Dampak perubahan iklim tidak pilih kasih

Hans Nicholas Jong

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dampak perubahan iklim tidak pilih kasih

EPA

Celakanya, Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, sama sekali tidak siap menghadapi dampak pemanasan global terhadap kesehatan,

Beberapa bulan lalu, tepatnya di bulan Maret 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang biasanya selalu tampil bugar terpaksa tidak masuk kerja. 

Ternyata ia terkena demam berdarah walau tidak sampai diopname. “Enggak opname, anak saya juga kena demam berdarah,” kata Ahok saat itu.

Lantas dari manakah Ahok, yang memimpin salah satu kota terpadat di dunia dengan 10 juta penduduk ini, terkena wabah nyamuk Aedes aegypti? 

“Di rumah, pos ajudan dan satpam jorok, nih. Sampai dispenser saja ketemu jentik,” ujarnya.

Walaupun rumah Ahok terletak di perumahan yang cukup elit di kawasan Pantai Mutiara, Jakarta Utara, ternyata nyamuk Aedes aegypti tidak pilih kasih. 

“Yang namanya demam berdarah, mau umur berapa juga, kaya, miskin, tinggal di kota atau desa, nyamuknya enggak milih-milih. Kemarin saja Ahok kena demam berdarah,” kata Budi Haryanto, Kepala Peneliti Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia.

Menurut Budi, hal tersebut menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan yang bisa berimbas kepada semua orang. 

“Logikanya ya, misalnya curah hujan meningkat, terus suhu meningkat karena perubahan iklim, ini yang mendorong meningkatnya jumlah nyamuk. Banyak air hujan tertampung di mana-mana, itu jadi media untuk menempatkan telur,” ungkapnya. 

Selain faktor semakin banyaknya media bagi nyamuk untuk menempatkan telur akibat dari perubahan iklim, pemanasan global juga berdampak terhadap siklus hidup vektor penyakit seperti nyamuk. 

“Kenaikan suhu dapat membuat rata-rata kehidupan nyamuk menjadi lebih pendek, namun frekuensi makannya lebih sering,” kata Budi.

Misalnya, rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk malaria ada pada kisaran 25-27 derajat Celcius dan waktu hidup 12 hari. Tapi karena pemanasan global, suhu optimum itu berubah menjadi 32-35 derajat celcius yang mempercepat metabolisme nyamuk, sehingga nyamuk cepat dewasa dan waktu hidupnya 7 hari saja. 

Selama kurun waktu seminggu itu, frekuensi makannya juga menjadi lebih sering dan cepat, dan ukuran nyamuknya juga lebih kecil dan lebih gesit.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, saat ini infeksi demam berdarah di Indonesia sudah menebar di lebih dari 29 provinsi dan meningkat secara signifikan mencapai 80.065 kasus pada tahun 2010. Namun hingga saat ini belum ditemukan vaksin maupun obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini. 

Contoh lain dari dampak perubahan iklim terhadap kesehatan semua orang adalah peningkatan polusi udara yang diakibatkan oleh semakin tipisnya lapisan ozon yang berfungsi sebagai pengatur suhu dan sinar matahari karena pemanasan global.

“Tidak peduli kaya atau miskin, kita semua menghirup udara yang sama, kan?” kata Budi.

Menurutnya, perubahan iklim selama ini disebabkan oleh penggunaan energi bahan bakar dan pembakaran hutan yang berdampak pada pemanasan global.

Dua kegiatan tersebut, ungkap Budi, secara otomatis membuat lingkungan terancam dengan banyaknya asap hasil pembakaran energi dan hutan merusak lapisan ozon.

“Setelah lingkungan sudah tercemar, perlahan berbagai penyakit seperti demam berdarah, diare, malaria, Ispa akan menyerang manusia,” paparnya.

Indonesia belum siap hadapi pemanasan global

Sebuah laporan baru dari jurnal medis ternama di dunia, the Lancet, menemukan bahwa ancaman perubahan iklim terhadap kesehatan manusia sangatlah besar, sehingga bisa merusak capaian manusia dalam kesehatan publik selama 50 tahun terakhir. 

epa03742546 A dengue fever poster inside the Tarakan Districk Hospital in Jakarta, Indonesia, 13 June 2013. Health officials in the US and Europe may soon be visiting South-East Asia for updates on the most effective means of fighting dengue fever. The warm South-East Asian region has typically accounted for a large share of dengue cases worldwide, with the virus normally peaking during the rainy season. EPA/BAGUS INDAHONO Poster waspada demam berdarah tertempel di sebuah rumah sakit di Tarakan, Jakarta. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Celakanya, Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, sama sekali tidak siap menghadapi dampak pemanasan global terhadap kesehatan, baik dari segi infrastruktur maupun kebijakan, aku Budi. 

Ia mengacu pada hasil kajian pemetaan dan model kerentanan kesehatan akibat perubahan iklim di 21 kabupaten/kota di Indonesia yang dilakukannya sejak awal 2013 dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain, tingkat resiliensi seluruh kabupaten/kota yang diteliti ternyata memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap malaria dan demam berdarah karena ketidakmampuan mereka menghadapi dampak perubahan iklim.

“Kalau saya mau katakan, sama sekali tidak ada (persiapan dari pemerintah daerah) karena mereka ngerti aja belum,” kata Budi.

“Karena ini hal yang baru dianalisis oleh beberapa orang, analisis masih langka sehingga pemerintah daerah dan pemerintah pusat pun belum aware benar, sehingga sosialisasi pun belum dilakukan. Jadi adaptasi kesehatan itu dapat prioritas yang paling bawah lah,” ujarnya lagi.

Masyarakat masih kurang pemahaman

Menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Wilfred H. Purba, kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengendalikan penyakit tersebut, selain perubahan iklim adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan penyakit tersebut juga dampak yang ditimbulkan. 

“Kendala lainnya adalah keterbatasan SDM (sumber daya manusia) kesehatan yang berkualitas, terutama di daerah terpencil, dan kondisi geografis, juga penyebaran nyamuk yang sudah meluas,” kata Wilfred.

Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Kesehatan sebenarnya telah merintis upaya adaptasi yang salah satunya dituangkan dalam Permenkes No. 1018/Menkes/Per/V/2010 tentang strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kesehatan.

“Masalahnya sekarang begini, khusus untuk (dampak) kesehatan (dari perubahan iklim saja) hanya ada satu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) untuk adaptasi kesehatan, itupun belum pernah diimplementasikan karena enggak ada sosialisasinya dan siapa yang mau ngerjain belum jelas,” ujar Budi. 

Oleh karena itu, menurutnya harus ada satu direktorat khusus di Kemenkes yang menangani masalah dampak perubahan iklim terhadap kesehatan sehingga bisa ada anggaran khusus untuk hal ini. 

“Kalau mereka mau menganggarkan di APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), siapa yang mau in charge? Harusnya di level direktorat jenderal sehingga dia bisa ditangani level direktur. Bayangkan di kementerian lain, seperti di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) itu di level eselon I, dirjennya ada, sehingga mereka ada yang mendanai,” ucap Budi. 

Sementara itu, laporan dari the Lancet merekomendasikan pemerintah untuk berinvestasi di energi terbarukan. Dengan itu, pemerintah tidak hanya mengurangi ancaman dari perubahan iklim, meningkatkan kualitas udara dan menurunkan penyakit pernafasan dan jantung, tapi juga mendukung teknologi yang bisa meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat miskin lebih cepat dan lebih murah daripada batu bara. —Rappler.com

Hans Nicholas Jong adalah seorang penulis lingkungan hidup yang peduli terhadap isu perubahan iklim. Sehari-harinya bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!