Jomblo Metropolitan: Mencomot cinta di ibu kota

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jomblo Metropolitan: Mencomot cinta di ibu kota
Kisah awal seorang pria Jakarta mencari cinta di tengah kemacetan

Butir-butir keringat menetes dari keningku. Wajahku memerah. Rambutku basah. Selepas kerja dan berolahraga selama satu jam, aku terduduk di sebuah bangku panjang di lounge gym itu.

Kuambil botol air mineral yang sudah setengah kosong dari meja bundar di depanku. Belum bibirku menyentuh mulut botol, seorang wanita —yang juga basah oleh keringat— menyolek pundakku dengan telunjuk mungilnya.

Ia tampak hati-hati seakan tak sudi menyentuh tubuhku yang keringatan.

“Maaf, Mas,” sapanya pelan. “Itu bukannya botol minum aku, ya?”

Aku menengok ke arahnya. Lalu mataku kembali ke arah botol minum, meneliti lagi karakteristik botol itu, mencoba membedakan apakah benar ini botol milik si gadis itu.

“Hmm.. bukan,” kataku. “Ini punya saya.”

“Oh, gitu. Terus, botol aku kemana, dong?” tanyanya seraya menghempaskan pantatnya ke bangku panjang di sampingku.

“Aduh, saya kurang tahu, Mbak,” jawabku sambil tersenyum.

Hening sejenak.

Aku masih merasa ragu sebenarnya. Apakah benar ini botol milik si dia. Tapi buru-buru kuhapus sangsi dan langsung meneguk air minum itu. Masa bodoh, pikirku. Udah haus banget.

Ia melirik ke arahku yang sedang minum.

Aku merasakan tatapannya dari sudut mata kiriku.

“Namanya siapa?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Samantha. Kamu?”

“Abdul,” jawabku singkat.

“Abdul?” Ia tampak heran. Matanya membesar.

“Iya. Abdul Qowi,” kataku meyakinkan. “Kenapa? Ada yang aneh?”

“Oh, enggak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum sekilas. “Namanya ndeso banget. Enggak cocok sama muka kamu yang metropolitan.”

Dan tiba-tiba saja langsung terngiang penggalan lagu Sakitnya Tuh Di Sini. Entahlah. Apakah itu pujian (metropolitan) atau ejekan (ndeso).

Bingung aku dibuatnya. Cantik, sih. Tapi kok mulutnya seperti knalpot bajaj, enggak ada filter?

Sejak kecil aku memang sempat dibuat tak percaya diri dengan nama pemberian kakekku ini. Abdul. Kok, kesannya jadul banget ya?

Sementara teman-teman lain, nama mereka terdengar lebih modern dan sophisticated, seperti Erick, Mario, atau bahkan Andika dan Bayu. Setidaknya, lebih Indonesia dibanding Abdul.

Hingga aku duduk di bangku SMA mataku baru terbuka bahwa Abdul Qowi adalah sebuah nama yang unik, yang jarang dimiliki oleh orang lain. 

Mulai saat itu aku merasa nyaman menggunakan nama Abdul. Meski kadang orang akan mengernyitkan dahi jika kusebut namaku Abdul, sama halnya dengan Samantha ini.

Terus, aku kudu piye? Haruskah ku lari ke pantai dan …

Ah, apalah arti sebuah nama, bukan?

Cerita pendek di atas adalah awal mula kisah seorang pemuda berusia 27 tahun mencoba mencomot cinta di Jakarta di tengah kesibukannya sebagai kuli tinta dan membentuk otot.

Bang Dul akan kembali lagi di Jomblo Metropolitan pekan depan. Jangan kelewatan. —Rappler.com

BACA JUGA:

Abdul Qowi Bastian adalah staf redaktur Rappler Indonesia. Ia dapat disapa di Twitter @aqbastian

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!