Dirusak dan dibakar, Masjid Ahmadiyah dibangun lebih megah

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dirusak dan dibakar, Masjid Ahmadiyah dibangun lebih megah
“Renovasi ini juga sebagai bentuk perlawanan atas gerakan intoleransi, intimidasi, tekanan, dan perusakan aset-aset milik JAI Singaparna.”

 

BANDUNG, Indonesia — Masjid Baitur Rahim berdiri dengan megahnya di tengah pemukiman berpenduduk sekitar 120 jiwa di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. 

Masjid itu sedang direnovasi. Masih tampak pekerja yang sibuk dengan tugasnya masing-masing, namun kemolekan dan keagungan masjid jemaat Ahmadiyah itu sudah jelas terlihat.

Masjid Baitur Rahim pertama kali dibangun pada 1925. Selama berdiri masjid itu telah empat  kali dirusak, disegel, dan dibakar oleh kelompok-kelompok intoleran. Tindakan itu merupakan akibat dari anggapan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Setiap kali dirusak, setiap kali juga masjid itu diperbaiki. 

Renovasi kali ini dilakukan pasca perusakan dan penyegelan masjid oleh sejumlah ormas pada 20 April 2012 lalu. Pada waktu itu, kondisi masjid rusak berat. 

Bahkan, masjid nyaris terbakar habis akibat ulah massa yang melempar bom molotov dan berhasil mengenai karpet masjid. Untungnya, kebakaran tidak meluas.

Setelah setahun diperbaiki, Masjid Baitur Rahim kembali berdiri, bahkan lebih megah dari sebelumnya. Dulu masjid ini hanya berukuran 60 meter persegi, kini masjid ini jauh lebih luas dengan ukuran 900 meter persegi. 

Di salah satu dinding masjid dipasang sebuah prasasti berukir deretan kata yang menjelaskan tujuan renovasi. Salah satunya adalah, “Renovasi ini juga sebagai bentuk perlawanan atas gerakan intoleransi, intimidasi, tekanan, dan perusakan aset-aset milik JAI Singaparna.” 

Kalimat di prasasti itu ditutup dengan sebuah pesan, “Love for all, Hatred for none.” 

“Itu bentuk perlawanan yang kami lakukan. Kami tidak melawan fisik dengan fisik. Tapi fisik kami lawan dengan doa dan dialog. Kalau masjid dirusak, yah kami perbaiki, kami bangun lagi,” ujar Ii Argadiraksa, ketua pembangunan sekaligus arsitek masjid saat ditemui Rappler di lokasi, belum lama ini. 

Kakek 80 tahun ini mengaku tidak takut jika suatu saat masjid yang dibangun dari dana umat itu dirusak kembali oleh kelompok-kelompok intoleran. Sebagai umat Islam yang taat,  ia hanya bertugas membangun, merawat, dan memakmurkan masjid.

“Keyakinan kami masjid ini masjid Allah bukan masjid saya. Kalau dirusak Dia yang akan membangunnya kembali. Buktinya, empat kali dirusak bukan tambah rusak tapi malah tambah megah. Berarti ada yang melindungi,” kata pria yang pernah menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.

Jemaat Ahmadiyah di Babakan Sindang memang lebih beruntung. Mereka leluasa menjalankan keyakinannya dibanding penganut Ahmadiyah di wilayah lain. Bisa jadi karena di desa ini, ajaran Ahmadiyah dianut oleh sebagian besar warganya.

MEMBANGUN MASJID. Ii Argadiraksa, ketua pembangunan dan arsitek Masjid Baitur Rahim milik Ahmadiyah. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Masjid Mahmud 

Kondisi berbeda bisa ditemui di Masjid Mahmud yang lokasinya satu desa dengan Masjid Baitur Rahim. Pada 2008, masjid ini disegel oleh beberapa kelompok ormas. Meskipun segel bisa dibuka kembali, namun Jemaat Ahmadiyah belum sepenuhnya bebas beribadah.

“Kami tidak bisa melaksanakan ibadah salat Jumat dan menggelar pengajian atas permintaan warga sekitar yang ketakutan akan terjadi penyerangan lagi kalau ada kegiatan ibadah yang menyolok,” ungkap Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Singaparna, Nanang Ahmad Hidayat kepada Rappler, di Tasikmalaya.

Nanang memahami permintaan tersebut karena jemaat Ahmadiyah di sekitar Masjid Mahmud hanya 10 keluarga. Ia juga mengerti ketakutan warga yang trauma kampungnya diserang lagi oleh kelompok-kelompok yang memusuhi Ahmadiyah.

“Masjid Mahmud ini sudah tiga kali diserang dan dirusak, jadi warga minta tidak ada kegiatan yang menyolok karena di sana masih ada kekhawatiran dari beberapa tokoh kalau-kalau kegiatan itu bisa memicu pihak ormas intoleran datang lagi ke sana,” ujar Nanang.

Padahal sebelum 2007, tambah Nanang, warga setempat sangat toleran dengan kegiatan ibadah jemaat Ahmadiyah. Kerukunan juga terjalin antara warga dan penganut Ahmadiyah.

Jemaat Ahmadiyah di wilayah Singaparna tercatat sebanyak 500 jiwa. Sementara jumlah masjid hanya ada dua, yakni Masjid Baitur Rahim dan Masjid Mahmud. Dengan tidak optimalnya Masjid Mahmud, praktis hanya satu masjid yang bisa digunakan. Nanang berharap kegiatan ibadah penganut Ahmadiyah Singaparna bisa dilaksanakan di Masjid Baitur Rahim yang kini mampu menampung hingga 800 jemaat.

Lebih lanjut, Nanang mengatakan, kehidupan umat Ahmadiyah Singaparna dalam dua tahun terakhir ini berlangsung kondusif. Namun ia mengaku tetap waspada terhadap berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

“Alhamdulillah kita merasa tenang dengan kondisi seperti ini. Tapi kewaspadaan tetap dijaga. Takutnya ada beberapa gerakan dari luar yang coba bikin keributan,” ujarnya.

PRASASTI. Terletak di depan masjid, prasasti ini menyatakan perlawanan terhadap perusakan aset Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Masih banyak masjid Ahmadiyah yang disegel dan rusak

Selain Masjid Mahmud di Singaparna, sebanyak enam masjid milik Jemaah Ahmadiyah hingga kini masih disegel dan belum bisa digunakan. Keenam masjid itu adalah:

1. Masjid Al Furqon, Tasikmalaya

Masjid yang berlokasi di Kampung Gadel Desa Kersamaju, Tasikmalaya, ini sedang dalam tahap renovasi ketika disegel oleh Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya. 

Penyegelan dilakukan dua kali, yaitu pada 31 Maret 2015 dan 29 Juni 2015 dengan alasan tidak memiliki izin dari Pemerintah Jawa Barat. Proses penyegelan sempat ramai karena jemaat Ahmadiyah memilih bertahan di dalam masjid. Untungnya tidak sampai terjadi kerusuhan. Polisi setempat mengawal proses penyegelan tersebut. 

Renovasi masjid dari rumah panggung ke bangunan permanen tersebut terpaksa dihentikan dan masjid tidak bisa digunakan oleh sekitar 100 penganut Ahmadiyah di sana. 

2. Masjid Basyarat, Sukaraja

Masjid yang terletak di Kampung Sukajaya, Desa Sukapura ini disegel pada 31 Agustus 2007 dan dirusak tiga bulan kemudian saat malam takbiran Idul Adha. 

Sekarang kondisinya tinggal puing-puing. Jemaat Ahmadiyah di wilayah itu yang berjumlah 37 KK kesulitan melaksanakan ibadah shalat Jumat. Bahkan, mereka dilarang mengadakan kegiatan pengajian dan salat berjamaah meski di rumah sekalipun. 

“Kami harus ke daerah Kawalu yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer untuk melaksanakan shalat Jumat,” kata Ketua JAI Sukapura, Atek Kupriatna.

3. Masjid di Kampung Tolenjeng, Tasikmalaya

Telah sepuluh tahun jemaat Ahmadiyah di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, tidak memiliki masjid untuk beribadah. Masjid mereka disegel dan dirusak massa pada 2005. 

Mereka berharap pemerintah memfasilitasi warga untuk memperbaiki dan menggunakan kembali masjid. Menurut Pembina Ahmadi Tolenjeng Ahmad Nurul Haq, perusakan dan penyegelan masjid juga dipicu sengketa kepemilikan lahan. 

Pihaknya, kata Ahmad, mencoba mengalah dengan pindah ke lokasi lain. Permintaan itu disetujui oleh pemerintah, namun ditolak oleh ormas. Perbaikan masjid menjadi terbengkalai dan penganut Ahmadiyah Tolenjeng akhirnya terusir dari tempat tinggalnya.

“Warga terusir dari Tolenjeng menyebar ke daerah lain, bahkan sampai ke Garut,” ungkap Ahmad yang menyebutkan penganut Ahmadiyah Tolenjeng ada 20 keluarga. 

4. Masjid di Buninagara, Tasikmalaya

Sekelompok massa intoleran dan aparat pemerintahan melarang warga jemaat Ahmadiyah di Buninagara, Kelurahan Nagarasari menggunakan masjid ini pada 2011. Sejak itu, penganut Ahmadiyah di sana tidak memiliki masjid untuk melaksanakan kegiatan ibadah.

5. Masjid di Kampung Saripin, Tasikmalaya 

Renovasi masjid berlokasi di Keluarahan Sukanagara ini terpaksa dihentikan karena dilarang oleh massa dan aparat pada 2012. Kondisi masjid saat ini tinggal puing karena renovasi tidak boleh dilanjutkan. 

6. Masjid Istiqomah, Banjar

Sudah empat tahun jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Tanjung Syukur, Kecamatan Pataruman tidak dapat beribadah di masjid karena disegel dengan balok-balok kayu. Kondisi masjid saat ini dinyatakan status quo oleh Pemerintah Kota Banjar. 

Penganut Ahmadiyah di Banjar sudah dua kali membuka segel tapi ditutup lagi oleh Satpol PP dan aparat kepolisian Kota Banjar. 

Terkait kondisi tersebut, mubaligh Ahmadiyah Syaeful Uyun mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat Permohonan Pencabutan Pergub/Perwal/SK-Wal yang membatasi dan melarang warga jemaat Ahmadiyah beribadah di wilayah Jawa Barat. Surat  bernomor 014/amirda-priatim/27/07/2015 itu ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri.

“Kami mengirim surat itu agar pemerintah memfasilitasi warga Ahmadiyah untuk bisa bebas menjalankan ibadah sesuai undang-undang.  Kalau di sini tidak boleh, kasih fasilitas lain karena kami punya hak untuk beribadah,” kata Syaeful yang ikut menandatangani surat itu.

Selain dikirim ke Mendagri, surat itu ditembuskan kepada Presiden RI, Komnas HAM, dan Gubernur Jawa Barat. Dalam surat tersebut juga disampaikan dukungan JAI Priangan Timur terhadap pernyataan Tjahjo Kumolo yang disampaikan dalam pertemuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Indonesia di Pondok Pesantren Buntet, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jumat 24 Juli 2015.  

Saat itu, Tjahjo menyatakan gubernur, bupati, wali kota, harus memberikan pelayanan dalam kebebasan beribadah. Bahkan dengan tegas Tjahjo menyatakan, akan memecat pejabat yang menyimpang dari instruksi tersebut. 

Namun aksi nyata dari pernyataan itu belum dirasakan oleh Jemaat Ahmadiyah. Surat tersebut hingga kini belum mendapat tanggapan dari mendagri. Padahal Syaeful mengaku telah dua kali mengirim surat serupa pada Mendagri. Surat pertama dikirim sekitar Mei-Juni 2015.

“Mendagri gak suka jawab surat kayaknya. Sebetulnya sudah lima kali kami kirim surat, dua di tingkat wilayah Priangan Timur, tiga di tingkat Kota Banjar. Pernyataan Mendagri soal pejabat harus memberikan pelayanan kebebasan beragama juga sepertinya hanya statement politis saja,” ungkapnya.

Syaeful merasa heran atas sikap diam pemerintah terhadap berbagai tindakan intoleran yang dilakukan oleh kelompok ormas. Seharusnya, imbuh Syaeful, kelompok intoleran jangan diberi ruang karena di Indonesia siapapun punya hak untuk beribadah.

“Yang mesti ditutup itu bukan masjid, tapi perilaku-perilaku yang tidak toleran. Masa, demi alasan keamanan masjid ditutup. Perilaku yang tidak intoleran harus diperbaiki karena negara ini menjunjung Bhineka Tunggal Ika,” katanya. — Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!