Mereka yang sukarela merawat penderita skizofrenia

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mereka yang sukarela merawat penderita skizofrenia
"Tidak selayaknya kita mengejek dan menyerang dengan kata-kata kasar seperti gila atau tak waras."

Griya Skizofrenia. Foto: Ari Susanto
SOLO, Jawa Tengah – Pagi menjelang siang, sebuah mobil patroli milik Polisi Pamong Praja berhenti di depan Griya Palang Merah Indonesia Peduli di Mojosongo, Jebres. Seorang perempuan tua berbaju kumal turun dengan menggendong bakul reot berisi ranting kering.

“Kita menemukan satu lagi dari jalan. Saya tanya dia, tapi dia tidak tahu nama dan asalnya sendiri, jawabannya tak nyambung,” ujar anggota satpol PP kepada petugas penjaga griya.

Seorang relawan perempuan segera menyiapkan pakaian ganti, lalu membujuk si ibu tanpa nama itu dan menggiringnya untuk mandi. Setelah beres, ibu tua itu dibawa ke bangsal untuk makan dan istirahat.

Solo adalah salah satu kota tempat “pembuangan” penderita skizofrenia atau gangguan jiwa yang lain. Mereka umumnya berasal dari kota-kota kecil di Jawa Tengah, namun ada pula yang berasal dari luar provinsi.

Mobil-mobil membawa penderita gangguan jiwa pada tengah malam dan menurunkannya di jalan-jalan tengah kota, melepas mereka menjadi gelandangan baru di Solo. Mereka berkeliaran dan tidur di emperan toko saat malam tiba.

Tak jarang orang mengacam mereka dengan kekerasan dengan maksud mengusir, namun ada pula penjual angkringan yang iba memberi mereka sebungkus nasi kucing – nasi dengan lauk secuil ikan dan sambal – dan air teh tawar yang dibungkus plastik.

Mereka yang menyusup masuk ke kampung lolos dari razia, sedangkan yang bertahan di pinggir jalan langsung diangkut oleh mobil Satpol PP yang beroperasi setiap pagi.

“Berawal dari itulah kami menggagas Griya PMI Peduli. Kami ingin menampung penderita skizofrenia yang terlantar dan tidak jelas asal dan keluarganya,” kata Sekretaris PMI Solo, Sumartono Hadinoto. 

Griya Peduli menjadi solusi masalah sosial perkotaan yaitu mengurangi gelandangan dengan gangguan jiwa. Tak hanya menampung, panti ini juga membantu penderita skizofrenia sembuh. Gratis. Semua penderita skizofrenia diterima tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama, dan latar belakang ekonomi.

Griya ini sanggup menampung sekitar 150 orang. Sejak berdiri tahun 2012, lebih dari 300 orang pernah menjadi penghuni. Setengah penghuni berhasil sembuh dan kembali ke keluarga mereka, sebagian kecil bertahan menjadi relawan di tempat tersebut.

Skizofrenia dikenal sebagai gangguan jiwa yang ditandai oleh halusinasi, delusi, waham, yang menyulitkan penderita untuk berpikir, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka memandang dunia sekelilingnya berbeda dari orang normal. Penderita skizofrenia umumnya merasa depresi, cemas, takut, atau bingung yang berlebihan.

Menurut Gathot Adi Yanuar, dokter pengelola Griya PMI Peduli, skizofrenia bisa disebabkan oleh berbagai faktor pemicu stres. Faktor ini bisa bermula dari diri sendiri, keluarga, lingkungan, pekerjaan, bahkan agama sekalipun – stres mencari Tuhan. Faktor ekonomi, perceraian, kekerasan, dan trauma bisa melatari penyakit kejiwaan ini.

“Meskipun medis dan obat menjadi terapi utama, keluarga tetap terapi yang terbaik. Kami berusaha mencari keluarga mereka dan menyarankan mereka pulang jika sudah membaik,” ujar Gathot.

Persoalannya, kata Gathot, dalam sebagian kasus, lingkungan keluarga justru menjadi faktor penyebab stres dan depresi, sehingga ada penderita skizofrenia yang sudah sembuh tetapi enggan dipulangkan dan memilih tinggal di panti karena dianggap lebih nyaman.

Mereka menjadi relawan baru, ikut memasak dan menyiapkan makan, mencucikan pakaian, memelihara kebun, dan mengajari ketrampilan.

Para relawan

Nur Hayu (33), mantan penghuni griya yang pernah delapan kali masuk rumah sakit jiwa sejak remaja karena skizofrenia, kini memilih menjadi relawan. Di sela-sela kesibukannya mengurus dua anaknya di rumah tanpa suami, ia menyempatkan diri datang menjenguk dan menyemangati kawan-kawannya.

Bahkan, ketika ada kunjungan PMI Internasional atau tamu asing, Hayu sering menjadi pemandu mereka karena kecakapannya berbahasa Inggris. Kepada tamu, ia pun tak malu menyebut dirinya pernah menjadi bagian dari para penghuni rumah sosial itu.

“Saya pernah menjadi mereka, saya mengerti betul apa yang sekarang mereka rasakan. Terkucil, depresi, cemas, takut, terhina, hidup tanpa asa. Saya ingin membantu sebisa saya,” ujar Hayu yang serius ingin menjadi pekerja sosial.

“Mereka sedang sakit, tidak selayaknya kita mengejek dan menyerang dengan kata-kata kasar seperti gila atau tak waras,” kata dia. Selain sakitnya, menurut Hayu, penderita gangguan jiwa tak ubahnya seperti kebanyakan orang sehat. Mereka butuh didengarkan, dipercaya, dan dihargai untuk memulihkan kondisi kejiwaan. Dukungan dari lingkungan sekitarnya bisa berdampak besar bagi kesembuhan penderita.

“Saya yakin, seperti yang pernah saya alami, teman-teman saya di sini ingin sembuh dan bangkit. Mereka butuh dukungan,” ujar Hayu.


Griya PMI Peduli tak sendirian. Ada pula anak-anak muda yang meluangkan waktunya membentuk Griya Schizofren Solo. Sejak 2012, Griya Skizofren Solo bertujuan memanusiakan dan membela hak-hak penderita gangguan jiwa. Ada lebih dari 50 orang relawan yang rutin mengadakan kegiatan di Griya PMI Peduli.

“Selama ini penderita skizofrenia masih mendapat stigma negatif di masyarakat. Mereka diperlakukan diskriminatif, padahal mereka juga manusia seperti kita,” kata Triana Rahmawati (23), mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret yang menggagas komunitas ini. 

Tidak hanya memberikan terapi musik, menyanyi, memasak untuk para penghuni Griya PMI Peduli, komunitas yang kebanyakan beranggotakan mahasiswa ini juga memberikan pelatihan membuat kerajinan bernilai ekonomis, seperti membuat pin, bross, gelang, dan aksesoris lainnya. Produk asli buatan penderita skizofrenia ini dijual dan hasilnya disumbangkan untuk mereka.

Komunitas ini juga menjalankan bisnis sosial binatu yang keuntungannya digunakan untuk kegiatan amal yang berkaitan dengan skizofrenia. Bahkan, komunitas ini aktif berjualan berbagai barang melalui media sosial untuk membiayai kegiatan kemanusiaan mereka.

Menurut Triana, ide untuk membantunya penderita skizofenia ini semakin mendapat banyak dukungan dari hari ke hari. Setiap relawan mempunyai cara sendiri-sendiri untuk berkontribusi.

“Salah satunya adalah dengan berkampanye di media sosial membela kesetaraan penderita skizofrenia dan mengajak orang lain peduli,” kata Tria. Sudahkah kamu peduli? – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!