SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia (UPDATED) — Sekelompok anak muda rela mengambil risiko “digampar” demi memberikan pelajaran kepada kita tentang kedisiplinan. Mereka adalah Kukuh Adi dan rekan-rekan yang memproduksi video reality show “Minta Digampar”.
Dalam video yang ditayangkan melalui saluran YouTube Komtung TV ini, Kukuh yang berperan sebagai pembawa acara akan mendatangi para pelanggar aturan mulai dari pengendara motor yang melawan arah dan naik ke trotoar, hingga penumpang KRL Commuter Line yang duduk di bangku prioritas padahal tak berhak.
Pria yang berprofesi sebagai komika ini kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan provokatif kepada sang pelanggar — begitu provokatif hingga terdapat risiko sang pelanggar akan tersulut amarahnya dan menggampar (menampar) Kukuh.
Tujuannya, yang bersangkutan kemudian menyadari bahwa tindakannya itu salah dan merugikan kepentingan umum.
Tentu saja rencana ini tak selalu berjalan mulus. Kerap ditemui ada pelanggar yang masih merasa dirinya benar dan malah menjadi kesal dengan aksi Kukuh dan kawan-kawan.
Meski kadang pula, tak selamanya ia benar. Di sebuah video yang direkam di KRL Commuter Line, Kukuh menegur seorang pria muda yang terlihat sehat jasmani menduduki bangku prioritas. Ia pun menegurnya, bertanya kenapa tidak duduk di bangku kosong lain.
Sebenarnya, bangku prioritas boleh diduduki siapa saja, namun ketika ada orang lain yang lebih membutuhkan, seperti ibu hamil, manula, anak-anak, dan penyandang cacat, maka kita harus memberikan bangku itu pada mereka.
Akar masalah: Penegakan hukum setengah-setengah
Sering berinteraksi dengan para pelanggar aturan membuat Kukuh mulai memahami akar dari persoalan ini, mengapa ada orang yang secara sadar melakukan sesuatu yang tak sesuai aturan dan merugikan orang lain?
“Banyak yang bilang ini terjadi karena faktor pendidikan dan ekonomi masyarakatnya aja yang rendah. Tapi enggak sedikit juga yang pinter dan kaya raya melanggar peraturan serupa,” kata Kukuh saat dihubungi oleh Rappler, Senin, 10 Agustus.
“Menurut gua semuanya terjadi karena penegakan hukumnya yang setengah-setengah.”
Menurutnya, banyak pengendara motor yang berbuat salah namun tetap dibiarkan oleh aparat keamanan.
“Contohnya, sudah jelas motor jalan di trotoar itu adalah pelanggaran, tapi enggak ada tuh polisi yang nilang secara berkala, bahkan enggak sedikit yang ngediemin aja,” ujarnya.
“Dengan begitu, masyarakat (yang melakukan atau yang enggak melakukan) berpikir kalau motor lewat trotoar itu adalah hal yang lumrah.”
Lalu apa solusinya?
Menurut Kukuh, idealnya terdapat mekanisme kontrol yang diciptakan secara kolektif oleh masyarakat itu sendiri, dalam bentuk saling mengingatkan. Sayang dalam konteks Indonesia, hal ini menurutnya masih sulit untuk diwujudkan.
“Menurut gua, yang mesti dilakuin ya se-simple negur aja. Permasalahannya, mayoritas pola pendidikan kita enggak ngajarin untuk proaktif dalam berbicara,” katanya.
Ada yang mau mengikuti jejak Kukuh? —Rappler.com
BACA JUGA:
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.