Korban tragedi 1965 menanti pengakuan negara

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Korban tragedi 1965 menanti pengakuan negara
“Saya perkirakan, dua tahun lagi korban dan saksi sejarah peristiwa 1965 akan habis, rekonsiliasi mendesak dilakukan"

 

SOLO, Indonesia – Bronto terkulai lemah di atas kursi panjang di teras rumahnya. Badannya terlihat kurus dan tangannya yang mulai keriput selalu gemetar akibat gangguan syaraf.

“Maaf, saya tidak kuat duduk lama, saya ngobrol sambil tiduran saja ya,” ujarnya laki-laki tua itu membuka perbincangan dengan Rappler.

Sebulan ini, ia terbaring sakit. Namun, tak ada bantuan layanan kesehatan dari negara untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1965 yang rata-rata sudah lanjut usia. Meskipun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beberapa waktu lalu ingin mengupayakan bantuan kesehatan melalui jaminan kesehatan nasional, hingga kini program ini belum berjalan.

Lima puluh tahun lalu, Bronto adalah sosok gagah dengan baju dinasnya sebagai anggota Brigade Infanteri VI Surakarta. Hanya karena mendukung Presiden Sukarno, ia ditangkap dalam operasi pembersihan komunis, dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dipenjara tanpa pengadilan, dan menyandang eks-tahanan politik (tapol).

Ia adalah salah satu dari sekian banyak tentara yang menjadi tahanan karena mendukung kebijakan Orde Lama atau dianggap dekat dan loyal pada Sukarno. Dengan mudah, mereka dilabeli sebagai pengkhianat tanpa upaya pembuktian hukum.

“Akibatnya banyak sekali orang tak bersalah ditangkap, disiksa, dan dicap PKI,” ujar Bronto.

Bronto menuturkan kesaksiannya tentang sebagian anggota Angkatan Udara di Lanud Panasan (sekarang Adisoemarmo) yang akhirnya ditangkap karena menolak operasi pembersihan yang dilakukan Soeharto dan menyembunyikan orang-orang penting target operasi di markas mereka. Pengamanan target istimewa itu disamarkan dalam kode “batik halus”, yang artinya orang penting yang harus diselamatkan.

Di usia senjanya, Bronto masih aktif sebagai Ketua Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Solo, organisasi yang mewadahi para korban pelanggaran HAM pada 1965-1966. Melalui organisasi itu, mereka berjuang untuk pembuktian kebenaran sejarah, di antaranya dengan penelitian peristiwa 1965.

Bronto merekomendasikan agar pertemuan nasional para korban di Yogyakarta, November mendatang, menyuarakan kembali desakan untuk rekonsiliasi. Karena, banyak korban yang sudah meninggal dunia, sedangkan yang tersisa semakin tua dan sedikit jumlahnya.

Harapannya sederhana, yaitu pengakuan negara dan pengungkapan kebenaran, meskipun ia sadar bahwa proses ini tidak mudah sekalipun Orde Baru sudah tumbang hampir dua dekade lalu. Ia paham bahwa siapa pun presiden yang berkuasa, tekanan untuk mengabaikan rekonsiliasi akan selalu ada.

TRAGEDI 1965. Kuburan 24 orang yang dibunuh karena diduga anggota Partai Komunis Indonesia di Kampung Plumbon, Semarang. Foto screengrab Youtube

Beban sejarah

Tak ada dendam tersimpan dalam benak para korban, mereka hanya ingin mati tanpa beban sejarah dan cap sebagai pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Sampai kini, stigma masih melekat pada keluarga dan anak cucunya yang mewarisi “dosa” masa lalu yang tak mereka lakukan.

“Saya perkirakan, dua tahun lagi korban dan saksi sejarah peristiwa 1965 akan habis. Rekonsiliasi mendesak dilakukan, paling tidak ada pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM.”

“Kami merindukan orang-orang seperti Gus Dur, yang memanusiakan para korban,” kata Bronto mengenang mantan Presiden Abdurrahman Wahid, kiai NU progresif yang peduli pada isu kemanusiaan, dan yang pertama kali membuka jalan bagi rekonsiliasi.

“Kami ingin meluruskan sejarah. Jika kami mati, generasi mendatang bisa membaca sejarah yang sebenarnya.”

Di lain tempat, Martono, pekerja teknik mesin dan listrik yang menjadi korban dalam peristiwa 1965 menginginkan agar rekonsiliasi terus diperjuangkan meskipun, menurut dia, sudah setengah abad lamanya nyaris belum ada perkembangan yang berarti.

Kakek yang sudah lebih dari 80 tahun itu merupakan korban salah tangkap yang ditahan selama lima tahun. Pada 2008 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memeriksanya dan membuat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai korban.

Martono menginginkan sebuah rekonsiliasi adil yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM, terutama korban salah tangkap. Karena, para korban kebanyakan kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak sejak mereka menjadi tahanan.

“Orang-orang seperti saya ini (salah tangkap) seharusnya berhak menuntut kompensasi,” katanya.

Nama mereka termasuk daftar hitam yang tidak memungkinkan anak dan cucunya bekerja di sektor publik seperti pegawai negeri sipil dan karyawan BUMN. Status eks-tapol juga menjadi ganjalan bagi mereka untuk memulai usaha dan berbaur dengan masyarakat umum.

Sedangkan korban lain, Sutriman, mantan pegawai dinas pekerjaan umum yang ditangkap dan ditahan selama tiga tahun menginginkan agar rekonsiliasi merujuk pada pengungkapan kebenaran dan pengakuan oleh negara. Selain itu, negara perlu menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang lagi.

Sayangnya, rekonsiliasi bukanlah tanpa hambatan. Beberapa organisasi masyarakat (ormas)  menganggap korban pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965 identik dengan komunis. Alih-alih rekonsiliasi, kabar Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada korban saja direspons secara reaktif.

Di Kota Solo, banyak bertebaran spanduk-spanduk di jalanan yang menolak rencana permintaan maaf pada PKI — korban pelanggaran HAM selalu disamakan dengan PKI. Selain itu, muncul selebaran dan buletin propaganda yang menakut-nakuti masyarakat dengan kebangkitan “hantu” komunisme.

Kelompok-kelompok radikal ini sangat sensitif dengan segala isu yang menyangkut kata kunci “korban 1965”. Misalnya, pada Februari lalu, mereka mendatangi seminar bertema layanan kesehatan bagi korban 1965 di Taman Budaya Jawa Tengah, dan memaksa panitia membatalkan acara karena, menurut mereka, seminar itu berbau komunisme dan dianggap sebagai upaya untuk membangkitkan kembali partai terlarang di Indonesia.

Sikap ormas ini berkebalikan dengan beberapa tokoh NU di Solo yang meneladani Gus Dur untuk membuka pintu rekonsiliasi demi alasan kemanusiaan dan keutuhan bangsa.

“Tidak ada buruknya negara meminta maaf pada korban pelanggaran HAM berat, justru ini membuktikan kita sebagai bangsa yang berjiwa besar,” kata Zaenal Abidin, Ketua NU Kecamatan Serengan.

Zaenal menegaskan bahwa dalam agama apapun tidak diperbolehkan memelihara dendam dan kebencian terhadap orang, apalagi mewariskannya sampai ke anak cucu. Karenanya, ia justru mendorong agar negara segera memulai rekonsiliasi karena sudah terlalu lama bangsa terpecah oleh stigma dan kebencian terhadap manusia.

“Kalau tidak ada rekonsiliasi, saya yakin bangsa ini akan terus terbelenggu oleh beban sejarah masa lalu,” kata Zaenal.

TOLAK REKONSILIASI. Ormas Islam garis keras menentang dukungan agar pemerintah meminta maaf kepada korban tragedi 1965. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Tiga syarat rekonsiliasi

Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI Solo, yang merupakan anggota Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), mengupayakan agar UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) segera dibahas oleh DPR, paling tidak pada tahun 2016.

“Rekonsiliasi nasional kuncinya ada di UU KKR sebagai payung hukum,” ujar Heri Hendro, anggota tim advokasi HAM LPH YAPHI untuk korban 65.

Ia menjelaskan bahwa rekonsiliasi yang digagas oleh KKPK bukan hanya sebatas persoalan meminta maaf, tetapi juga setidaknya mencakup tiga hal penting, yaitu pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM berat para peristiwa 65, rehabilitasi dan pemulihan hak para korban, serta pemberian kompensasi yaang besarnya tergantung pada kondisi keuangan negara. Setelah itu, perlu ada jaminan dari negara bahwa peristiwa tragedi kemanusiaan serupa tidak akan terulang.

Menurut Heri, dalam setiap pelanggaran HAM berat tidak boleh ada impunitas atau kekebalan hukum. Tetapi, khusus untuk kasus 65 rekonsiliasi tidak mungkin disertai dengan proses yudisial di pengadilan.

“Karena kasusnya sudah terlalu lama, para pelaku di tingkat komando, sudah meninggal, dan tidak mungkin diadili. Pelakunya adalah orang, dan kita tidak bisa menuntut institusi,” kata Heri.

Menurut Heri, sebenarnya sudah ada kemajuan untuk mengupayakan rekonsiliasi, meskipun UU KKR no 27/2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada  2006. Setidaknya, sudah ada niat pemerintah untuk membuka jalan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Sementara itu, Koordinator Sekretariat Bersama 65, Winarso, mengatakan para korban butuh kepastian hukum agar mereka bisa melepaskan diri dari belenggu masa lalu, apakah mereka akan meninggal sebagai korban tragedi kemanusiaan atau sebagai mantan pemberontak. 

Namun, pemerintah saat ini dinilai masih gamang untuk memulai proses paling awal dengan mengakui peristiwa 65 sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

“Presiden atas nama negara memang tidak perlu minta maaf pada PKI, tetapi pada korban penculikan, penghilangan paksa, dan penyiksaan,” kata Winarso. — Rappler.com

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!