Indonesia

Pengakuan korban bully: Teman-teman saya tak seberuntung saya

Lewi Aga Basoeki

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penulis yakin tradisi bullying di Indonesia akibat budaya feodalisme yang masih kental.

Yeee, dasar bencong!” 

Saya masih ingat ketika saya duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, teriakan itu begitu membahana di telinga saya. 

Teman sekelas saya (Iya, saya masih tetap menganggapnya sebagai teman sampai sekarang), berteriak dengan begitu kerasnya sewaktu saya menolak untuk meminjamkan buku catatan saya. Teman-teman sekelas saya kemudian tertawa, menganggap teriakan itu sebagai suatu bahan tertawaan yang begitu renyah di siang hari bolong. 

Sebuah “candaan khas anak Sekolah Dasar” yang begitu dianggap biasa namun memiliki efek yang luar biasa. 

Tidak sampai di situ saja, ketika menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, saat bau hormon pubertas begitu sengat tercium di lorong-lorong sekolah, hal yang sama pun terjadi. 

Beberapa teman saya ketika berbicara dengan saya, berpura-pura berbicara dengan gaya kemayu. Iya, gaya yang mungkin kita semua pernah melihatnya atau mempraktikannya. Tangan melambai bak pohon kelapa di pinggir pantai dan suara agak disengau-sengaukan. Maksud mereka mungkin lagi-lagi hanya “candaan khas anak SMP” yang tidak perlu diambil pusing. 

Kita mungkin sangat mengecam aksi masa orientasi siswa (MOS) yang kerap merenggut nyawa anak-anak bangsa ini. Kita dengan mudahnya menunjuk para pelaku sebagai senior-senior yang tidak beradab. Ini terjadi setiap tahun bagaikan agenda berita tahunan di beberapa media cetak dan elektronik. 

Namun, bagi saya, bullying itu jauh dari sekadar “menyuruh junior membuat telur mata sapi tetapi kuningnya harus di pinggir dan putihnya harus di tengah” atau meminta junior untuk push up dengan jari telunjuk yang mana seniornya pun belum tentu bisa. 

(BACA: Korban atau saksi bullying di masa orientasi siswa? Laporkan!)

Bullying memiliki arti yang jauh dari sekadar “teriakan” atau “pukulan”, tetapi hal-hal yang berupa candaan secara sengaja atau tidak sengaja dapat dikategorikan sebagai tindakan bullying. Seringkali pun kita menjustifikasi tindakan bullying tersebut dengan kalimat “Ah, cuma bercanda” dan kemudian masalah seolah usai begitu saja. 

Apakah benar begitu? Saya rasa tidak. 

Saya kemudian berpikir, tindakan mem-bully ini pun erat kaitannya dengan tradisi feodal yang masih lekat di dalam budaya kita.

Saya memahami bullying sebagai suatu tindakan baik secara verbal atau fisik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang menyerang atau mengancam orang lain atau sekelompok orang lain yang berkaitan dengan posisi sosial di kelompok tersebut. 

Serangan secara verbal atau fisik ini bisa disebabkan karena perbedaan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, penampilan, atau status sosial. Ketika seseorang atau sekelompok orang lain merasa dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang lain di kelompok yang sama, maka aksi ini bisa dengan mudahnya terjadi. Ini dapat terjadi ketika masih sekolah atau bahkan di tempat kerja.

Saya kemudian berpikir, tindakan mem-bully ini pun erat kaitannya dengan tradisi feodal yang masih lekat di dalam budaya kita. Ketika saya belajar antropologi di bangku SMA, salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah budaya feodalisme yang masih kental.  

Sederhananya, kita masih mengakui bahwa menghormati yang lebih senior sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Anak baru di kantor harus berlaku sopan dan menganggap seniornya lebih benar dan pintar, padahal tidak demikian adanya.

Para junior di sekolah sama sekali tidak boleh masuk kantin selama satu tahun karena kantin hanya diperbolehkan untuk para senior, meskipun sebenarnya mereka semua membayar uang sekolah yang sama dan sudah sepantasnya mendapatkan fasilitas yang sama pula. 

Unsur feodalisme ini yang bagi saya, mendukung terjadinya bullying

Kembali mengingat pengalaman saya di atas, saya mungkin termasuk orang yang cukup beruntung ketika bullying tersebut tidak membuat saya depresi dan trauma ketika berhadapan dengan orang lain.

Beberapa teman saya tidak seberuntung dengan saya, saat mereka dianggap “berbeda” dan dianggap berada di dalam posisi yang jauh lebih rendah di dalam kelompoknya lalu kemudian di-bully, efeknya bisa tahunan atau bahkan puluhan tahun. Entah itu depresi, trauma ketika berhadapan dengan orang lain, rasa tidak percaya diri atau perasaan tidak diinginkan. 

Efek-efek ini yang sebenarnya tidak kita pikirkan ketika kita seringkali berkata, “Ah, hanya bercanda”. 

Bullying tidak hanya di dalam bentuk yang luar biasa fenomenal seperti yang sering terjadi di masa orientasi sekolah atau orientasi pekan kehidupan kampus (ospek), tetapi bullying sederhana yang dilakukan sehari-hari pun memiliki dampak yang sedemikian besar di dalam hidup orang lain. —Rappler.com

  Lewi sehari-hari bekerja sebagai seorang banking lawyer dan memiliki part-time job sebagai seorang flashpacker. Dalam kesehariannya, ia menyempatkan diri untuk menjadi travel writer yang bertujuan membagian pengalamannya berpetualang di Indonesia dan negara-negara di dunia. 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!