What's the Big Idea series

Wawancara Ridwan Kamil soal #205BDG dan mimpi Bandung juara

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wawancara Ridwan Kamil soal #205BDG dan mimpi Bandung juara
"Insyaallah dengan kekompakan dan kolaborasi mimpi kita Bandung juara, kota terbaik se-Indonesia, bisa kita capai bersama-sama. Bantu saya untuk membantu Anda, terima kasih.”

Ridwan Kamil sedang menyocol tahu petis, ketika kami bertemu di lounge sebuah hotel,  di Jakarta, Jumat sore, 25 September. Kemarin, Kota Bandung yang dipimpinnya, genap berusia 205 tahun. Tagar #205BDG bergema di ranah Twitter dan sempat menjadi trending topic.  

Kang Emil, demikian panggilan akrab Wali Kota Bandung ini, layak disebut “anak sosmed yang jadi wali kota”.  Akun Twitter @ridwankamil memiliki 1,2 juta pengikut.  Ketika berkunjung ke markas Facebook di AS, Emil diberitahu bahwa akun Facebook yang dia gunakan untuk menginformasikan agenda harian sebagai wali kota, memiliki reach (jangkauan) 20 juta per bulan.   

“Twitter untuk percakapan dua arah, termasuk menjawab pertanyaan dan kritik. Kalau mau melihat RK yang sebenarnya, ya di Instagram,” kata Emil.  

Dia mulai aktif di Instagram sebelum menjadi wali kota, dan tetap mempertahankannya sebagai sarana untuk berbagi momen santai dan informal. 

Jauh sebelum masuk ke dunia politik, Ridwan Kamil lebih dikenal sebagai arsitek dan inspirator komunitas Indonesia Berkebun yang dibangun melalui aktivitas online melalui akun @IDBerkebun dan kegiatan offline yang kini tersebar di sekitar 20 kota di Indonesia.  

Ridwan Kamil mendesain Museum Tsunami di Banda Aceh. Mimpi membangun “kota” yang nyaman sebagian ada di komplek Epicentrum Walk di kawasan Kuningan, Jakarta. Di tengah komplek apartemen, mal dan perkantoran di situ, mengalir sungai yang bersih. 

Kemarin pagi saat menyampaikan pidato di rapat paripurna Dewan Perwakilan Daerah Kota Bandung, Ridwan Kamil antara lain mengatakan “Saya ingin sampaikan informasi pencapaian bahwa di kota ini terjadi kemajuan, di antaranya Pemkot Bandung alhamdulilah memiliki pertumbuhan 8,8 persen. Itu salah satu yang terbaik di Indonesia.” 

Ketika diminta untuk memberikan salam bagi warga Bandung yang merayakan ulang tahun ke 205 kota kecintaan mereka, ini kata Ridwan: “205 tahun kota  Bandung, waktu yang panjang,  Bandung banyak progress, kemajuan, tapi tantangan juga banyak. Mari kita tunjukkan kecintaan kepada Kota Bandung dengan turun tangan, bukan tunjuk-tunjuk tangan. Cintai kota Bandung dengan aksi, solusi, bukan dengan caci-maki atau anarki. Insyaallah  dengan kekompakan dan kolaborasi mimpi kita Bandung juara, kota terbaik se-Indonesia, bisa kita capai bersama-sama.  Bantu saya untuk membantu Anda, terima kasih.” 

Setelah itu, dia menjawab beberapa pertanyaaan Rappler Indonesia: 

Anda ingin warga Bandung menjadi warga yang bahagia. Apakah wali kotanya sudah bahagia juga melihat kotanya?

Ah, so far so good. Bahagia itu karena saya melihat ada progress, perubahan. Tapi tantangan masih banyak. Ketika menjadi wali kota, saya tidak mengira problem banyak. 

Tahun lalu, tahun 2014,  saya buat keputusan  sebanyak 1.200. Berarti ada 1.200 masalah yang disampaikan, dirapatkan, dicarikan solusi dan diambil keputusan, sehingga setiap keputusan itu  challenge-nya, akselerasinya seperti apa.  

Saya senang juga, bahwa secara relatif warga Bandung itu happy. Pada survei  yang dilakukan Januari 2015, bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, warga Bandung dapat  skor 70 persen. Ini menggunakan metode ilmiah. 

Catatan redaksi: Dalam survei ini, ada 10 variabel yang menjadi ukuran yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, keamanan, hubungan sosial, ketersedian waktu luang, kondisi rumah, kondisi lingkungan dan keharmonisan rumah tangga. Sebanyak 1.080 rumah tangga dijadikan sample survei ini.

//

Selamat Hari Jadi yang ke 205 cintaku Kota Bandung. Kota tercinta yang terbuat dari kebahagiaan dan kegembiraan. Mangprang!

Posted by Ridwan Kamil on Thursday, September 24, 2015

Apakah Anda punya ukuran tersendiri soal “warga bahagia”? 

Selama ini paradigma membangun bangsa negara selalu diukur oleh ekonomi, seolah-olah kemajuan itu diukur oleh seberapa besar GDP per capita income, economic growth dan seperti itu. Kalau itu dijadikan ukuran, agak susah mengukur kemajuan kita yang memang punya keterbatasan.  

Tapi di dunia ini sekarang ada pergeseran nilai. Jadi kemajuan sebuah bangsa diukur dari seberapa happy masyarakat itu.  

Nah definisi happiness itu berbeda-beda. Saya menggabungkan dua teori,  yang satu teori BPS, punya 10 kriteria,  dengan teori yang saya pelajari di ilmu saya, tata kota.  

Kalau di teori tata kota, indikator kebahagiaan itu sederhana. Semakin banyak manusia berinteraksi, semakin bahagia. Makanya yang namanya arisan, pengajian, ketemu di jalan, nongkrong di kafe, nongkrong di trotoar, jalan ke taman, itu kan memperbesar persentase ketemu manusia dengan manusia. Indeks happiness pasti naik.  

Jadi saya percaya dua teori itu, yaitu saya gabungkan indeks happiness BPS dengan prinsip urban planning.  

Makanya kalau sekarang saya disebut wali kota gila taman ya enggak masalah. Karena punya dampak pada meningkatnya happiness, secara nyata.

Salah satu kebahagiaan saya kalau datang ke warga, warga berterima kasih dengan tulus.  Kalau dulu orang miskin di Bandung itu susah. Karena zaman dulu kalau mau rileks dan rekreasi itu ke mal, harus bayar. Kalaupun enggak  bayar minimal bajunya harus bagus.  

Sekarang kan enggak. Makanya hashtag #bahagiaitusederhana itu bagi saya penting. 

Nah saya ingin menyeimbangkan itu, sehingga sambil Bandung makin modern dengan infrastruktur, teknologi ekonomi, happiness harus berimbang. Alhamdulillah dua tahun ini dengan ukuran-ukuran survei ilmiah membuktikan, warga Bandung lebih bahagia.

Walikota Bandung Ridwan Kamil bersepeda. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Pemerhati sosial sering mengkritisi, bahwa kepala daerah mengutamakan pembangunan fisik sebagai tolok-ukur keberhasilan. Bagaimana dengan pembangunan aspek mental, sosial?

Justru saya ingin tanya, mengapa media tidak mau memberitakan yang non fisik? Mengapa jika mengenai Bandung lebih senang memberitakan yang fisik. 

Saya juga lelah untuk menceritakan bahwa  di Bandung inovasi non fisik banyak sekali, tapi jarang diberitakan. Pemberitaan lebih banyak pada inovasi yang populis, yang menarik crowd, yang sifatnya fisik.  

Kami di Bandung ada program serius menuntaskan kemiskinan secara fundamental. Pertama, kami salurkan kredit tanpa bunga untuk melawan rentenir, dengan metode mobile marketing seperti rentenir, sehingga warga Bandung terlindungi dengan ekonomi formal.  

Kita di Bandung orang miskin sekolah gratis, tinggal menunjukkan surat keterangan tidak mampu. Untuk orang miskin, biaya kesehatan gratis dibayar oleh pemkot. Tahun ini saya menggelontorkan  Rp 62 miliar dana asuransi kesehatan untuk orang miskin, bisa mencakup 350 ribu orang miskin.  

Di Bandung juga program  raskin, beras untuk orang miskin, untuk 14 bulan dan dikirim langsung ke keluarga miskin. Ada beasiswa sampai tingkat sarjana, S1, untuk warga miskin. 

Kedua, kami juga ada program 1 RW satu produk, agar ibu-ibu yang menganggur itu bisa bekerja dan bermartabat. Ini kan instrumen melawan kemiskinan. Kami lakukan secara masif. 

Tapi, saya kira enggak banyak yang tahu karena enggak pernah dibahas serius. 

Ya, kritik kepada Anda juga karena yang terlihat pembangunan Bandung cuma di tengah kota, yang dilihat oleh turis.

Iya. Padahal saya sekarang sedang mengembangkan desentralisasi, I believe in desentralisation. Yang saya lakukan, camat di Bandung sekarang memiliki 30 power untuk mengambil keputusan, yang tadinya power itu di wali kota.  

Sedikit-sedikit menunggu wali kota. Pelayanan lambat. Sedikit-sedikit minta petunjuk wali kota.  Makanya setahun terakhir, 30 kewenangan pengambilan keputusan saya berikan ke camat. Ada 30 camat  di 30 kecamatan sekarang ambil keputusan lebih cepat tanpa banyak konsultasi ke saya, karena halnya rutin.  

Ada juga program dana Rp 100 juta per RW per tahun. Maksudnya desentralisasi agar pembangunan tidak terpusat. Seluruh RW di seluruh  penjuru mata angin punya anggaran sendiri. 

Jadi Pak RW di Bandung itu tidak seperti dulu, pensiunan yang cuma mengurus administrasi warga. Kini Pak RW berdaya karena ada anggaran. At least Rp 100 juta per tahun. Untuk apa saja?  

Terserah RW. Ini bottom up, prinsip demokrasi. Ada RW yang fokus ke kegiatan sosial karena warganya banyak yang miskin, ada RW yang fokus ke infrastruktur, ada yang fokus di aspek kebersihan, ya terserah. Ini juga jarang diberitakan.

Ini pendapat saya, mungkin media juga melihat latar belakang Anda sebagai arsitek, sehingga menunggu gebrakan dalam bentuk fisik. Juga bahwa Anda early adopter di media sosial dan teknologi

Nah kalau sudah persepsi publik saya enggak bisa kontrol.  Yang penting saya punya jawaban. Pertanyaan fundamental saya punya jawaban. Masalah jawaban itu diketahui, populer atau tidak, saya enggak bisa kontrol.  

Oleh karena itu sebagai anak sosmed yang jadi wali kota, saya gunakan sekarang sosmed itu  sebagai media untuk menginformasikan hal-hal yang mungkin tidak seksi untuk dikutip oleh mainstream media. 

Twitter untuk percakapan dua arah dengan warga, dengan kritikus, dan lain-lain. Facebook Fanpage saya, reacheable sampai  20 juta per bulan, untuk agenda harian. Instagram, itu ruang pribadi.  

Zaman dulu sebelum jadi wali kota saya punya dan buat happy-happy. Setelah jadi wali kota,  saya enggak jaim. Jaga image

Jadi kalau mau lihat sisi saya yang asli ada di Instagram.  Kalau melihat pekerjaan ya di Facebook. Kan serius semua isinya.  

Saya ini terbuka terhadap kritikan, yang penting berbasis fakta. Karena saya paham, ada orang mengkritik dengan celetukan, ada orang yang mengkritik dengan fakta, di sosmed ini sering tidak bisa dibedakan antara celetukan nyinyir dengan kritik berbasis data, statistik dan  argumentasi. Harus dilatih supaya bangsa kita bisa lebih dewasa gunakan media baru ini dengan cara yang baik.

Tadi Anda bilang, anak sosmed yang jadi wali kota. Apa pentingnya komunitas off line dan online dalam pekerjaan memimpin Bandung?

Saya percaya sebuah teori perubahan, bahwa the power of change melibatkan empat stakeholders, pemangku kepentingan. Kesatu, government, posisi saya saat ini, memiliki political power, kekuasaan politik. Kedua, pebisnis punya capital power, modal. 

Ketiga, civil society seperti komunitas ormas, kelompok masyarakat, punya social power.  Keempat, media  dengan information power.  

Orang juga tahu, Pak Jokowi tiba-tiba meroket tidak mungkin kalau tidak ada media power mengangkat secara cepat. Karena merasakan pentingnya social power, digabung dengan government power yang kini saya pegang, saya mendirikan tim-tim yang tugasnya yang menasihati saya sesuai dengan bidangnya.  

Ada Tim Ahli Bangunan Gedung yang isinya komunitas-komunitas arsitek yang  saya kumpulkan untuk menasihati terkait bangunan. Mereka yang menyaring sebelum bangunan dapat IMB.  

Saya punya tim ahli hukum,  isinya kelompok-kelompok hukum. Saya juga membentuk tim kebijakan publik, isinya orang-orang yang senang berkomentar di kebijakan publik. 

Saya punya smart city council, anak-anak canggih yang senang dunia high-tech saya kumpulkan. Dua bulan ini lagi disiapkan tim kebudayaan kota Bandung dan tim lingkungan hidup. Jadi, saya merangkul konunitas, saya formalisasi dalam bentuk dewan penasihat.

Contoh lain saat Konferensi Asia Afrika. Karena  saya tahu orang Bandung senang bikin kelompok,  senang bikin volunterism, aktivitas sukarelawan, saya cuma minta 3.000 relawan buat KAA. Yang daftar 15.000.  

Itu contoh besarnya antusiasme warga Bandung terhadap volunterism. Desember ini ada hari antikorupsi yang dipusatkan di Bandung, sudah ada 6.000 daftar jadi relawan.

Poin saya, mengajak komunitas, mengajak masyarakat dalam bentuk kelompok-kelompok, di aaman sekarang bukan lagi basa-basi politik, tapi sebuah kebutuhan dasar, atas pemahaman bahwa negara ini akan maju kalau empat stakeholeders perubahan itu bersatu: politik, kapital, masyarakat sipil dan media. 

//

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Kami dan mantan kamu sudah ke penghulu, kenapa eh kamu orang masih sendirian. #kamispantun. * Mengheningkan cipta dimulai.

Posted by Ridwan Kamil on Wednesday, September 23, 2015 

Masuk politik dua tahun, sebagai wali kota.  Apa kekurangan seorang Emil, juga yang harus dibenahi dari Bandung?  Ada kepala daerah lain yang jadi referensi?

Tiap pemimpin punya strength, kekuatan, dan saya lagi belajar dari kekuatan masing-masing.  Saya belajar dari Pak Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, urusan jagonya beliau menggiring investor asing. Investor Jepangnya banyak banget tuh ke Bantaeng. 

Saya belajar dari Bu Risma soal leadership in the middle, jadi, pemimpin yang banyak di tengah rakyat. Saya praktikkan juga. Karena untuk memimpin kota dan kabupaten, hal seperti itu yang lebih cocok. Bukan pemimpin yang di belakang meja, tapi jadi pemimpin yang sering di lapangan.  

Saya belajar ke Pak Anas, Bupati  Banyuwangi, bagaimana dia bisa mengubah daerah yang dulunya  tidak diminati kini menjadi destinasi wisata.  

Saya juga belajar dari Pak Ahok urusan masalah ketegasan. Saya senang belajar, saya bukan orang pinter. Masuk politik juga baru dua tahun, dulunya dosen, arsitek.  

Masuk ke politik saya enggak punya background. Enggak punya parpol, ilmu. Jadi sekarang itu saya pakai teori naik sepeda, sambil jalan, enggak boleh berhenti, cari keseimbangan. 

Kalau ada kekurangan, saya senang diberitahu. Tapi juga saya buktikan saya bisa men-deliver banyak perubahan.  

Kota Bandung ini kelemahannya di infrastruktur transportasi,  Kalau itu beres, Insyaallah roda kehidupan kota lebih baik. Karena happiness juga sudah bagus, social engagement sudah bagus, smart city sudah bagus.  

Yang saya banggakan, tahun ini kota Bandung mendapatkan nilai A dalam kinerja birokrasi.  Hanya dua yang dapat di seluruh Indonesia, yaitu Bandung dan Yogyakarta. Artinya kita bisa mengubah yang namanya birokrasi yang biasa-biasa saja, lambat, jadi cepat dan bekerja extraordinary

Kalau infrastruktur transportasi ada, beres. Masalahnya, infrastruktur ini mahal. Jadi sampai kapanpun kalau presiden dan negara tidak turun, bantu kami kota-kota metropolitan, mimpi itu enggak pernah sampai.  

Bangun 10 km monorel, itu ongkosnya Rp 5 triliun. Kami enggak punya uang. Jadi pekerjaan rumah besar saya sekarang berupaya, agar ini bisa dibangun. Mudah-mudahan bisa terkejar dalam masa kepemimpinan saya yang tiga tahun lagi.

Belum lama ini Bandung mendapat skor rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi yang diterbitkan Transparansi Internasional Indonesia.  Padahal Anda dapat penghargaan dari KPK?

Ini menarik. Saya sempat stress, perasaan saya sudah mereformasi kan. Salah satu ukuran reformasi banyak sekali. Kita diganjar penghargaan dua kali oleh KPK, program antikorupsi terbaik di Yogya, Desember 2014. Terus kemarin ada survei TII itu.  

Pertama, saya terima. Tapi merasa something wrong, di mana salahnya? Ternyata menurut info ICW survei itu dilakukan Januari 2014. 

Saya baru dilantik September 2013.Jadi survei itu dilakukan lima bulan setelah saya dilantik. Diumumkan sekarang, karena menurut mereka, survei TII diumumkan dua tahun setelah survei.   

Jadi sekarang saya mengerti, saya punya pede lagi, bahwa survei itu tidak mencerminkan  kinerja saya. Itu terjadi di saat saya sedang mulai proses.  

Mudah-mudahan  jika dilakukan survei hari ini, dengan cara yang sama, data sudah berubah.  Karena yang disurvei kan pengusaha, soal perizinan.  

Di Bandung, empat bulan lalu, perizinan sudah online, daftar online, bayar izinnline, dokumen izin dikirim ke rumah. Ini inovasi. Jadi tidak ada pertemuan antara warga dengan pejabat dan petugas menjabat.  

Per hari ini award KPK lebih mutakhir, saya lebih optomistis.

Sebelum masuk politik, Anda bisa dikatakan media sosial darling. Sesudah jadi wali kota, banyak kritik. Bagaimana tanggapi itu?

Satu hal yang saya tidak duga dulu waktu masuk politik, bahwa jika anda masuk politik, anda punya musuh otomatis. Kenal juga enggak, punya problem juga enggak, karena beda coblosan, menjadi musuh politik.  

Sekarang kita lihat ya kehangatan di sosmed. Yang mau ke Jakarta siapa, yang meramaikan siapa, simpatisannya Pak Ahok di sosmed sudah menyerang saya.  

Ini soal saya jadi calon gubernur DKI Jakarta. Itu gosip yang enggak jelas. Itu menunjukkan bahwa politik itu tergantung tujuan. 

Persis kayak fans sepakbola, kadang enggak pakai rasio. Yang dicari salahnya. Manusia kan gudangnya salah. Tidak ada manusia sempurna.  

Dalam politik, misalkan kepribadian 90 persen baik, 10 persen kurang. Yang dibahas yang 10 persen, dieksploitasi kekurangan dipersepsikan menjadi sebuah wajah keseluruhan dari orang yang diobservasi.  

Kuncinya adalah mental. Saya meyakini antara pikiran saya dengan hati saya masih nyambung.  Selama itu masih nyambung, saya jalan terus, tidak peduli apa kata orang lain. 

Yang penting saya membawa perubahan dengan cara-cara yang saya percaya baik dan taat aturan, serta menghasilkan. Bahwa dalam prosesnya  ada kritikan atau orang yang tidak suka, tidak ada masalah. Karena pada akhirnya apapun yang kita lakukan, orang akan tetap menghakimi, memberi label. 

Saya diam diomongin, saya bergerak diomongin. Saya kerja dianggap pencitraan kalau diberitakan. Saya kerja enggak diberitakan disangka makan gaji buta. Sama saja.

Kalau dipikirin terus, bisa habis energinya.  Maka sebagai pemimpin dengan situasi  etika politik hari ini di Indonesia, saya fokus pada yang saya kerjakan. Saya tidak ingin menjadi pejabat yang tercerabut dari sosmed. Saya pilah-pilah saja.

Kami dengar saat kampanye pilwalkot, Ibu Anda ikut menyebarkan formulir dukungan dan terus memonitor kinerja Anda. Apa pesan dari Ibu kepada Anda saat memimpin Bandung? (Ibu Ridwan Kamil seorang dosen senior di sebuah perguruan tinggi di Bandung, red). 

Ibu itu guru abadi. Berakhirnya proses teaching seorang ibu pada saat ibunya meninggal dunia. Tapi apa yang diajarkan akan abadi. 

Sampai sekarang untuk keputusan-keputusan yang maha penting yang akan menyangkut masa depan saya, pasti saya minta pendapat ibu. Pendapat ibu biasanya pendapat memberi perlindungan, memilih dengan kejernihan, yang penting anaknya bahagia, yang penting anaknya aman, selamat.  

Makanya kalau ada apa-apa selalu mengingatkan. Ingat lho sumpah kamu, niat kamu di Bandung kan beres-beres, bukan cari kekuasaan.  

Cerita punya cerita, ibu saya yang lemah lembut dan sudah sepuh ini, dulunya aktivis juga. Ibu aktivis HMI tahun 60an, ketemu jodoh dengan almarhum ayah saya yang juga aktivis HMI. Ikut demo-demo di jalanan juga, knowledge politiknya ada, dibalik sosok keibuannya.  

Jadi, insyaallah setiap saya mengambil keputusan saya akan mengingat dampaknya. Keputusan saya pasti berdampak ke keluarga saya, ke ibu saya juga.  

Dengan cara begitu, godaan-godaan yang hilir-mudik itu bisa dikendalikan dengan the power of mind.  Bahwa saya sekarang enggak berdiri sendiri, di belakang saya ada nama baik ibu saya, keluarga saya, nama baik ITB yang saya minta izin cuti mengajar juga. 

Kalau saya salah  ambil keputusan, bukan ke RK saja yang disorot, tapi di belakang ini akan kecewa luar biasa.  Itu menjadi kompas saya dalam decision making. — Rappler.com 

 Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis.

 

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!