Ironi kesepakatan dewan kelapa sawit Jokowi dan Najib

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ironi kesepakatan dewan kelapa sawit Jokowi dan Najib
Kesepakatan dibuat saat perusahaan sawit disorot karena diduga terlibat kebakaran hutan. Malaysia pernah menelikung Indonesia soal kebijakan minyak sawit

Presiden Joko “Jokowi” Widodo bertukar senyum dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Istana Bogor, Minggu, 11 Oktober. Kedua pemimpin negeri yang bertetangga ini menyepakati pendirian dewan negara-negara penghasil sawit.  

“Kita harus tahu bahwa 85 persen produksi palm oil adalah di Indonesia dan Malaysia,” kata Jokowi.  

Hadir dalam pertemuan di Istana Bogor antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.

Keterangan tim komunikasi kantor Presiden menyebutkan bahwa selain pembentukan dewan negara peghasil minyak sawit, kedua kepala negara juga bersepakat membuat standar global baru produksi minyak sawit berkelanjutan.

Standar global baru merupakan hasil harmonisasi antara standar Malaysia dan standar Indonesia yang nantinya akan menjadi standar internasional baru di bidang industri minyak sawit dunia.

Tujuan membuat standar baru adalah menjadikan standar ramah lingkungan dan mampu menyejahterakan 4 juta petani di Indonesia dan 500 ribu petani sawit di Malaysia. Kedua negara juga sepakat membangun zona ekonomi hijau (Green Economic Zone).

“Ini adalah sebuah inisiatif yang sangat bersejarah untuk industri minyak sawit yang kita harapkan bermanfaat bagi mayoritas petani kecil kepala sawit, baik di Indonesia dan Malaysia,” kata Jokowi.

Saya mendengar rencana pembentukan dewan kerjasama ini dari Rizal Ramli saat diskusi dengan Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, 25 Agustus lalu.  

“Idenya adalah menguatkan posisi tawar kita sebagai produsen sawit terbesar di dunia. Supaya kita tidak mudah ditekan dunia,” kata Rizal saat itu.

Indonesia adalah penghasil 40 juta ton minyak kelapa sawit, sedangkan Malaysia 30 ton.  

“Kita ingin kerjasama dengan Malaysia supaya kita dapat nilai tambah lebih besar dari palm oil,” kata Rizal.

Menurut Rizal, pemerintah Indonesia berencana membangun pusat pemrosesan minyak kelapa sawit turunan di Kalimantan Timur. Ini dilakukan agar Indonesia dan Malaysia tidak hanya menjual kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit mentah, melainkan juga olahan turunannya, berupa oleochemical.

Oleochemical ini bisa diolah menjadi sabun, bahan margarin, dan yang paling penting, bahan bakar pesawat jet,” kata Rizal.

Pada 3 Oktober, Rizal menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri kedua negara membahas ide kerjasama sawit.

Kontroversi terhadap sawit Indonesia gencar disuarakan media asing, termasuk New York Times, yang mengatakan bahwa kebun sawit menjadi penyebab tergerusnya seperlima dari hutan Indonesia sejak 1990-2010.

Tentu ada argumentasi persaingan bisnis yang terjadi antara penentang minyak sawit dengan yang pro. Bahan argumentasi banyak bertebaran di Internet.

Satu hal keunggulan minyak sawit adalah secara relatif tidak bersaing dengan kebutuhan pangan sebagaimana yang terjadi dengan minyak kedelai yang didukung negara barat dan medianya. Sawit juga secara relatif tidak menghasilkan sisa (zero waste), jika diolah.  

Tapi, alasan soal kebun sawit yang menggerus hutan, ada benarnya. Bahkan, menemui buktinya ketika saat ini kebakaran hutan melanda 6 provinsi di Indonesia, dan di antara perusahaan yang dituding sebagai tertuduh adalah perusahaan yang dikenal sebagai raja-raja sawit, seperti Sinar Mas dan Wilmar.  

Tentu saja kedua pihak membantah tudingan ini.

Lebih ironi lagi, hari ini, Senin, 12 Oktober, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengumumkan indikasi keterlibatan warga Malaysia (juga Tiongkok dan Singapura) sebagai pelaku pembakaran hutan.

Ironi lain dari “kekompakan” kedua negara sebagaimana ditunjukkan di Istana Bogor adalah pekan lalu Malaysia justru baru mengumumkan menghentikan impor minyak sawit dari Indonesia. 

Rencana itu terungkap dari edaran Malaysian Palm Oil Board akhir bulan lalu. Dalam edaran itu, disebutkan bahwa alasan penghentian impor adalah kelebihan pasokan di dalam negeri Malaysia.  

Gusmardi Bustami, ketua forum kebijakan perdangan dan mantan pejabat senior di Kementerian Perdagangan, mengatakan bahwa tindakan Malaysia tidak sejalan dengan semangat dalam kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Patut dicurigai bahwa Malaysia ingin melindungi produk olahan yang dibuat dari minyak sawit yang diimpor dari Indonesia, untuk masuk ke negara tujuan ekspor, mengingat adanya spekulasi bahwa produser minyak sawit itu diduga terkait dengan kebakaran hutan,” kata Gusmardi, sebagaimana dikutip laman The Jakarta Post.

Kesepakatan Indonesia dan Malaysia kali ini mengingatkan saya kepada kejadian awal 2013, ketika Malaysia menelikung minyak sawit Indonesia dengan memotong pajak ekspor crude palm oil (CPO) ke pasar internasional. 

Tentu saja kebijakan itu menguntungkan ekspor CPO Malaysia, yang menganggap Indonesia sebagai pesaing terkuat. Ekspornya naik.

Kebijakan memangkas pajak ekspor itu merugikan Indonesia, yang saat itu tengah merencanakan pengaturan pasokan CPO ke pasar dunia agar harga terjaga. Begitu pajak ekspor dipangkas, CPO Malaysia membanjiri pasar. Keputusan Malaysia dibuat di tengah perundingan antara Kementerian Pertanian kedua negara.

Sebenarnya pembentukan dewan negara seperti yang dilakukan oleh Jokowi dan Najib bukan hal istimewa.

Sebelumnya sudah ada dewan kakao, dewan karet, dan dewan teh dan rempah-rempah. Dewan-dewan berbasis komoditi ini tidak hanya diakui oleh negara, juga diakui oleh organisasi multilateral.

Misinya di kementerian adalah memajukan produksi, riset dan penyuluhan. Di Kementerian Perdagangan selama ini juga ada direktorat yang membidangi kerjasama berbasis komoditi.

Kita lihat kali ini, bagaimana efektivitas dewan yang diinisiasi Rizal Ramli dan diresmikan Jokowi-Najib. Apakah Malaysia bakal menjaga komitmennya? —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!