‘Pixels’: Ketika reputasi Adam Sandler terjun bebas

Shinta Setiawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Pixels’: Ketika reputasi Adam Sandler terjun bebas

EPA

Masihkah Adam Sandler menghasilkan komedi yang lucu? Atau masanya sudah habis?

Ada masanya ketika Adam Sandler merupakan salah satu komedian terfavorit di Hollywood.

Anda kemungkinan besar pernah menonton film-film lawas Sandler yang terkenal seperti The Wedding Singer (1998) atau 50 First Dates (2004) dan menganggapnya sebagai komedi yang menghibur. 

Tapi, beberapa tahun terakhir Sandler tak lagi menikmati posisi terhormat sebagai aktor papan atas. Meski pernah mengalami masa kejayaan dengan humornya yang jorok dan kadang kekanakan, sisi kreatif Sandler kini dinilai sudah jauh menurun, dan film-filmnya terasa tak punya jiwa lagi.

Pixels (2015), film terbaru Sandler, adalah contoh mutakhir bagaimana kritikus film dan penonton sudah lelah dengan perilaku dan gaya humor dari aktor berusia 48 tahun ini. Film yang dibuat dengan dana 88 juta dolar Amerika Serikat tersebut punya premis yang sangat menarik. 

Komedi tentang sekumpulan pecundang mantan gamer yang harus menghentikan serangan alien berbentuk karakter-karakter arcade game klasik jelas terdengar seru, kan?

Tapi, ketika ulasan filmnya mulai bermunculan, mayoritas kritikus tampaknya sangat tidak menyukai film ini (saat ini skor Rotten Tomatoes untuk Pixels adalah 18%). 

Walaupun konsepnya keren, didukung oleh VFX yang apik, dan punya faktor nostalgia yang sangat kuat, humor canggung khas Sandler dan cerita yang buruk membuat filmnya habis dibantai. Kekecewaan ini jelas bukan yang pertama, dan sepertinya tidak akan jadi yang terakhir.

Di tahun ’90-an sampai 2000-an awal, Sandler masih rutin menghasilkan film komedi yang disukai orang. Masalah mulai muncul ketika ia dan para kolaboratornya terlihat mulai malas menelurkan komedi cerdas. 

Hasilnya adalah rentetan judul dengan kualitas seadanya sepert Grown Ups (2010), Just Go with It (2011), Jack and Jill (2011), Grown Ups 2 (2013), dan Blended (2014).

Memang, untuk beberapa waktu Sandler masih sanggup menarik banyak penonton ke bioskop. Sayangnya, hal ini lama-kelamaan sudah bukan jaminan lagi karena grafik pendapatan filmnya mulai tidak stabil. 

Film-filmnya masih dibuat dengan biaya yang cukup tinggi untuk ukuran film komedi (sekitar 40 sampai 80 juta USD). Namun, nama Sandler tidak lagi ampuh menjual tiket seperti dahulu.

Lihat saja That’s My Boy (2010) yang dibuat dengan dana 70 juta USD dan hanya menghasilkan 57 juta USD. Begitu pula dengan Jack and Jill yang berbujet 79 juta USD dan hanya meraup 149 juta USD

Deretan angka mengecewakan ini pun diulangi oleh Pixels yang minggu lalu gagal mencuri posisi puncak dari Ant-Man (2015) ketika hanya sanggup memulai debutnya di angka 24 juta USD

Praktis, penyelamat film-film Sandler kini hanya pasar internasional yang relatif masih lebih ramah dengan karya-karyanya daripada publik Amerika Serikat.

Media pun sama sekali tidak murah hati padanya, karena pemberitaan negatif pun lebih banyak mengiringi film barunya ini.

Berita lama mengenai Sandler yang mengaku pada Jimmy Kimmel bahwa ia membuat film dengan menentukan ke mana ia ingin jalan-jalan—ia membuat Blended karena ingin liburan ke Afrika—kembali dibahas. 

Karena kasus peretasan Sony Pictures, email mengenai usaha Pixels untuk menyenangkan Tiongkok demi memuluskan perilisan filmnya di sana pun turut jadi sorotan. 

Itu pun belum ditambah dengan tuduhan bahwa film barunya yang diproduksi untuk Netflix, The Ridiculous 6, berisi humor rasis yang sangat melukai hati orang Indian — sesuatu yang sempat dibantah Sandler dengan menyatakan bahwa ini adalah “film pro-Indian.”

Pemberitaan negatif yang bertubi-tubi ini jelas mengikis sisa-sisa nama besar Sandler. Namun, bukannya ia sama sekali tidak pernah punya niat untuk berusaha membuat karya bagus. Beberapa kali, Sandler membintangi film drama berkualitas baik.

Judul yang paling dikenal penonton jelas adalah Punch-Drunk Love (2002) yang disutradarai oleh Paul Thomas Anderson. Selain itu, ada juga Spanglish (2004), Reign Over Me (2007), dan Funny People (2009). Sayangnya, rata-rata film tersebut gagal di pasaran.

Selain The Ridiculous 6 yang diragukan kualitasnya, tahun depan Sandler masih punya dua proyek — The Do Over dan Hotel Transylvania 2. Rekam jejak Steven Brill, sutradara The Do Over, terlihat tidak menjanjikan. 

Sutradara yang sering bekerja sama dengan Sandler ini belum pernah membuat film komedi yang benar-benar bagus. Film terakhirnya, Walk of Shame (2014) yang dibintangi oleh Elizabeth Banks, bahkan tidak balik modal. 

Harapan Sandler untuk mencetak hit jelas tergantung pada Hotel Transylvania 2. Tapi, seperti film-film animasi lain, sang pengisi suara bukanlah faktor utama kenapa penonton pergi ke bioskop.

Dengan masa depan yang terlihat suram, apakah Sandler akan sanggup untuk merehabilitasi reputasinya dan kembali jadi sosok komedian yang relevan? Jawabannya mungkin ada di kontrak Netflix yang sedang diproduksinya. 

The Ridiculous 6 dan The Do Over bisa jadi akan terbukti sebagai film komedi berkualitas buruk. Tetapi, Sandler masih punya sisa dua kesempatan untuk mencoba memenangkan kembali hati penonton. Apalagi, Netflix memberinya kebebasan penuh untuk berkarya.

Dalam acara Television Critics Association’s Summer Press Tour awal minggu ini, Ted Sarandos, chief content officer Netflix, sudah menyatakan dukungannya pada Sandler secara terbuka. “Saya jelas tidak harus membela Adam Sandler. 

“Filmnya (Pixels) menghasilkan 24 juta domestik, 25 juta di pasar internasional, dan sepertiga dari pelanggan kami berada di luar Amerika Serikat. Itulah kenapa kami membuat perjanjian dengan Adam Sandler: karena ia adalah bintang film internasional yang besar,” ujarnya seperti yang dikutip oleh The Hollywood Reporter.

Sarandos menambahkan, pilihan untuk memberikan kontrak ini pada Sandler juga didasarkan pada fakta bahwa film-filmnya sangat populer di Netflix, dan banyak yang menonton judul-judul tersebut sampai berulang-ulang dari rumah.

Masalahnya, apakah kritikus dan penonton masih mau memberinya kesempatan? Mungkinkah Pixels adalah pertanda awal bahwa permainan sudah hampir berakhir bagi Sandler? Atau ia justru akan mendapatkan nyawa tambahan?—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!