Mengintip kehidupan di panti jompo waria pertama di Indonesia

Rebecca Henchmen

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengintip kehidupan di panti jompo waria pertama di Indonesia
Yulianus Rettoblaut adalah waria pertama di Indonesia yang meraih gelar master. Rebecca Henschke bertemu Yulianus dan mengunjungi proyeknya yang luar biasa ini.

Kami berjalan di jalanan kotor menuju rumah kecil berwarna merah muda di ujung gang. Ini adalah wilayah pinggiran Jakarta. Ada ayam berlarian di sana sini dan anak-anak bermain. Ini adalah jalanan yang sangat berdebu. 

Di sini sedang dibangun panti jompo pertama untuk waria di Indonesia.   

Di jalan masuk, dua wanita-pria (waria) yang lanjut usia menyambut saya. Gigi mereka sudah tanggal. 

Di dalam ada Yulianus Rettoblaut yang sedang mematut diri di depan cermin. Teman lainnya melakoni ritual harian untuk berdandan – dengan alas bedak putih tebal, bulu mata palsu, lipstik merah menyala dan rambut palsu panjang yang digelung di belakang.  

“Saya sendiri mengetahui saya waria itu sekitar saya kelas 5 SD. Dalam arti kebetulan saya tinggalnya di pedalaman Asmat di Papua pedalaman, jadi di sana kita sangat awam dengan waria. Dan tidak ada waria sama sekali,” kata Yuli, panggilan akrab Yulianus. 

“Kemudian perasaan saya ada sekitar umur 11 tahun. Kok tiba-tiba bisa senang sama anak laki. Ada apa, apa ini penyakit? Seperti itu.”

“Sekitar umur 18 tahun, itu saya baru mengenal bahwa sebenarnya dunia itu ada. Ada teman di kampus itu, ada juga yang seperti ini dan saya mulai tahu. Dia lalu mengajak saya, ‘Ayo kita punya kehidupan ada di Taman Lawang’. Saya bingung. Ternyata kemudian orang-orang seperti itu banyak dan mereka bisa dandan secantik itu,” ungkapnya.

Bagaimana perasaan Yuli saat tahu ia tidak sendiri?

“Saya merasa kehidupan seperti ini ada. Saya lepas dari beban karena kemudian saya lihat untuk menyenangi laki-laki, kita bisa dikasih uang. Dengan kita make-up seperti ini kamu akan cantik dan dikasih uang, bukan hanya kepuasan,” katanya.

Tidak mudah mencari kerja di Indonesia jika Anda hidup sebagai perempuan dalam tubuh laki-laki. Ketika Yuli berusia 17 tahun, ia melakukan apa yang dilakukan waria lainnya – bekerja sebagai pekerja seks di jalanan. 

Menurut Yuli, itu adalah dunia yang kejam dan penuh kekerasan. Dia seringkali disiksa dan tidak dibayar oleh kliennya. Mereka juga harus lari dari kejaran polisi atau kelompok Islam garis keras yang berusaha menggebuk mereka. Saat itulah ia mengetahui kalau orangtuanya meninggal.   

“Mereka dengar kalau saya sudah ikut-ikut pakai pakaian perempuan. Tadinya saya pikir saya mengecewakan orangtua dan ibu saya kemudian meninggal,” ujarnya. 

“Saya tidak pulang karena keluarga saya benci sama saya. Mereka bilang gara-gara perbuatan saya orangtua akhirnya meninggal. Saya akhirnya bertemu ibu setelah saya pulang dan kebetulan kakak saya seorang polisi. Dia juga marah dan aku mau ditembaknya. Dia mau tembak aku karena dia bilang saya memalukan keluarga,” kata Yuli. 

Kata kakak Yuli, dalam keluarga tidak ada yang seperti Yuli. Ia mengakui bahwa orangtuanya berharap anaknya bisa menjadi anak baik, mengingat prestasi Yuli selama di bangku sekolah SD hingga SMA.

“Selama sekolah dari SD sampai SMA aku punya prestasi juga tinggi, termasuk punya ranking, tapi kemudian katanya harapan orangtua musnah karena gara-gara aku jadi seorang waria,” katanya. 

Hingga kini, perlakuan kakak Yuli masih menghantui benaknya.

“Aku ditaruh pistol, mau ditembak, saya lari. Tapi saya diam aja karena waktu itu kepala saya digundulin tapi kemudian saya lari lagi ke Jakarta dan orangtua sudah meninggal.

“Saya akan benci pada diri sendiri, kemudian saya akan berjuang bagaimana caranya suatu waktu saya akan tunjukkan pada orang banyak, terutama pada keluarga, bahwa walau saya seorang waria, saya juga bisa berbuat baik.” 

Waria pertama Indonesia yang raih gelar master

Yuli adalah waria pertama yang memperoleh gelar master sarjana hukum di Indonesia. Dia juga adalah pemimpin dari komunitas waria di Indonesia yang memanggilnya dengan sapaan “Mami Yuli”.

Sebagai “ibu” dari komunitas ini, dia memutuskan kalau dia perlu menyiapkan sesuatu untuk waria yang memasuki usia senja – karena mereka ditolak oleh keluarga dan masyarakat.  

“Orang akan merasa lebih takut karena tidak bisa berproduksi seperti waria-waria muda lain. Kita juga bingung, pemerintah mungkin juga bingung mau ditaruh di panti jompo yang mana, panti jompo perempuan atau panti jompo laki-laki,” kata Yuli.

Ia mengaku prihatin melihat kondisi yang dialami oleh sesama waria. 

“Ketika mereka jadi tukang minta-minta di jalan, tidur di bawah jembatan, aku sedih melihat mereka seperti itu dan penanganan ini enggak ada. Kalau aku mau menampung mereka, aku juga enggak punya tempat yang jelas.”

Maka dari itu, Yuli merenovasi rumah dengan dua kamar miliknya, yang juga menjadi salon kecantikan.  

Kini, Yuli sudah punya 800 nama waria dalam daftar tunggu panti jompo ini.

Sekarang, ini adalah rumah bagi tiga waria lanjut usia.

Waria berprestasi

Foto-foto mereka semasa muda sebagai model cantik berjajar di tembok. Rak penuh dengan piala kontes kecantikan. 

Yoti Maya berusia hampir 70 tahun dan sudah kehilangan hampir semua giginya. Dia ditolak keluarganya sendiri ketika ia masih remaja.   

“Ibu buka pintu, ada laki-laki di dalam, lagi peluk-pelukan. Ibu enggak mau ribut, Dia bilang ke ayah saya. Bapak saya tahu. Bapak saya panggil, kumpul keluarga, kakak-adik semua kumpul,” kata Yoti.

“Dia bilang, ‘Saya enggak mau lagi terima ini sebagai keluarga saya. Bagaimanapun saya harus usir dari rumah. Lo mau senang, lo mau hidup, lo mau mati, itu urusan lo. Kamu keluar dari rumah aku,” ujar Yoti menirukan ucapan orangtuanya.

“Usia 16-17 tahun saya keluar dari rumah. Nangis saya itu, karena saya masih muda dan enggak punya pekerjaan tetap. Gimana hidup di Jakarta? Tapi ya, saya terima aja,” ungkapnya.

Yoti akhirnya bekerja sebagai koki di kapal dan telah bepergian keliling Asia. Dia kini menjadi juru masak di panti jompo ini.  

Rumah ini juga menyediakan pelatihan bagi waria lansia sehingga mereka punya keterampilan untuk hidup mandiri. Dan baru-baru ini saudara laki-laki Yuli mengunjungi panti jompo ini.

Dialah sang abang yang pernah mengancam akan membunuh Yuli dengan pistol. —Rappler.com

Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!