Jaksa Agung akan rekonsiliasi kasus 13 aktivis 1998 yang hilang

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jaksa Agung akan rekonsiliasi kasus 13 aktivis 1998 yang hilang

DANY PERMANA

KontraS mengatakan Jaksa Agung tak berwenang untuk urus rekonsiliasi, karena dia adalah penegak hukum.

JAKARTA, Indonesia — Jaksa Agung Prasetyo mengatakan saat ini lembaganya sedang membahas penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada 13 aktivis 1998 yang melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

“Yang kami uraikan, pendekatan penyelesaiannya secara non yudisial atau rekonsiliasi,” kata Prasetyo pada Rappler, Sabtu, 30 Agustus. Hari ini adalah peringatan Hari Orang Hilang Sedunia.

Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, sedang mengajak pihak lain untuk mempertimbangkan opsi rekonsilasi ini, sehingga kasus tersebut dapat segera diselesaikan.

“Tentu perlu diputuskan bersama dan disetujui yang lain juga, seperti Komnas HAM,” katanya merujuk kepada lembaga pemerintah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Mengapa pilih jalan rekonsiliasi? 

“Karena itu perkara lama sekali, yakni tahun 1997. Mencari buktinya tidak mudah,” katanya.

Rekonsiliasi ini, klaim Prasetyo, juga sejalan dengan janji kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo tahun lalu. Dalam janjinya yang tercantum dalam Nawa Cita, Jokowi berjanji akan mencarikan jalan keluar untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini.

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya masuk dalam salah satu agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita butir ke-4 dan poin ke-9, tetapi juga tertuang dalam visi-misi pemerintah yang berbunyi:

“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.” 

Menurut Prasetyo, memaksakan untuk menuntaskan kasus ini lewat jalur hukum juga bukan pilihan yang tepat. “Yudisial kalau dipaksakan, bagaimana hasilnya,” katanya.  

Ia lebih memilih untuk melupakan masa lalu pahit itu. “Ini luka lama, kalau mungkin segera kita sembuhkan, agar bangsa ini segera menatap ke depan, karena itu perlu rekonsiliasi,” katanya. 

Komnas HAM minta korban dilibatkan 

Anggota Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan lembaganya tak bisa dilibatkan dalam proses selanjutnya.

“Menentukan jalur yudisial atau non yudisial itu bukan kewenangan Komnas HAM. Komnas HAM kewenangannya yudisial, dan itu sudah dilakukan saat penyelidikan kasus ini,” kata Natalius. 

Komnas HAM sebelumnya telah membentuk tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporannya di halaman 301, Tim Mawar adalah yang paling bertanggungjawab atas peristiwa penculikan puluhan aktivis ini. 

Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk dibawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasar perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu, Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Pada tahun 2006, Komnas HAM juga telah menyerahkan laporan itu ke Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan terseut. Namun, Kejagung justru menolak dengan dalih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad Hoc.

Mengenai opsi rekonsiliasi, kata Natalius, itu wewenang pemerintah. “Jaksa Agung ingin mengajak Komnas HAM untuk melakukan rekonsiliasi perdamaian. Menurut saya tidak tepat,” katanya. 

Ia juga memperingatkan agar dalam proses mencari keadilan untuk hilangnya aktivis 1998, harus melibatkan keluarga korban, dan korban yang sudah kembali.

“Korban harus dijadikan subyek dalam mengambil keputusan, karena keadilan ada di korban,” katanya. 

KontraS: Jaksa Agung jangan tempuh jalan pintas

Sementara itu, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan Jaksa Agung tidak berwenang untuk mengurus rekonsiliasi, karena dia adalah penegak hukum.

“Jaksa Agung ngawur, masa tukang masak ngurusin cat tembok,” kata Haris. 

Jika yang menjadi keberatan adalah soal bukti dan saksi, maka Jaksa Agung harus bekerja terlebih dulu untuk menguji dua poin tersebut. “Jaksa Agung belum bekerja sama sekali,” ujarnya. 

Hingga hari ini, kata Haris, ia meyakinkan belum ada yang mengajukan draf rekonsiliasi tersebut. Haris mengklaim pihaknya sudah melakukan konfirmasi pada Istana tentang hal ini.  

Ia menyebut jalan rekonsiliasi yang ditawarkan oleh Jaksa Agung adalah jalan pintas. Apalagi, katanya, selama ini Jaksa Agung disebut tidak pernah berani menemui keluarga korban.

“Ini bencana keadilan buat Indonesia,” katanya.

Keluarga korban terus mencari keadilan

Meski upaya rekonsiliasi terus diupayakan oleh Kejaksaan Agung, tapi keluarga korban terus melakukan pertemuan dengan pihak-pihak dari Kementerian Hukum dan HAM dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pada 18-21 Agustus yang lalu, mereka berkunjung ke beberapa tempat, antara lain melakukan audiensi dengan Dewan Pertimbangan Presiden, Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Jenderal ASEAN, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, dan anggota DPR Bachtiar Aly dan Effendi Simbolon. 

Apa hasil kunjungannya? Baca di sini.  

Seorang keluarga korban bernama Paian yang merupakan orang tua Ucok Munandar, aktivis mahasiswa 1998 yang hilang, mengatakan alih-alih rekonsiliasi, ia masih berharap keadilan pada Jokowi. 

“Sekarang bolanya ada di pemerintah. Pemerintah harus segera bekerja,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!