Masih ada polisi baik di Indonesia

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masih ada polisi baik di Indonesia

EPA

Di balik persepsi buruk tentang oknum polisi, wajah-wajah ini memberikan angin segar di tubuh kepolisian

Pada Selasa pagi itu, 8 September 2015, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, arah perempatan kantor Kementerian Pertanian tersendat. Di ujung perempatan, lalu lintas arah Cilandak terhenti. 

Di perempatan itu berdiri seorang polisi paruh baya berusaha mengatur agar lalu lintas tetap bergerak. Tetapi setelah sepuluh menit terhenti, akhirnya bapak polisi itu menyeberang jalan.

Ia berjalan perlahan menuju perempatan Cilandak. Tadinya saya berpikir, “Tidak mungkin si Bapak ini berjalan sampai perempatan Cilandak.” Jaraknya lumayan jauh dan menanjak.

Tapi karena dia berjalan lebih cepat dari saya berjalan, maka saya tidak bisa terus mengamati dia. Ternyata dugaan saya salah. 

Sesaat kemudian lalu lintas mulai mengalir. Ketika saya sampai di jalan keluar tol sebelum perempatan Cilandak, si bapak polisi ada di sana, mengatur lalu lintas agar berjalan lancar lagi. 

Di sana sebenarnya sudah ada polisi yang, menilai dari tampangnya, usianya lebih muda dari si bapak yang mengatur lalu lintas tadi. Tapi entah kenapa, kehadiran si bapak polisi senior inilah yang berhasil mengurai kemacetan. 

Ada beberapa cara untuk melihat situasi ini. Yang pertama, itu memang kerjaannya. Dia bertanggung jawab mengurusi lalu lintas. 

Yang kedua, buat yang senang berpikiran negatif, bisa menilai si bapak polisi mungkin sedang berusaha mencari simpati atau dukungan. 

Namun ada cara ketiga; cara lain untuk melihatnya. Tapi sebelumnya mari kita ingat-ingat citra polisi belakangan ini. 

Rekening gendut, korupsi, anti-KPK

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada oknum polisi lalu lintas yang bisa diajak berdamai ketika pengendara kendaraan bermotor melakukan pelanggaran lalu lintas. Tidak pernah ada yang mempermasalahkan itu dengan serius. 

Belakangan, kasus rekening gendut seperti membuka mata banyak orang, bahwa institusi penegakan hukum yang satu ini memang memerlukan reformasi — bukan sekedar reformasi birokrasi seperti program pemerintah yang menitikberatkan pada peningkatan kinerja diganjar tambahan pendapatan. 

Reformasi yang diperlukan adalah reformasi pola pikir, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab. 

KORUPSI SIMULATOR SIM. Mantan Kakorlantas Djoko Susilo di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 23 April 2013 silam. Foto oleh Mast Irham/EPA

Tak cukup dengan rekening gendut, ada banyak kasus lain yang terkuak setelah itu, seperti kasus korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melibatkan mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukumnya 10 tahun penjara, namun kemudian Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukumannya menjadi 18 tahun penjara. 

Pada April tahun ini, mantan Wakil Kepala Korlantas Brigjen Didik Purnomo juga dihukum 5 tahun penjara untuk kasus yang sama. 

Belum lama ini, meski bukan korps lalu lintas, media diramaikan dengan berita dugaan kriminalisasi petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK non-aktif Abraham Samad, Wakil Ketua KPK non-aktif Bambang Widjojanto, dan sejumlah penyidik KPK lainnya dijerat dengan kasus yang berbeda-beda. 

Dugaan konspirasi tidak terhindarkan karena kasus mereka yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, baru diangkat setelah KPK menetapkan Wakil Kepala Polri Komjen Budi Gunawan jadi tersangka. Penetapan ini belakangan dibatalkan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Melihat ini susah memang untuk percaya kalau masih ada polisi yang bekerja baik. 

Menilang istri sendiri

Bila polisi melakukan tugasnya dengan baik, mudah mengatakan itu memang kerjaan mereka, atau sebatas pencitraan. 

Di tengah terpuruknya citra polisi, mudah untuk menjadi pesimis ketika melihat seorang polisi berdiri di tengah kemacetan, dan berpikir, “Apa sih kerjanya? Cuma melambaikan tangan saja!”

Tapi ketika si Pak Polisi tadi bergerak, rela berjalan jauh, dan mengurai kemacetan, membuat saya dan banyak pengendara lainnya tidak terlambat sampai di tempat kerja, itu cukup untuk memberikan sebuah perspektif yang berbeda.

Ternyata, kita masih bisa berharap pada polisi. Memang itu tugas mereka, tapi tidak ada salahnya mengapresiasi ketika mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Percayalah, Pak Polisi yang mengurai kemacetan bukan satu-satunya polisi baik di negeri ini. 

Belum lama ini, di salah satu acara televisi swasta, seorang polisi lalu lintas bernama Aiptu Jailani menjadi terkenal karena menilang istrinya sendiri yang berkendara melawan arah. 

Jailani sempat kaget karena ternyata si pengendara adalah istrinya sendiri. Di saat yang sama, istrinya marah ketika mengetahui bahwa si suami tetap menilangnya. 

Namun malam hari, ketika dia pulang ke rumah, dia membawakan bunga untuk istrinya, dengan ucapan “Ma, maaf tadi Papa tilang. Papa harap Mama mengerti. Papa cinta Mama.” —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah jurnalis Rappler Indonesia dan dosen komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara. Ia dapat disapa di Twitter @CameliaWiguna.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!