Kata pria vs kata perempuan: Momok menakutkan bernama LDR

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata pria vs kata perempuan: Momok menakutkan bernama LDR
Makna 'long distance relationship' bagi kaum Adam dan kaum Hawa. Siapa yang lebih ribet?

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Topik pekan ini adalah hubungan jarak jauh atau long distance relationship alias LDR.

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

 

Entah mengapa istilah “LDR” menjadi satu momok menakutkan untuk para perempuan di luar sana, terutama perempuan Indonesia. 

Ketika mereka berkumpul, entah itu ajang arisan atau reuni sekolah, mereka saling mendoakan agar tidak ada yang harus menjalani apa yang dinamakan dengan long distance relationship, atau hubungan jarak jauh. Kepada teman mereka yang mengalami pengalaman ini, mereka berkata: “Yang sabar, ya” atau “Duh, kasiannya!” 

Namun sebenarnya mudah untuk menjelaskan kenapa para perempuan begitu takut dengan hubungan jarak jauh. Kalau manusia, baik itu pria dan perempuan, dilahirkan sebagai makhluk sosial, maka perempuan adalah makhluk super sosial, alias membutuhkan perhatian yang berlebih-lebih. 

Perempuan inginnya diperhatikan 24 jam dan 7 hari seminggu. Tidak seperti pria yang pada umumnya menginginkan banyak ruang untuk “bersendiri,” kaum hawa adalah sebaliknya. Perempuan, terutama perempuan Indonesia (jangan tersinggung atau marah ya, ehem!), maunya ditelepon tiap jam, ditanya sudah makan atau belum, sudah berangkat atau belum, sudah pulang atau belum, sudah mandi atau belum, dan lain-lain.

Kalau tidak percaya, tanyakan saja hal ini pada para pria yang sudah punya pasangan. Pasti mereka mengakui kalau mereka dimarahi apabila lupa memberi dan menanyakan kabar. Pernyataan seperti “Kamu kok enggak telepon aku? Minimal SMS dong atau WhatsApp!” pasti sudah sangat familiar bagi kebanyakan para pria berpasangan. 

Kalau soal ketemuan, jangan ditanya. Perempuan bisa mendiamkan dua hari tiga malam kalau sang pria lupa menjemputnya di malam Minggu. Itu bunuh diri namanya. Kenapa? Lagi-lagi karena perempuan adalah makhluk yang haus akan perhatian. Mereka selalu membutuhkan pernyataan bahwa mereka diinginkan, disayangi, dan dicintai. Buat mereka cinta itu bersifat fisik! 

Nah, hal inilah yang membuat mengapa LDR bisa jadi bencana buat perempuan. Dengan LDR mereka jelas tidak bisa mendapatkan apa yang sangat mereka butuhkan, yaitu perhatian. Kata-kata sayang dan kangen lewat surat elektronik hanya mujarab di minggu-minggu pertama. Tapi lama-kelamaan, sebulan atau dua bulan mungkin, protes itu akan muncul juga. Pasti bro! 

Mulailah mereka mengeluhkan kenapa cinta harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. “Kenapa juga harus naik pesawat untuk ketemu kamu?” tanya mereka (susah tuh jawabnya). 

Padahal – ini sedikit rahasia – kebanyakan pria justru menyukai kalau sewaktu-waktu mereka bisa menjalani LDR. Ya, tidak usah lama-lama, mungkin tiga bulan maksimal. Kenapa? Jawabannya bukan karena pria adalah tukang selingkuh, hidung belang dan tukang bohong! 

Jawabannya adalah ada kalanya pria membutuhkan sedikit ruang untuk melakukan hal-hal sederhana atau unik yang membuat mereka bahagia. Seperti, misalnya, membaca buku berjam-jam di dalam kamar tanpa harus mandi (bisa tinggal hidupkan TV atau main PlayStation 4 kalau sudah mulai bosan). 

Perempuan sulit menerima ini. Tapi, ada beberapa hal, banyak mungkin, yang hanya bisa dinikmati oleh para pria secara maksimal tanpa pendampingan dari perempuan. Travelling ke tempat-tempat eksotis mungkin atau bersemedi di bawah pohon rindang. 

Kenapa yah? Mungkin karena perempuan itu ribet? Mungkin lho, mungkin!

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri

 

 

Meskipun banyak yang berhasil membuktikan bahwa hubungan jarak jauh bisa berhasil, saya masih termasuk dalam kelompok yang skeptis mengenai hal ini.

Bukan karena saya perempuan yang cenderung ribet (seperti yang, ehem, Tasa tuduhkan) tapi karena saya realistis. Dan, well, sedikit belajar dari pengalaman.

Kalau ada yang bilang long distance relationship adalah sumber masalah, saya tak setuju. Jarak jauh dan pertemuan yang jarang sepertinya bukan masalah utama yang bisa membahayakan (dan mengakhiri) hubungan. Keduanya hanya memberikan kesempatan bagi pasangan untuk akhirnya melihat masalah-masalah yang selama ini telah ada. Masalah yang tadinya dianggap kecil dan dianggap biasa saja, lama-lama akan terasa semakin parah dan semakin menyebalkan.

Dan sayangnya, jarak jauh, rutinitas masing-masing, dan jarangnya kesempatan bertemu menyediakan ruang dan waktu bagi pasangan untuk berpikir lebih jernih, melihat permasalahan dalam gambaran yang lebih besar, serta (secara tidak disadari) belajar untuk saling tidak membutuhkan. 

Akhirnya, sederhana saja, kamu menemukan bahwa kamu bisa hidup tanpa pasanganmu dan tak ada gunanya untuk menghadapi semua masalah-masalah tadi.

Tapi, bagi beberapa orang, LDR bisa membebaskan, dan untuk yang satu ini saya setuju dengan Tasa. 

Kamu bisa punya kehidupan yang tidak melulu bersinggungan dengan pasanganmu, tidak perlu lapor setiap mau pergi (ugh), dan punya kesempatan lebih besar untuk melakukan hal-hal yang kamu inginkan. Mungkin benar, distance makes the heart grow fonder. Kamu bisa menjalani hidupmu tanpa keribetan dan tetap punya pegangan yang bisa diandalkan ketika kamu membutuhkannya (meskipun tentu saja, pasanganmu tidak bisa tiba-tiba membantu atau menjemput kalau mobilmu mogok di pinggir jalan tol).

LDR juga membuatmu menghargai setiap pertemuan dan hal-hal kecil yang sering kali terlewatkan kalau kamu bisa bertemu setiap hari, seperti manisnya ucapan selamat pagi yang datang pada pukul 1 siang karena di tempatnya, matahari baru terbit 7 jam setelah kamu bangun tidur atau voice note di hari ulang tahunmu. 

LDR bisa membuatmu belajar lebih sabar dan tidak meributkan hal-hal sepele seperti, ‘Kok belum ngabarin, sih?’ setiap tiga jam sekali. LDR juga dapat mengajarkanmu untuk lebih dewasa secara perlahan.

Tapi, sekali lagi, itu kalau kamu berdua kuat menjalani LDR dan semua masalahnya, mulai dari kekangenan yang cuma bisa ditelan, tuntutan untuk menabung karena tiket pesawat begitu mahal untuk sekedar bertemu tiga bulan sekali, mahalnya ongkos untuk mengirimkan kado anniversary, pertengkaran yang tidak bisa benar-benar terselesaikan lewat SMS atau Skype, hingga insekuritas kalau-kalau dia punya pacar lain di sana.

Dulu, di kampus saya diajari tentang Social Exchange Theory. Menurut teori tersebut, sebuah hubungan pada intinya adalah sebuah transaksi, dan hanya akan bisa berhasil kalau pelakunya merasakan “keadilan” — reward yang didapatkan lebih besar daripada, atau paling tidak sama dengan, cost atau usaha yang dikeluarkan. 

Cost di sini bisa berupa ongkos bertemu hingga makan perasaan karena cemburu, dan reward juga bisa berbentuk absurd, seperti kepuasan atau janji menikah nantinya. 

Jadi, kalau menurutmu pengorbanan yang kamu berikan ketika menjalani LDR sebanding dengan apa yang kamu dapatkan, silahkan. Toh, kata orang-orang, jodoh ngga kemana, kan? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!