Sebelum kamu memutuskan untuk berhijab

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sebelum kamu memutuskan untuk berhijab
Ada saatnya perempuan yang berjilbab bosan memakai jilbabnya

 

Tahun 2002, saat saya memutuskan untuk berhijab, orangtua melarang. Kata bapak saya, hijab itu tidak wajib. Kata ibu saya, hijab tidak membuat wanita lebih cantik. Keayuan perempuan tidak akan tereksplorasi dengan berjilbab.  

Rambut saya yang hitam dan ikal, serta menjuntai, tidak akan lagi bisa dikuncir ke atas, atau sekedar diberi pita. Tapi keputusan saya sudah bulat, meski umur saya belum 20 tahun saat itu, saya memutuskan untuk berhijab. 

Saya tidak takut, meski kakak saya mengancam dengan mengatakan, “Semoga bapak tidak membakar jilbabmu,” katanya. Kakak saya masih trauma, karena bapak saya dulu pernah membakar jilbabnya.

Mengapa saya memutuskan untuk berjilbab? Alasannya sederhana. Hari itu, 3 Februari 2002 saat berada di pengajian Daurat Tauhid Bandung, saya mendengarkan Abdullah “Aa Gym” Gymnastiar ceramah. Hati saya tergerak. 

Lupakan soal ayat. Alasan yang sangat sederhana, karena ingin menjadi putri yang saleh untuk kedua orangtua. Terdengar polos ya. 

Tapi benarkah demikian? Jawabannya, tentu saja tidak semulus demikian. Perjalanan memakai jilbab selama 13 tahun membuat saya tersadar, bahwa masa bulan madu memakai jilbab akan segera berakhir di tahun kedua saat memakainya.  

Perjalanan memakai jilbab selanjutnya tidak datang dari perdebatan batin, tapi dari pergulatan pikiran, dan stigma masyarakat. 

Saya tetap menjadi seperti yang saya minta 

Penulis (kanan) bersama Kasha Jacqueline (kiri), sahabat David Kato, yang menjadi obyek film 'Call Me Kuchu'. Foto dari Febriana Firdaus

Baiklah. Saya memang memutuskan untuk berjilbab. Tapi tunggu dulu, itu 1 persen keputusan dalam hidup saya. Saya juga memutuskan dengan siapa saya bergaul, buku apa yang saya pilih, dan profesi apa yang saya tekuni. 

Saat saya sudah berjilbab, bukan berarti saya membatasi pergaulan. Saya percaya, seseorang akan menemukan pengalaman spiritualnya dari orang-orang di sekitarnya. 

Alih-alih seperti ceramah seorang ustaz di kampus saat kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, untuk menghindari orang-orang yang tidak sepaham dengan kita agar kita istiqomah di jalan-Nya, saya justru sebaliknya. 

Saya memutuskan untuk memasukkan kaki di tanah yang berlumpur, daripada berjalan aman di pematang sawah. Tidak. Itu bukan saya. 

Maka saya meneruskan bergaul dengan teman-teman saya yang ateis, agnostik, dan bahkan beda agama. Ada yang salah? 

Pergaulan itu berlanjut hingga saya bekerja. Saya juga dekat dengan orang-orang yang dikategorikan lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT). Baca tulisan saya di sini soal LGBT. 

Saya juga tetap membaca buku-buku seperti karya Michel Foucault, Pengetahuan adalah Kekuasaan, atau Dunia Sophie, bacaan wajib anak kuliah di fakultas ilmu sosial dan politik. 

Saya akhirnya juga memilih profesi sebagai wartawan, kerjanya 24 jam, kadang pulang dini hari, yang menurut syariat Islam tidak ‘baik’ untuk perempuan. Tapi saya mah tidak peduli, karena saya merasa melakukan sesuatu untuk masyarakat, menulis berita korupsi. 

Biarkan kami memutuskan

Penulis saat bersama jurnalis Pakistan Rahimullah Yusufzai yang pertama kali mewawancarai Usama bin Laden, dan jurnalis dari Afghanistan. Foto oleh Febriana Firdaus.

Namun tak sedikit cibiran yang saya terima dari mereka yang menganggap diri mereka beriman. Perempuan berjilbab menurut mereka harus sesuai dengan syariat, kelakuan dan penampakannya.  

Saya kadang dicerca sebagai kaum liberal atau generasi Siti Musdah Mulia, dosen yang terkenal dengan kontroversi kesetaraan gendernya. “Pakai jilbab kok liberal,” kata mereka. 

Bahwa yang harus dipahami masyarakat sesungguhnya adalah berhenti menuntut pada perempuan berjilbab. Berhenti mengatur bahwa perempuan berjilbab harus seperti Aisyah RA. Sepertinya mereka melupakan sosok perempuan karir seperti Khadijah. 

Ketika perempuan memutuskan berjilbab, dia tidak berhenti dengan selembar kain yang menutup kepalanya. Ada saat di mana dia meragukan apa yang telah diputuskannya. Ada saat di mana dia kembali mencari makna apa di balik jilbabnya. 

Ada saat-saat di mana ia merasa lebih rendah derajat keimanannya dari perempuan-perempuan yang memakai rok pendek yang salatnya tepat waktu. Ada saatnya di mana dia lelah, karena Tuhan jauh darinya. Dia seperti juga Anda, imannya naik dan turun. 

Bahkan suatu hari, bisa saja, dia bulat dan mengambil keputusan, dia akan menanggalkannya. Seperti teman saya. 

Saya merelakan teman saya yang memutuskan untuk melepas jilbabnya pada saat kuliah. Saya satu-satunya orang yang mendukungnya. Karena dipaksa memakai jilbab, sama dengan dipaksa tidak memakai jilbab, seperti yang terjadi pada saya dulu. 

Karena saya percaya, memakai jilbab itu memang tidak mudah, di tengah masyarakat yang menganggap simbol adalah maha segalanya. 

Tapi ada saat-saat di mana saya bahagia memakai jilbab. Mungkin karena hal-hal yang kecil. Seperti saat saya menghadiri acara Frederich Ebert Stiftung Award di Berlin pada 2012. 

Pertemuan dengan Rahimullah Yusufzai — jurnalis asing pertama yang mewawancarai Osama Bin Laden itu — memberikan semangat pada saya, hanya karena dia menjuluki saya dengan “The woman who wear black hijab.”  

Dia mengatakan, semua tamu mengenali saya karena sayalah satu-satunya yang memakai hijab. Dia mengatakan terkesan, karena ada perempuan berjilbab yang menekuni profesi sebagai wartawan. Apalagi di Pakistan, punya semangat belajar seperti Malala Yusufzai saja Anda bisa ditembak oleh Taliban. 

Belajarlah dari Yusufzai, kadang sepatah kata yang tidak muluk seperti ayat, bisa melekat di kepala kami selama bertahun-tahun. 

Tidakkah semua seorang seperti dia, memberikan semangat pada semua perempuan muslim. Dengan tidak menuntut lebih. Berjilbab atau tidak berjilbab. 

Karena seperti kata ilmuwan Edward William Said, “Identitas itu tidak pernah absolut.” 

Baca kutipan inspirasi dari Said tentang Orientalism di sini.  

Tidak ada hubungan antara orang berhijab dan apa yang tersimpan dalam di kepalanya, hatinya, bahkan sikapnya sehari-hari. Tapi masyarakat lebih suka mendominasi kami, lalu memutuskan sepihak, seperti apa kita harus menjadi, bertutur, dan bersikap. Seperti yang mereka minta. —Rappler.com 

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @FebroFirdaus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!