Kenapa saya berpikir untuk mengakhiri hidup

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa saya berpikir untuk mengakhiri hidup
Saya ingin hilang. Saya ingin bebas. Saya tahu saya tidak akan bisa bebas kecuali saya mati

Jika saya memutuskan membeli saja obat-obatan itu, saya tidak akan terbangun dengan bunyi notifikasi WhatsApp dari teman saya yang menanyakan kondisi saya dan apakah saya sudah sarapan atau belum.

Kawan, pesanmu menyelamatkan jiwaku — dan kewarasanku (semacam iklan layanan masyarakat).

Ini bukan postingan yang enak dibaca; Enggak enak malah. Tapi perlu untuk dibaca. Tapi sebelum meneruskan membaca, save your judgment for yourself.

Saya pernah beberapa kali (OK, sering) terpikir untuk mengakhiri hidup. 

Bunuh diri? Enggak juga sih. Lebih ke ingin menghilang tanpa jejak, seolah saya tak pernah terlahir dan orang tidak pernah tahu tentang eksistensi saya. 

Saya ingin semua pertemuan, semua kenangan, semua perasaan buruk menghilang. Saya ingin hilang. Saya ingin bebas. Saya tahu saya tidak akan bisa bebas kecuali saya mati. Hilang seluruhnya. Raga maupun jiwa. 

OK, fine. Bunuh diri.

Overdosis obat jadi cara yang saya pilih. Alasannya? Ya, kalau jatuh atau lompat ke rel, kan sayanya berserakan. Tetap ingin cantik, gitu. Minimal utuh. 

Dan saya pikir ini cara yang paling mudah. Obat tidur. Otak saya akan melambat sampai saya tidur dan, ya sudah.

Maka suatu malam saya mencari informasi di Internet hingga 30 tab di browser untuk mencari cara tercepat mengakhiri penderitaan ini. On that Sunday night, Anindya decided to die.

Ketahuilah, begitu gampang menemukan semuanya di Internet. Forumnya, komunitasnya, penjualnya, caranya, sebut saja. Sampai saya membaca salah satu blog tentang seorang penderita bipolar mem-posting tentang overdosis obat.

Oh ya, membaca blog tentang masalah kejiwaan harus hati-hati. Tarik semangat perjuangannya, tentunya setelah kamu bisa selesai melewati rasa tidak enak dan ngeri membayangkan self-harm (saya pernah, guratnya baru hilang 2 bulanan), atau menelan berbutir-butir obat.

Kami semua ingin hidup, kami ingin sembuh, kami tidak memilih seperti ini. Kami tahu kami menyusahkan banyak orang. Jadi yang berkomentar bahwa ini karma, kutukan, kurang beribadah, atau orang tak bersyukur, saya doain situ nanti ngalamin sendiri biar paham (masa bodoh amat doanya jelek).

Dari tentangbipolar.blogspot.com milik Vindy Ariella ini, saya mulai mengurungkan niat untuk mengakhiri hidup Minggu malam itu.

Untuk dapat menceritakan dengan detil setiap momennya membuat saya perlu keberanian. Menulis berarti mengingat ulang dan tentu, tak hanya emosi dan pikiran, tubuh pun akan bereaksi kembali saat mengingat kenangan tidak menyenangkan itu. 

Tapi dari situ saya mengagumi semangat bertahan dan berjuang Mbak Vindy. Sesuatu yang kerap orang lain lewatkan saat membaca tulisan tentang depresi dan gangguan jiwa adalah bahwa kami yang berhasil menulis adalah kami yang bertahan. Lah, buktinya bisa nulis. Bahwa kami berani melihat kembali kenangan dan berbagi, lepas dari apapun penilaian orang nantinya.

Saya tidak bangga. Saya tidak ada maksud apa-apa. Jika ada orang yang membaca ini dan merasa tidak sendirian lalu bertahan, alhamdulillah.

Jam menunjukkan pukul 2 dini hari dan saya mulai tenang. Saya membaca blog Vindy dari 2010 sampai sekarang. Masa yang sama ketika saya mulai merasa depresi (tapi belum terdiagnosa). 

Tanpa sadar saya membaca laa haula wala quwwata illa billah dan pelan-pelan mulai mengantuk.

Kata-kata buruk tertanam dalam ingatan, begitu juga penolakan, pengkhianatan, kebohongan, dan kejadian tak sesuai harapan. 

Sembari membaca, menangis tak henti, dan membaca doa, saya baca pesan WhatsApp yang masuk. Ada kawan-kawan yang meyakinkan saya bahwa saya yang menulis sendiri hidup saya. Bahwa kata-kata hanya kata-kata, tak seorang pun berhak bermain atau menjadi Tuhan atas orang lain.

Keesokan harinya, angin dan sinar matahari membuat saya terbangun. Tiba-tiba ada ketenangan dalam hati. Perasaan tak sendiri. Perasaan bahwa saya bisa. 

Pesan WhatsApp dari teman-teman, dukungan sesederhana menanyakan apakah saya sudah sarapan, pemahaman bahwa saya butuh sendiri, bahwa mereka selalu ada meski saya sedang cocooning (meminjam istilah teman), bahwa ada kado-kado kecil dari teman-teman untuk ulang tahun saya.

Kalau saya memutuskan mati, saya tak akan tahu semua itu. Saya tak akan sempat membaca pesan dari mereka, tak sempat mencoba lipstik baru, tak sempat melihat bahwa hidup saya masih bisa jadi lebih baik.

Perasaan baik ini… bertahan beberapa hari.

Lalu saya kembali terpuruk semalam, berpikir harusnya saya nekat saja tidur di mobil sembari menyalakan AC menutup jendela, atau minum Incidal dan CTM itu. 

Saya berteriak tertahan mempertanyakan kenapa orang pada jahat-jahat banget. Lalu saya kembali membaca doa, yang diajarkan ibu dan tante saya untuk meredakan panic attack, dan akhirnya tertidur tanpa sadar, kombinasi lelah menangis sembari berdoa, kemudian bermimpi meluapkan amarah pada beberapa orang, dan terbangun memulai hari dengan pertengkaran (saya cuma ingin bercerita dan didengar, dipahami bukan dihakimi). 

Tapi seminggu kemarin saya belajar banyak hal: 

1. Dari obrolan dengan teman, saya baru sadar bahwa tubuh saya kuat. 

Teman saya tidak bisa minum obat, maagnya kumat. Saya? Drug abuser. Saya kecil, kurus, tapi alhamdulillah kuat. 

Beberapa kali dia memaksa saya tersadar di tengah malam supaya tidak bablas saat detak jantung melambat. Beberapa kali dia menjalani pengobatan jangka panjang. Beberapa kali dia dipaksa menahan sakit hingga di titik tertinggi, fisik maupun psikologis. Beberapa kali dia menahan benda-benda buruk yang saya konsumsi. Tubuh kita dirancang untuk bertahan, untuk menolak ancaman. Untuk bertahan dari kematian.

Bisa saja saya minum 16 butir Antimo atau Lelap (enggak bikin ngantuk blas) tapi tubuh saya pasti menolak semua itu. Otak saya refleks menolak untuk dipadamkan, meski jiwa saya sudah padam bertahun lalu.

Di salah satu forum, saya juga membaca betapa menyakitkannya perut dipompa dipaksa mengeluarkan obat dan toksin. Tapi bayangan wajah ibu saya yang menangis menarik saya kembali ke realita. Saya sudah terlalu sering masuk rumah sakit. Menyusahkan ibu. Saya pernah muntah darah di Sudirman, menahan sampai Senayan City di suatu sore sepulang kerja. 

Saya pernah menjalani pengobatan 9 bulan, pernah pula menjalani pengobatan menahun. 

Saya mau hidup. Saya masih mau ke Ladakh dan Istanbul bersama Vitri, masih mau overland Indocina, dari Saigon-Hue-Hoi An-Hanoi. Masih mau ajak adik saya ke Toraja. Saya masih mau hidup. 

2. Doa menguatkan. Ada yang menjawab meski tak terjelaskan. 

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Laa tahzan innallaha ma’ana

3. Saya punya support system yang menakjubkan. 

Ada teman-teman yang mau menunggu saya kembali. Teman-teman yang hanya ingin saya bahagia, apapun bentuk bahagia yang saya inginkan. Teman-teman yang mau mengajak saya ke berbagai agenda seru ibu kota. Teman-teman yang menanyakan kabar tepat di saat saya menangis tersedu. Teman-teman yang mau mengajak dan menemani saya makan. Teman-teman yang memiliki cerita dan derita sama dengan saya. Teman-teman yang membuat saya percaya ada akhir atau awal yang bahagia. Teman-teman yang bagi saya, cara Tuhan menunjukkan bahwa Dia hadir untuk saya.

Saat ini saya tidak bisa bilang saya sehat atau stabil. Perasaan ingin pergi selamanya masih berulang kali muncul. Yang bisa saya katakan adalah, saya masih ada di sini sore ini, menuliskan cerita tidak menyenangkan ini, bertahan. Bertahan sehari demi sehari lagi. —Rappler.com


Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah. Sebagai perempuan yang bergelut dengan depresi, dia bersama beberapa kawan sedang mempersiapkan situs untuk lebih memahami depresi, get-happy.org.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!