Sejarah tanah Kampung Pulo

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sejarah tanah Kampung Pulo
BPN punya program peningkatan sertifikat dari tanah adat menjadi hak milik.

JAKARTA, Indonesia — Polemik tanah di Kampung Pulo, Jakarta Timur menjadi kontroversi, utamanya dalam pekan ini akibat penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kamis, 20 Agustus.

Berikut adalah sejarah tanah Kampung Pulo berdasarkan data lembaga swadaya masyarakat (LSM) Ciliwung Merdeka.

Dalam pertemuan antara tim Ciliwung Merdeka dan Kepala Dinas Tata Kota dan Balai Besar Ciliwung Cisadane Teuku Iskandar pada 24 Juli 2015, warga Kampung Pulo menyatakan tidak menolak normalisasi Sungai Ciliwung.

Bahkan warga tampak tidak berkeberatan direlokasi, asalkan sudah ada kesepakatan tertulis antara perwakilan komunitas warga Kampung Pulo-Jatinegara dan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam bentuk Memorandum of Agreement (MOA). 

Namun yang membuat warga kecewa adalah bukan hanya soal keputusan penggusuran sepihak, melainkan pernyataan Pemerintah DKI Jakarta yang menyatakan mereka adalah penghuni liar di atas tanah negara.  

“Ini bukan tanah negara,” kata pegiat Ciliwung Merdeka Sandyawan Sumardi pada Rappler, Jumat, 21 Agustus.

Menurut data yang dipelajari lembaganya sejak 2000, rata-rata penduduk di Kampung Pulo sudah tinggal di wilayah itu sebelum 1930 atau sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada zaman masa kolonial Belanda, kampung ini merupakan bagian dari kawasan Meester Cornelis.

Pada abad ke-17, Jatinegara merupakan pemukiman para pangeran kesultanan Banten. Lalu pada 1661, seorang guru agama bernama Cornelis Senen, membeli tanah di daerah aliran Sungai Ciliwung. Kawasan ini kemudian menjadi pemukiman dan pasar yang kemudian disebut Meester Cornelis.  

Luas Kampung Pulo adalah 8.575 hektar, dengan jumlah penduduk 3.809 kepala keluarga.

Menurut Ciliwung Merdeka, tanah di Kampung ini adalah tanah adat yang dimiliki warga, bahkan sebelum 1930. Dasar kepemilikannya adalah verponding, seperti yang diungkap tokoh masyarakat Sholeh Husein Alaidrus kepada Rappler.

Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau, yang saat ini disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Menurut Ciliwung Merdeka, verponding diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3

Sebagai konsekuensi lahirnya undang-undang ini, pemerintah Indonesia harus mengonversi surat-surat kepemilikan adat ke dalam sertifikat tanah warga melalui program Prona dan Larasita. 

Dalam situs Badan Pertanahan Nasional (BPN) dijelaskan bahwa kegiatan legalisasi aset yang umum dikenal dengan PRONA merupakan singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria. 

PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi aset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi, adjudikasi, pendaftaran tanah, sampai dengan penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal. 

Sholeh dan warga pun berupaya mengikuti program ini. Ada warga yang berhasil menggunakan program ini. Ada juga yang belum berhasil dan masih memegang hak kepemilikan adat seperti girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia. 

Bahkan ada warga yang mengaku harus membayar kutipan Rp 30 juta, padahal biaya peningkatan sertifikasi tanah ini gratis. 

Program ini kemudian dilanjutkan di masa Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, sesuai dengan cita-cita program sembilan agenda prioritas Presiden Joko “Jokowi” Widodo. 

Pemerintahan Jokowi lewat Kementerian Agraria menjanjikan bahwa negara akan hadir dalam sengketa tanah dan ruang. 

Untuk mewujudkan hal ini, BPN membukan pelayanan ekstra di hari Sabtu dan Minggu, pelayanan online, hingga melibatkan kelurahan da ndesa. 

Namun hingga saat ini, masih banyak warga yang tidak berhasil meningkatkan surat-surat tanahnya. Kepala BPN Jakarta Gunawan membantah ada warga yang mengurus verponding di kantornya. 

“Bukan verponding-nya, tapi hanya akte jual beli di bawah tangan. (Pernyataan sendiri) saya membeli tanah verponding nomor sekian, hanya tulisannya saja bukan verponding-nya,” katanya. 

Tapi menurut keterangan Sholeh, warga memang tak bisa menunjukkan bukti nomor verponding, karena tidak dicantumkan oleh kelurahan. —Rappler.com 

BACA JUGA 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!