Pengusaha tuntut 5 PKL Yogyakarta Rp 1,12 miliar

Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pengusaha tuntut 5 PKL Yogyakarta Rp 1,12 miliar
Mereka berlima dituntut oleh pengusaha Eka Aryawan karena dituding menempati lahan yang digunakan untuk usaha tanpa izin

YOGYAKARTA, Indonesia — Bagai disambar petir di siang bolong, Budiono, warga Prawirodirjan, Yogyakarta, terdiam ketika surat gugatan Rp 1,12 miliar diberikan padanya oleh petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 20 Agustus 2015 silam. 

Dibacanya berulang-ulang surat itu. Pria 58 tahun itu terus meyakinkan diri jika surat itu salah alamat. Tapi tidak, surat itu benar-benar ditujukan untuknya.

“Saya enggak pernah menyangka bakal begini,” ujar laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang duplikat kunci di pinggir Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta.

Ia lalu memanggil 4 orang lain pekerja kaki lima (PKL) lainnya yang namanya juga tercatat sebagai tergugat dalam surat itu. Keempatnya adalah Sutinah penjual nasi rames, Agung tukang kunci yang juga anak Budiono, dan pasangan suami-istri Sugiyadi dan Suwarni penjual bakmi.

Mereka berlima dituntut oleh pengusaha Eka Aryawan karena dituding menempati lahan yang digunakan untuk usaha mereka tanpa izin. 

Eka mengklaim memiliki hak atas penggunaan lahan 4×5 meter yang ditempati mereka untuk usaha. Mereka digugat kerugian materil sebesar Rp 30 juta per tahun terhitung sejak tahun 2011 dan imateril sebesar Rp 1 miliar. 

Totalnya Rp 1,12 miliar.

“Tempat ini kami pakai bersama-sama. Kalau pagi sampai siang ada yang jualan nasi. Saya dan Agung jasa pembuatan duplikat kunci. Kalau malam gantian untuk jualan bakmi,” ucap Budiono.

Budiono pun bingung jika harus membayar uang sebanyak itu pada Eka. Pasalnya, penghasilannya per hari hanya berkisar Rp 100 ribu, itu pun jika sedang banyak pelanggan. 

Sutinah dan Suwarni pun demikian. Pendapatan berjualan makanan hanya cukup untuk hidup sehari-hari.

“Kami pusing, mau bayar pakai apa. Kami tidak ngerti hukum. Orang-orang besar yang tahu mengurus begini, kami tidak bisa apa-apa,” keluh Budiono.

Kasus ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2011. Budiono yang sudah menempati lahan itu sejak 1960 kaget ketika ada pengusaha yang hendak menggusurnya dengan dasar surat Kekancingan Magersari. 

Surat Kekancingan Magersari ialah surat perjanjian pinjam-pakai atas tanah milik Sultan Keraton Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Keraton Yogyakarta.

Melihat ada klaim itu, Budiono tak mau kalah. Dia pun memiliki bukti bahwa dia punya hak atas sepetak tanah yang ditempatinya itu.

“Saya punya surat izin dari zaman Belanda. Kok tiba-tiba ada orang yang mengklaim?” katanya.

Setelah diusut, rupanya tanah yang ditempati oleh Budiono dan rekan-rekannya tidak masuk dalam cakupan tanah Magersari yang dikuasai oleh Eka Aryawan. Itu terbukti dalam pengukuran bersama yang dilakukan pihak kecamatan, Budiono, dan pihak Eka.

Setelah pengukuran tersebut, kedua belah pihak pun membuat kesepakatan bersama batas tanah yang dikelola Eka dengan tanah yang digunakan Budiono dan empat rekannya.

“Tahun 2013, kita sudah kesepakatan. Tanah yang dipakai Pak Eka tidak termasuk tanah yang kami pakai. Sudah tidak ada masalah setelah itu. Tapi ini tiba-tiba mereka menggugat, bagaimana ceritanya? Kan sudah ada perjanjian,” ungkap Budiono.

Kejanggalan tuntutan

Budiono sedang bekerja menduplikat kunci. Foto oleh Mawa Kresna/Rappler

Ikhwan Sapta Nugraha kuasa hukum Budiono dari LBH Yogyakarta melihat kasus tuntutan terhadap Budiono dan empat rekannya ada kejanggalan.

Kejanggalan pertama terkait dengan sudah pernah ada kesepakatan bersama antara Budiono dan Eka Aryawan tertanggal 13 Februari 2013. Dalam perjanjian tersebut ada delapan poin kesepakatan yang intinya terkait batas tanah yang digunakan masing-masing pihak.

“Sudah ada kesepakatan, kenapa ini permasalahkan lagi. Sejak 2011 LBH Yogya sudah mendampingi, tahun 2013 ada kesepakatannya itu, kami kira sudah selesai,” kata Ikhwan.

Kejanggalan lainnya yaitu keluarnya surat kekancingan Magersari dari Keraton Yogyakarta secara mendadak pada tahun 2011. Ikhwan menilai munculnya kekancingan itu menjadi awal permasalahan.

“Seharusnya kan dilihat dulu sebelum mengeluarkan kekancingan. Siapa yang menempati tanah itu, kenapa tiba-tiba saja muncul. Pak Budiono sudah sejak 1960 menempati lahan itu dan baru tahun 2011 ada kekancingan muncul yang mau menggusur mereka,” ungkapnya.

Kejanggalan selanjutnya ialah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan setiap tahun yang dilakukan oleh Budiono. Jika memang Budiono tidak memiliki hak, mengapa tiap tahun Budiono tetap membayar PBB.

“Klien kami juga merasa punya alas hak, karena punya surat dari zaman pemerintahan belanda tahun 1933. Atas dasar itu dia membayar pajak,” tambahnya.

Gugatan Rp 1,12 Miliar itu pun terkesan memaksakan. Sebab dari dokumen kekancingan Magersari milik Eka, diketahui Eka hanya membayar Rp 274ribu per tahun untuk pinjam pakai tanah seluas 73 meter persegi milik Keraton Yogyakarta itu.

Dalam perjanjian tersebut juga dijelaskan Eka menyewa tanah tersebut hingga 28 November 2021. 

‘Topo pepe’ mencari keadilan

Karena merasa tidak mendapatkan keadilan, Budiono, Agung, Sugiyadi dan Suwarni melakukan ritual topo pepe, Minggu siang, 13 September 2015. 

Dalam tradisi Keraton Yogyakarta, topo pepe (bertapa sambil berjemur) ini biasanya dilakukan oleh warga untuk meminta keadilan kepada Sultan atau memprotes sesuatu tidak adil yang terjadi di masyarakat.

Mereka melakukan topo pepe dengan dimulai berjalan dari tempat jualan mereka di Jalan Brigjen Katamso menuju Keraton Yogyakarta. Sesampainya di alun-alun utara, mereka berhenti di antara dua beringin lalu duduk bersimpuh menghadap Keraton Yogyakarta. Teriknya matahari tidak dihiraukan oleh mereka demi memperoleh keadilan.

“Kami melakukan ini supaya publik tahu, Keraton dan Sultan juga tahu jika ada rakyatnya yang ditindas,” kata Agung.

Mereka meminta agar Sultan mau membantu mereka dengan mencabut surat kekancingan milik Eka Aryawan. Sebab, dalih mereka, surat kekancingan itu justru digunakan oleh Eka dengan semena-mena menindas rakyat kecil seperti mereka.

“Kami minta Sultan untuk mencabut gugatan, surat kekancingan karena itu digunakan dengan semena-mena dengan menggusur kami. Kalau kami digusur, kami mau cari makan pakai apa?” katanya lagi.

Mereka berharap aksi topo pepe tersebut didengar oleh Sultan. Keinginan mereka hanya satu, yaitu memperoleh keadilan dan bisa terus berjualan di tempat yang sudah mereka gunakan selama berpuluh-puluh tahun.

“Kami tetap ingin menggunakan lahan itu, karena sudah turun-temurun keluarga kami berada di sana, dan mendapatkan makan dari usaha kami di sana,” ujar Agung. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!