Dua sisi Steve Jobs dalam film dan dokumenter barunya

Shinta Setiawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dua sisi Steve Jobs dalam film dan dokumenter barunya
Mendiang Steve Jobs merupakan sosok yang sangat menarik untuk dikaji. Baik ketika ia masih hidup maupun setelah meninggal, Jobs masih merupakan subjek yang banyak dikupas di buku dan film.

 

Buku biografi Steve Jobs karya Walter Isaacson yang diterbitkan pada 2011 merupakan paparan paling mendalam yang pernah ada tentang salah satu pendiri Apple ini. Karena itu, ketika penulis naskah terkenal, Aaron Sorkin memutuskan untuk mengadaptasi buku biografi Jobs tersebut, penonton pun menunggu hasilnya dengan antusias.

Ada beberapa film yang telah dibuat mengenai Steve Jobs dan Apple. Dulu, yang paling terkenal adalah film televisi Pirates of the Silicon Valley (1999) yang menghadirkan Noah Wyle sebagai Jobs, dan Anthony Michael Hall sebagai Bill Gates.  

Tahun 2013, Jobs yang dibintangi Ashton Kutcher dan didukung oleh Josh Gad sebagai Steve Wozniak juga telah dirilis. Meski Kutcher secara fisik mirip dengan Jobs, film ini tidak mendapat sambutan baik.

Lalu, apakah Steve Jobs yang ditulis oleh Sorkin — yang telah menggelar kisah berdirinya Facebook dengan apik di film The Social Network (2010) — dan diarahkan oleh sutradara Danny Boyle akhirnya bisa disebut sebagai kisah perjalanan sang inovator yang layak dibanggakan?

Dalam pemutaran perdananya di Telluride Film Festival, Steve Jobs disambut dengan positif. Kekhawatiran bahwa sang pemeran utama, Michael Fassbender, tidak memiliki kemiripan dengan Jobs ternyata tidak menjadi faktor minus bagi film ini. Fassbender menghadirkan performa prima yang membuat beberapa kritikus yakin bahwa dirinya merupakan penantang kuat dalam musim penghargaan tahun depan.

Yang menarik, film ini, seperti dalam buku Isaacson, tidak menutup mata akan sisi gelap Jobs yang kini telah lebih banyak diketahui orang. Meski brilian dan visioner, di saat yang sama, Jobs juga merupakan sosok menakutkan yang meraih kesuksesan di atas kerja keras banyak orang yang diperlakukannya dengan buruk.

Semua ini memang bukan informasi baru, tetapi Boyle dan Sorkin mengemasnya menjadi tontonan tiga babak yang berhasil meyakinkan kritikus bahwa inilah film terbaik tentang Steve Jobs.

Kepada Pete Hammond dari Deadline, Steve Wozniak sendiri bahkan punya pendapat positif atas film ini. 

“Saya sudah menonton rough cut-nya dan saya merasa seperti menonton Steve Jobs dan yang lain (termasuk potret Wozniak yang diperankan oleh Seth Rogen dengan tepat), bukan hanya aktor yang memerankan mereka, saya memberi penghormatan penuh pada Danny Boyle dan Aaron Sorkin untuk membuatnya begitu pas,” komentarnya. 

 

‘Steve Jobs: The Man in the Machine’ 

Merupakan kebetulan bahwa di pekan yang sama dengan pemutaran perdana film biografi ini, dokumenter karya Alex Gibney, Steve Jobs: The Man in the Machine pun dirilis terbatas dan juga melalui video on demand.

Tak hanya mengisahkan tentang karier Jobs, film dokumenter ini juga menginspeksi karakter Jobs dan praktek bisnisnya. Jobs memang menghadirkan revolusi di berbagai bidang yang mengubah hidup banyak orang. Tetapi, di baliknya ada hal-hal yang tak cocok bila disandingkan dengan citra Jobs yang selama ini dikenal dunia. 

Di film dokumenter ini, Jobs terlihat begitu ambivalen. Steve Jobs: The Man in the Machine banyak dianggap menggambarkan Jobs dengan pahit, dan terkadang condong memojokkan Jobs. Saat pemutarannya di SXSW Film Festival, beberapa karyawan Apple bahkan keluar dari ruangan karena tak suka dengan apa yang mereka lihat.

Sang sutradara, Alex Gibney, memang sosok pembuat film dokumenter yang sering mengangkat kisah yang bisa membuat banyak pihak tersinggung. Contohnya, melalui Going Clear: Scientology and the Prison of Belief (2015) yang mengangkat tentang Scientology yang gila kontrol dan kejam, ataupun melalui Mea Maxima Culpa: Silence in the House of God (2012) yang mengangkat mengenai praktik pedofilia dalam gereja Katolik yang ditutup-tutupi. 

Steve Jobs: The Man in the Machine yang mengangkat kisah seorang pemimpin perusahaan yang punya posisi mirip pemimpin spiritual ini pun tidak segan untuk mengutak-utik bagian paling gelap dari Jobs dan Apple.

Tapi, apakah semua ini perlu disusun kembali apabila fakta-faktanya sebenarnya telah diketahui publik? Menurut Gibney, ini perlu, tidak hanya untuk memahami Jobs, tetapi untuk memahami diri kita sendiri dan hubungan kita dengan Apple, produk-produknya, dan Jobs sendiri sebagai wajah dari perusahaan tersebut.

“Saya harap saya telah menciptakan tempat di film ini untuk menanyakan beberapa pertanyaan, tak hanya mengenai Steve, yang saya sangat kagumi, tapi juga mengenai siapa diri kita dan apa nilai-nilai yang kita pegang. Terutama ketika hubungannya tak hanya pada bisnis, tapi juga teknologi,” kata Gibney pada The Verge.

“Hal-hal itu jauh lebih penting, bukan tentang apakah saya sering bicara dengan kritis mengenai Steve Jobs ataupun tidak. Saya harap banyak orang dari Apple yang akan melihat film ini dan menghadapinya. Dan juga berdiskusi tentangnya.”

Dibandingkan dengan Steve Jobs, film dokumenter ini jelas lebih kelam. Tapi di film ini pun, dengan latar waktu peluncuran tiga produk penting dari Apple, Jobs digambarkan sebagai sosok tiran.

Meski demikian, bila ini dikhawatirkan akan merusak citra Apple, maka perusahaan ini mungkin akan sedikit lega mengetahui bahwa seperti ulasan Sasha Stone untuk The Wrap, film ini merupakan perjalanan Boyle dan Sorkin untuk menemukan arti kesuksesan Jobs dengan cara yang tidak disangka. 

“Dalam filmnya, ada banyak pembahasan mengenai status Jobs sebagai anak adopsi sebagai alasan utama ia punya begitu banyak masalah dengan putrinya sendiri. Hubungan yang retak ini disandingkan bersama titik tertinggi dan titik terendah karier Jobs,” tulis Sasha.

“Pada akhirnya kesuksesannya tidak akan ada yang berarti bila ia tidak bisa melakukan hal yang benar, yang artinya bukan sekadar menafkahi anaknya. Ini mungkin adalah hal yang paling mengejutkan – bagaimana Boyle dan Sorkin memulai sebuah penggalian untuk menemukan hati Steve Jobs.”

 

Penggambaran yang adil namun simpatik tentu bukan sesuatu yang negatif bila mampu digarap dengan baik oleh pembuatnya. Sebagai contoh, The Social Network yang juga melibatkan Sorkin tidak menggambarkan Mark Zuckerberg dengan positif. Tapi, ini tidak mempengaruhi Facebook, dan justru lebih mendekatkan kisah mengenai situs jejaring sosial ini pada para konsumennya.

Steve Jobs dan Steve Jobs: The Man in the Machine mengisahkan tentang Jobs sebagai seorang dewa, dan seorang monster. Tetapi, dua sisi ini mungkin patut untuk diungkap, untuk menampilkan bahwa di balik para pionir teknologi yang luar biasa, di dalam diri mereka, ada sosok manusia yang punya banyak kelemahan dan cela.

Gibney melemparkan poin yang valid bahwa pengultusan Jobs dan Apple membuat orang memuja atau meniru mentah-mentah semua yang dilakukan perusahaan tersebut dan sang pemimpin, sehingga sulit untuk melihat mereka dengan objektif. Ini bisa menjadi sebuah masalah.

“Salah satu alasan saya membuat film ini adalah untuk berkata, ‘Beberapa hal memang hebat. Beberapa hal tidak sebegitu hebat. Hanya karena Apple sangat sukses, kita tak harus meniru semuanya, kita tidak harus membuat pilihan-pilihan yang sama dengan Steve.’”

Ini mungkin sesuatu yang bisa kita pikirkan saat menggunakan iPhone, saat bermain dengan iPad kita, atau saat menonton Apple event melalui MacBook Pro di rumah.

Apakah Steve Jobs dan Steve Jobs: The Man in the Machine adalah usaha untuk semakin memanusiakan Jobs? Mungkin demikian. — Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!