Surat cinta untuk si helm biru dan helm hijau

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surat cinta untuk si helm biru dan helm hijau
Penulis mengaku 'jatuh cinta' pada tukang ojek

Pagi-pagi sekali aku terperangah di depan layar ponselku. Aku menemukan gambar seorang laki-laki yang mengendarai motor dengan helm birunya. 

Warna biru itu mengingatkanku pada The Blues Chelsea yang diasuh oleh José Mourinho, pelatih sepakbola yang membuat aku terjaga (kadang) di tengah malam hanya untuk melihat dia duduk gelisah di stadion selama pertandingan.

Ternyata si helm biru itu adalah Blu-Jek. Ah, satu lagi merek ojek digital akan meramaikan ibu kota, pikirku! 

Aku girang. Selimut aku lempar. Lalu ke kamar mandi, gosok gigi, sambil terus men-scroll timeline.

Pagi itu aku optimis.

Aku sumringah melihat jaket biru menempel di punggung sang sopir ojek. Kini, pikirku, masa depan kemacetan Jakarta tak butuh lagi gubernur! Semua ada di tangan ojek digital! (Pikiran ini mungkin terlalu sederhana, tapi dunia saya memang sesederhana itu).

Apalagi gubernur versi FPI. (Eh). 

Bayangkan, setiap pagi aku bangun (agak) terlambat. Tapi seabrek aktivitas sudah menanti. Jadwal untuk piket menulis pagi sampai jadwal liputan. 

Jika tidak pandai-pandai mengatur waktu, ah, aku mungkin sudah membuat orang-orang di kantor gelisah. 

Bangun pagi, setelah membuat sarapan (kalau sempat) dan teh tawar hangat pastinya (yang benar sih teh hijau, biar langsing), aku harus menulis paling tidak berita pagi agar kalian semua bisa membaca informasi terbaru pagi itu juga.  

Lalu jadwal liputan memanggil-manggilku yang sedang sibuk menata perlengkapan untuk kembali berjibaku dengan kota Jakarta, sekali lagi. 

Kadang aku hanya punya waktu 30 menit untuk bergegas, dan 30 menit untuk sampai ke TKP (Tempat Kejadian Peliputan). 

Pakai tabir surya (enggak sempet pake bedak), tempelin gincu (padahal lip gloss) seadanya, bikin alis darurat biar enggak pucet amat, terus langsung samber tas, sambil di jalan utak-atik aplikasi ojek digital di ponsel. 

“Sedang mencari supir,” begitu balasan si aplikasi. 

Satu menit kemudian, “Supir anda sedang dalam perjalan ke sana”. Jreng. 

Aku pun langsung menenggak botol air mineral di tas ransel dan menghela napas pertanda lega.

Lalu kau, abang ojek digital, muncul di depanku, dengan jaketmu yang mencolok itu. Meski abang-bang ojek manual menatap sinis padamu, kau tetap maju dan menyodorkan helm untukku. 

Kau bilang, “Ayo Neng, segera naik, enggak enak dilihat ojek manual,” kata kau waktu itu.

Aku pun tersenyum. “Tenang Bang, aman,” kataku sambil menunjukkan gaya asah golok. 

(Maklum kita naiknya dari Kalibata yang serem itu) 

Lalu kau pacu ojekmu. Kau bilang, “Ngebut dikit enggak apa-apa nih, Neng?”

Aku pun menjawab, “Justru saya naik ojek biar ngebut, Pak!”  

Entah aku tak melihat spidometermu, tapi kau tampak lihai menyetir dan menyelip di antara Lexus, Toyota, bahkan Kopaja yang angkuh dengan asap knalpot mereka yang membuatku batu-batuk. Hish. Asma. 

Sesekali kau lihat GPS-mu itu, untuk memastikan aku dan kamu tak terjebak di kemacetan. 

Dalam waktu kurang dari 30 menit, kau pun sampai di gerbang TKP. Aku yang waktu itu hampir kehabisan waktu, langsung mengeluarkan dompetku dan memberimu sejumlah duit yang harus kubayar dan tips sekedarnya. 

Lalu aku pun berlalu. 

Hingga setelah aku selesai liputan, aku baru sadar. Aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Yang telah mengantarkanku, kadang di pagi buta, kadang di siang yang panas, kadang di malam hari saat angkutan tak lagi beroperasi. 

Terima kasih ya. (Telat). 

Kini aku percaya, kemacetan Jakarta tak bisa diselesaikan dengan keangkuhan, dengan hanya seorang sarjana lulusan Jerman yang berkumis, atau seorang pria sederhana yang ingin membangun MRT, atau seorang yang kini tinggal di Balai Kota yang sukanya marah-marah (Entah kenapa).

Aku percaya, macet itu bisa kita urai bersama. Aku dan kamu, abang tukang ojek.  

Aku pun percaya, penggalan sajak Seno Gumira Ajidarma tentang menua di Jakarta itu tidak akan berlaku untuk aku dan kamu lagi:  

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa”

– Seno Gumira Ajidarma, dalam Menjadi Tua di Jakarta.

Kini aku tak lagi merisaukan apa itu macet. Kopaja telah berganti dengan ojek digital. 

Aku punya waktu lebih banyak untuk bertemu dengan teman-temanku selepas maghrib, bercengkrama dengan mereka, atau sekedar menyitir buku-buku kesukaanku di toko. 

Entah apapun warna helmmu, biru atau hijau, bagiku, kamu adalah jawaban atas keresahan dan keputusasaan, saat aku terjebak macet di atas Kopaja dan kadang aku tertidur sampai-sampai aku mimpi kampung halaman. 

Selamat tinggal macet, selamat datang waktu Indonesia bagian tepat waktu! —Rappler.com

BACA JUGA:

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @FebroFirdaus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!