Atticus dan Ahmed

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Atticus dan Ahmed

AFP

Tapi apakah itu teroris? Apakah itu kecurigaan? Sebelumnya toh Ahmed telah mengalami banyak pelecehan dan hinaan sebagai seorang teroris dan ancaman. Ini terjadi karena warna kulit, ras dan keyakinan yang dimiliki Ahmed.

Ahmed Mohamed, seorang siswa 14 tahun di Irving, Texas, Amerika Serikat pasti tak pernah bermimpi akan ditangkap karena kreativitas. Di dunia di mana paranoia adalah akal sehat, menjadi seorang yang berpikir dan memiliki keterampilan bisa jadi adalah mimpi buruk.  

Ahmed, Senin lalu, diamankan kepolisian negara bagian Amerika karena sebuah jam rakitan hasil kreasinya dicurigai sebagai hoax bom. Ahmed dibawa keluar dari ruang kelasnya ke sebuah ruangan untuk diinterogasi selama kurang lebih satu setengah jam. Ia ditanyai apakah membuat bom, seorang polisi mencurigainya sebagai teroris. 

Tapi apakah itu teroris? Apakah itu kecurigaan? Sebelumnya toh Ahmed telah mengalami banyak pelecehan dan hinaan sebagai seorang teroris dan ancaman. Ini terjadi karena warna kulit, ras dan keyakinan yang dimiliki Ahmed.

Pada dunia yang waras, murid seperti Ahmed akan mendapatkan pujian untuk kerja keras dan kreativitasnya dalam menciptakan sesuatu. Ahmed awalnya berniat menunjukkan jam hasil kreasinya itu kepada guru pelajaran tekniknya, namun jam buatan Ahmed berdering saat pelajaran berlangsung. Sang guru yang mengampu pelajaran itu curiga, ia melapor kepada pihak lain, polisi datang dan sisanya hanya cerita.

Kecurigaan, rasa benci dan juga superioritas terhadap yang lain membuat rasisme menjadi gejala yang dibenarkan. Tapi kita tahu banyak tempat lain di dunia juga mengalami ini. 

Eropa mengalami gejala xenofobia terhadap para pengungsi, sementara di Amerika rasisme adalah bagian panjang dari sejarah kelam bangsa ini. Rosa Parks, Martin Luther King Jr dan Malcom X adalah beberapa nama yang menggambarkan betapa rasisme di Amerika merupakan masalah yang mengerikan.

Ahmed ditahan. Ia dibawa ke pusat penahanan remaja, Washington Post menyebutkan jika dalam proses interogasi petugas kepolisian berulang kali mempersoalkan nama belakang Ahmed. 

Jika namamu Ahmed, Ahmad, Muhammad, atau nama Arab apapun kamu akan mengerti bagaimana racial profiling kerap kali merendahkan martabat manusia. Beberapa orang bernama Ahmad dan Muhammad kerap mesti mengalami diskriminasi di bandar udara hanya karena kecurigaan berlebihan.

Kasus Ahmed melahirkan solidaritas di media sosial. Banyak warga negara Amerika dan dunia mengecam tindakan penahanan terhadap Ahmed. Islamofobia yang terjadi di Amerika semakin mendapatkan kecaman keras. 

Kelahiran hashtag #IStandWithAhmed langsung viral, lebih dari 780 ribu kicauan muncul. Beberapa pemimpin dan tokoh dunia bersuara seperti Barack Obama dan Mark Zuckerberg.

Ini sebenarnya merupakan suara minor di Amerika. Beberapa warganya tidak memiliki kebencian rasial, mereka hanya tidak tahu dan memilih bersikap ketika sebuah masalah terang benderang. 

Bertahun lampau Amerika pernah dibuat terpukau dan tercengang dengan satu tokoh fiksi bernama Atticus Finch. Ia merupakan karakter dari buku To Kill a Mockingbird, sebuah novel karya Harper Lee yang dibuat pada 1960. Karya ini bahkan memenangkan penghargaan Pulitzer.

Buku Harper Lee itu menjadi fenomena karena menjadikan sisi gelap rasisme Amerika sebagai tema utama. Dalam buku itu seorang kulit hitam dituduh melakukan kejahatan dan Atticus menjadi pembelanya. Tapi mengapa Atticus? 

Dalam kisah To Kill a Mockingbird, ia digambarkan sebagai ayah yang bijak, mengayomi anaknya, dan juga seorang advokat yang jujur. Atticus bahkan menjadi sebuah kata kerja yang memiliki asosiasi sebagai seseorang yang jujur, tegas, berintegritas, memiliki welas asih dan penyayang. 

To Kill a Mockingbird lahir di antara tahun ketika gerakan sosial melawan rasisme sedang marak. 

Beberapa tahun sebelum buku ini lahir Rosa Parks mengilhami gerakan melawan rasisme karena ia menolak memberikan kursinya pada orang lain. Dalam tahun-tahun itu Martin Luther juga menjadi tokoh iconic yang membuat Washington DC dibanjiri manusia untuk menuntut kesetaraan terlepas warna kulitnya.

Dalam buku terbarunya Harper Lee secara magis, atau mungkin kebetulan, menunjukkan betapa sebenarnya Amerika adalah borok yang munafik. Go Set A Watchman, yang bukunya telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, menunjukkan siapa sebenarnya Atticus yang digambarkan baik itu. 

Atticus dimaknai ulang sebagai seseorang yang rasis, intoleran dan menyimpan kebencian tersembunyi kepada kelompok kulit hitam.

Go Set A Watchman seolah menjadi penanda zaman. Ia lahir ketika Amerika menunjukan boroknya yang mengerikan, xenofobia, islamofobia, rasisme dan kebencian kolektif terhadap satu imigran. 

Buku ini mengisahkan tentang kembalinya anak Atticus, Jean Louise Finch, bertahun kemudian setelah kejadian To Kill A Mocking bird. Ia menemukan figur ayah yang dianggapnya toleran, baik budi, jujur dan bersahaja itu ternyata bukanlah orang yang ia pikirkan.

Ahmed dan Atticus adalah dua figur dalam sejarah kontemporer Amerika yang menunjukkan betapa sebenarnya kita munafik. Di Indonesia kita bisa saja melakukan hal rasis seperti yang Ahmed rasakan kepada kelompok minoritas Tionghoa. 

Sementara sosok yang kita anggap sebagai orang suci, baik budi, dan toleran ternyata bisa saja menjadi orang yang memendam kebencian. Mereka yang kita muliakan sebagai ulama, tokoh agama atau apapun itu tiba-tiba menyarankan melakukan kekerasan terhadap Syiah atau Ahmadiyah. — Rappler.com

BACA JUGA: 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!