SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
Dua tahun yang lalu, saya beruntung mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan master di sana. Tinggal di sana selama dua tahun membuat saya mengetahui banyak hal yang — mungkin —berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Meskipun, untuk beberapa hal lain, tidak melulu positif. Namun secara keseluruhan, saya masih kagum dengan perkembangan Singapura selama 50 tahun terakhir.
Rasa aman
Hal pertama yang saya suka dari Singapura adalah rasa aman. Hal yang sering saya lakukan di Singapura, tapi tidak di Indonesia, adalah tidak menutup tas saya. Kemanapun saya pergi, dengan sangat nyaman saya memakai tas yang tidak memakai ritsleting.
Hal ini memang bukan sesuatu yang mengherankan karena Singapura merupakan kota paling aman kedua di seluruh dunia setelah Tokyo, Jepang menurut Indeks Keamanan the Economist 2015.
Meskipun, memang, untuk beberapa tempat khusus yang banyak turisnya saya masih tidak berani melakukan hal tersebut. Maklum, banyak copet.
Rasa aman tersebut juga tercermin dari keamanan pengguna jalan. Di Singapura, pejalan kaki sangat dihormati. Trotoar dibuat sangat nyaman untuk berjalan (terutama untuk pemakai high heels!) dan juga lebar.
Setelah tengah malam pun masih minim kejahatan. Saya bisa dengan bebas keluar untuk lari meskipun sudah lewat tengah malam!
Selain aman secara fisik, di Singapura juga warganya merasa aman secara psikologis. Hal ini disebabkan oleh pegawai pemerintah setempat yang sangat mengutamakan warganya.
Contoh saja, ketika saya menemani teman saya untuk melaporkan bajunya yang hilang. Sang polisi langsung membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Sementara itu, polisi lain langsung menelepon dan menanyai orang yang diduga menghilangkan baju teman saya.
Tak hanya itu, di lembar BAP yang diterimanya juga disebutkan siapa petugas yang akan melakukan penyelidikan dan nomor teleponnya! Plus, semua itu gratis!!
Tak heran bila salah satu dosen saya yang memang sudah lama berkecimpung sebagai pegawai negeri Singapura suatu saat pernah bercanda, mengatakan bahwa arti civil servant di Singapura benar-benar “servant“.
Sistem pendidikan kompetitif
Hal kedua yang membekas juga di benak saya adalah sistem pendidikannya. Hal ini saya tahu persis karena saya mengalaminya sendiri. Di Singapura, secara umum sistem pendidikannya selalu kompetitif.
Di tempat saya sekolah, juga berlaku sistem penilaian kurva normal (bell curve), di mana nilai satu kelas dirata-rata, lalu skor di atas rata-rata dengan selisih paling banyak mendapatkan nilai tertinggi dan begitu juga sebaliknya.
Nah, dengan sistem seperti itu, maka persaingan amat ketat untuk mendapatkan nilai terbaik. Sebab, sepintar apapun mahasiswa tersebut, kalau dia tidak lebih pintar dari mahasiswa lain, dia tidak akan mendapatkan nilai terbaik.
Memang terlihat menakutkan. Mungkin hal itu juga yang membuat pelajar-pelajar di Singapura sering kali menginap di perpustakaan dan study room (tempat yang disediakan khusus untuk belajar dan biasanya buka 24 jam).
Tak hanya itu, di setiap Starbucks dan McDonalds, saya selalu menemukan orang yang sedang belajar atau tengah berdiskusi (saya juga salah satunya, sih). Pemandangan tersebut agak mereda pada saat liburan semester.
Budaya kompetitif ini juga terjadi di lingkungan kerja. Sistem kerja pegawai negeri di Singapura menganut sistem meritokrasi di mana promosi atau penghargaan diberikan berdasarkan prestasi. Tak heran jika banyak pegawai negeri yang menjabat posisi tinggi, meskipun dia masih muda.
Tak semuanya sempurna
Memang, tidak ada yang sempurna. Ada beberapa hal juga yang saya rindukan dari Indonesia pada saat saya tinggal di Singapura. Salah satu contohnya adalah kebebasan berekspresi.
Di Singapura, seseorang bisa dipidana lantaran berita yang tidak benar dan penghinaan. Contohnya saja Amos Yee Pang Sang, remaja berumur 16 tahun yang terancam dipenjara selama tiga tahun lantaran membuat video yang menghina almarhum Lee Kuan Yew Maret 2015 lalu.
Selain itu, sudah terdapat beberapa kasus juga yang berakhir ke meja hijau lantaran tuduhan korupsi. Contohnya saja kasus blogger Roy Ngerng yang dibawa ke meja hijau lantaran menulis soal penyalahgunaan dana pensiun (Central Provident Fund/CPF) oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada 2014. Dia berakhir dengan dipecat dan harus membayar denda sebesar SGD 6.000.
Namun begitu, terdapat beberapa hal yang menarik untuk diadopsi di Indonesia, antara lain adalah sistem transportasinya yang sudah maju, penataan kota yang bagus, dan juga sistem pemerintahannya yang efisien.
Saya pribadi berharap, hubungan Indonesia-Singapura akan semakin harmonis kedepannya mengingat banyak hal yang bisa dicontoh dari negara mungil itu.
Happy Birthday, Singapore! — Rappler.com
Ririn Radiawati Kusuma saat ini tengah merintis upaya untuk menjadi pengamat kebijakan publik. Dia adalah lulusan dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore.
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.