Jakarta. Apa celah dalam regulasi?

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama melontarkan ide yang layak disimak. Dia mengusulkan peninjauan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006. Secara garis besar, SKB tersebut menuliskan bahwa pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan dari warga setempat.  

Ahok mengungkapkan hal ini terkait dengan ancaman menutup Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) di Jatinegara, Jakarta Timur. 

Gereja ini sudah berdiri selama 30 tahun tanpa izin. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan ambang batas waktu 25 Juli 2015, bagi pihak gereja untuk mengurus izin. Jika tidak, gereja itu akan ditutup, per hari ini, Sabtu, 25 Juli 2015.

Menurut Ahok, GKPI bukan satu-satunya tempat ibadah yang tidak berizin, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB).  

“Sekarang yang jadi masalah di Jatinegara. Itu gereja sudah 30 tahun memang tidak ada izin. Ya, sama kok, banyak sekali masjid tidak ada izinnya, kok. Banyak wihara, klenteng juga enggak punya izin. Kamu bisa temukan ratusan masjid yang tidak punya IMB,” kata Ahok, Jumat, 24 Juli. Saya membaca pernyataan Ahok di laman Kompas. 

Regulasi rumah ibadah

Peraturan yang dimaksudkan oleh Ahok sebenarnya adalah Peraturan Bersama (PBM) yang diteken mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni dan mantan Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma’ruf pada 21 Maret 2006.  

PBM itu adalah revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Mendagri tahun 1969. Menurut SKB itu, pendirian tempat ibadah sangat bergantung kepada izin dari pemerintah daerah setempat. Pada praktiknya, di era Orde Baru, kepala daerah memberikan izin setelah mendapatkan rekomendasi dari pelaksana khusus daerah (Laksusda). Rekomendasi Laksusda mempertimbangkan aspek stabilitas dan keamanan. 

Buku Kontroversi Gereja di Jakarta yang diterbitkan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), membahas latar-belakang SKB dan perjalanan regulasi gereja di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian tim Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, dan Indonesian Conference on Religion and Peace. Di buku ini juga dibahas kisah perjalanan 13 gereja di Jakarta.

Dalam buku yang ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean dan kawan-kawan ini, dijelaskan bahwa SKB pada dasarnya mengatur kerukunan beragama secara umum. PBM lebih rinci mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan umat beragama, mekanisme perizinan rumah ibadah dan penyelesaian bila terjadi konflik.

Jamaah Ahmadiyah harus terkurung dalam masjid mereka sendiri di Bekasi pada 2013, karena disegel akibat tak memiliki izin. Foto oleh Adek Berry/AFP Photo by Adek Berry/AFP

PBM mengatur bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah tanggung jawab bersama pemerintah dan umat beragama. Pemerintah diwakili oleh gubernur di tingkat provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota. 

Aspirasi umat beragama diwakili pemuka agama resmi yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Anggota FKUB adalah 21 orang untuk tingkat provinsi, dan 17 orang di tingkat kabupaten/kota.  

Kuota perwakilan masing-masing agama berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama masing-masing  daerah, dengan  minimal satu agama diwakili satu orang. Komposisi ini memang mendorong agama mayoritas di negeri ini, yakni agama Islam, selalu mendapat representasi lebih besar.

Dalam PBM disebutkan bahwa selain memenuhi ketentuan teknis bangunan pendirian rumah ibadah wajib memenuhi: 

Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 90 orang pengguna rumah ibadah tersebut yang disahkan pejabat sesuai dengan batas wilayah setempat;

  • KTP 60 orang masyarakat setempat yang disahkan kepala desa atau lurah;
  • Rekomendasi tertulis kantor departemen agama kabupaten atau kota setempat;
  • Rekomendasi FKUB kabupaten atau kota setempat;
  • Rekomendasi harus atas dasar musyawarah dan mufakat dan tidak dapat dihasilkan melalui voting). 

Empat hal ini bukan perkara gampang untuk dipenuhi oleh mereka yang ingin mendirikan  gereja di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pengalaman yang sama bagi mereka yang ingin mendirikan mesjid di wilayah yang penduduknya mayoritas beragama non-Islam. Persyaratan dukungan masyarakat sekitar biasanya jadi ganjalan. Kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor adalah salah satu contohnya.

(BACA: GKI Yasmin peringati Jumat Agung di garasi)

Jika persyaratan berupa dukungan dari masyarakat sekitar tidak terpenuhi, pemerintah wajib memfasilitasi lokasi baru. Bangunan lain yang digunakan sebagai tempat ibadah pun harus memiliki izin Pemerintah Daerah (Pemda), setelah ada rekomendasi kantor departemen agama dan FKUB. Masa berlaku izin bangunan sebagai rumah ibadah sementara adalah dua tahun. 

Regulasi picu intoleransi?

Tim peneliti dalam buku Kontroversi Gereja di Jakarta mencatat dua masalah yang muncul dari PBM.  Pertama, politisasi kewenangan Pemda dalam menerbitkan IMB. Dalam beberapa kasus, bisa terjadi pemberian IMB ditukar dengan janji memberikan dukungan politik dalam pemilu kepala daerah.  

“Di beberapa wilayah, seperti Bogor, diindikasikan calon kepala daerah dalam kampanye menjanjikan untuk tidak mengeluarkan IMB bagi agama tertentu,” demikian kata penulis buku itu.

Jamaah GKI Yasmin harus memperingati Hari Natal 2014 di depan Istana Negara, Jakarta, karena konflik tanah di Bogor, Jawa Barat. Foto dari Twitter/@bonasays

Kepala daerah yang ingin popular cenderung melayani aspirasi mayoritas pemilih, dan bisa melakukan upaya menahan izin rumah ibadah untuk mengerem pertumbuhan pengikut agama tertentu.

Kedua, komposisi FKUB dan pola pengambilan keputusan yang harus musyarawah dan mufakat. Faktor representasi dalam FKUB kerapkali menjadi batu ganjalan, karena merugikan kelompok minoritas.  

“Representasi juga menjadi masalah karena tidak memberikan ruang bagi keberagaman ‘denominasi’ di beberapa agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, tidak mengakomodasi Ahmadiyah. Insiden Tolikara membuka mata kita bahwa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) juga menutup peluang bagi gereja denominasi lain untuk berkegiatan di Tolikara 

Membaca analisis dalam buku itu, saya makin paham mengapa dalam berbagai kasus, organisasi seperti MUI, Persatuan Gereja Indonesia, dan Konferensi Wali Gereja Indonesia, tiga di antara organisasi yang dianggap wakil resmi dalam FKUB, kurang “bersahabat” kepada kelompok agama yang dianggap bukan “anggotanya” atau “tidak resmi”.

Ketiga, persyaratan dukungan dari masyarakat berupa 60 KTP berpeluang melahirkan diskriminasi. Buku itu menguti survei LSI-Lazuardi Birru 2010, yang menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia tidak toleran terkait pendirian rumah ibadah. Dalam survei ditemukan bahwa 64,9% umat Islam keberatan jika di daerahnya dibangun rumah ibadah agama lain. Dukungan masyarakat ini adalah bagian yang disebut sebagai regulasi sosial.

Regulasi sosial menimbulkan celah bagi kelompok atau pihak yang ingin mendapatkan uang dalam memgurus perizinan rumah ibadah, termasuk kelompok paramiliter yang mengusung simbol agama. Dalam kisah yang diceritakan terkait sejumlah gereja di Jakarta, nampak bahwa mengurus izin dengan memanfaatkan jasa perantara dan menggunakan uang sebagai tolok ukur justru menimbulkan masalah.

Buku ini mengelompokkan gereja yang diteliti dalam kategori: gereja tak dipermasalahkan sejak awal sampai kini,  gereja bermasalah dan terselesaikan, gereja tak bermasalah yang kemudian dipermasalahkan (GKI Yasmin masuk di sini), gereja bermasalah dan belum terselesaikan (HKBP Filadelfia masuk di sini. Kronologi yang dibuat peneliti hak asasi manusia Andreas Harsono atas HKBP Filadelfia dapat dibaca di sini).  

Pentingnya kehadiran negara

Yang menarik adalah kisah gereja yang sejak awal tak mendapat masalah. Contohnya yang dipelajari dalam penelitian ini adalah Gereja Katolik St. Aloysius dan Kapel St. Valentino di pemukiman TNI AD di Cijantung. Praktis tidak ada hambatan soal alokasi tanah, pengurusan IMB sampai pemenuhan syarat dukungan dari warga sekitarnya.  

Kapel St. Valentino dibangun di komplek RPKAD (kini Kopassus). Pengumpulan dana untuk membangun gereja juga tidak sulit, banyak dapat bantuan dari pejabat militer dan pengusaha. Fungsi pengayoman negara membuat proses Gereja Katolik St. Aloysius dan Kapel St. Valentino berjalan mulus.

Dalam kisah terkait gereja bermasalah kemudian terselesaikan, juga nampak peran “negara” yang ditunjukkan oleh sikap tegas kepala daerah dan aparat keamanan, dalam hal ini polisi, dalam menghalau pihak yang ingin menganggu gereja atau keberatan dengan cara anarkis.

(BACA: Lukman Saifuddin: Menjadi Menteri Agama, bukan Menteri Agama Islam)

Menilik apa yang dialami oleh gereja di Jakarta, yang menurut saya tidaklah jauh berbeda dengan pengalaman pendirian gereja di tempat lain, maka saya memahami keputusan pemerintah untuk membangun kembali masjid pengganti yang rusak terbakar di insiden Tolikara di tanah milik TNI, yaitu di halaman komando rayon militer Kurubaga, Tolikara. 

Ini lokasi yang dianggap aman, setelah ribut-ribut yang berujung 11 luka-luka, 1 tewas. Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo juga memerintahkan anggotanya membangun masjid dan kios-kios yang terbakar.

Lokasinya di tanah milik negara. Paling tidak masjid ini akan mendapatkan perlindungan “negara” karena ada di tanah milik TNI yang notabene adalah alat negara.

Saya juga bisa memahami, mengapa Ahok merasa perlu revisi atas PBM 2006. Peraturan itu, kendati dibuat atas masukan semua wakil organisasi keagamaan yang resmi, ternyata memiliki celah yang justru mendorong praktik intoleran.  

Bagi daerah dan masyarakat yang biasa bertoleransi tidak masalah. Padahal, konstitusi melindungi hak semua warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.  

Kilas balik perjalanan konflik keagamaan di negeri ini sejak jaman sebelum kemerdekaan sampai kini, menunjukkan bahwa pelaksanaan konstitusi itu bak menerabas jalan penuh onak dan duri. 

Ide Ahok kontroversial, tapi layak untuk dipertimbangkan. Apalagi jualan pemerintahan Joko Widodo yang notabene temannya Ahok adalah revolusi mental. —Rappler.com

Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!