Memperjuangkan kondom: Remaja Bali protes kriminalisasi alat kontrasepsi

Luh De Suriyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memperjuangkan kondom: Remaja Bali protes kriminalisasi alat kontrasepsi
Hasil penelitian Kisara menunjukkan sebanyak 19% remaja di Denpasar melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom

 

DENPASAR, Indonesia — Rencana revisi KUHP yang membatasi promosi alat kontrasepsi diprotes oleh remaja Bali. 

“Tak semua remaja tahu alat kontrasepsi, tapi banyak yang melakukan seksual (secara) aktif,” kata Amita Verayanti, remaja berusia 17 tahun, dalam diskusi yang diselenggarakan Kita Sayang Remaja (Kisara), Selasa, 13 Oktober. 

Remaja lainnya, Ni Luh Eka Purni, meminta pemerintah meninjau kembali pasal 481 RUU KUHP yang menurutnya mengkriminalisasi alat kontrasepsi. 

Tak cuma dalam diskusi, protes mereka juga terekam dalam video. 

Kisara, lembaga pendampingan dan edukasi remaja terkait kesehatan reproduksi, memprotes Pasal 481 RUU ini. 

Pelaku promosi alat kontrasepsi bisa dikenakan pidana denda maksimal Rp10 juta. Selanjutnya, dalam pasal 483 RUU KUHP disebutkan pasal tersebut dikecualikan kepada petugas keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular.

Pasal-pasal ini diminta direvisi dan dibahas secara transparan dan jelas, mengingat masih banyak kata dan kalimat yang ambigu. 

“Apabila RUU KUHP pasal itu terealisasi otomatis adanya keterbatasan akses kontrasepsi dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi remaja yang ingin mengakses. Mempersulit akses kondom bagi peserta sama saja meningkatkan angka hubungan seksual yang beresiko,” papar Luh Putu Ari Dewiyanti, Koordinator Kisara.

Dari hasil penelitian Kisara menyebut sebanyak 97% remaja di Denpasar telah mengetahui informasi mengenai bahaya infeksi menular seksual (IMS) namun tetap melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. Penelitian Kisara lain pada 2014 menyatakan dari 384 responden remaja sebanyak 19% telah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. 

“Tidak dibatasi saja remaja jarang mengakses kontrasepsi, apalagi jika dibatasi?” katanya.

Menurutnya banyak pihak akan rentan dipidana dengan pasal ini seperti toko penjual kondom, pembeli, dan peer educator (pendidik sebaya) yang membawa atau memperlihatkan alat kontrasepsi dalam kampanye edukasi. 

“Edukasi bukan malah menyembunyikan alat kontrasepsi. Pasal 481 dan 483 membatasi kerlibatan pendidik sebaya pemberi informasi karena bukan lembaga yang berwenang. Hanya petugas KB yang berwenang,” katanya.

Ia juga mengutip Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mengaku kekurangan 65 ribu penyuluh KB. 

“Sistem edukasi pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan. Tak bisa petugas BKKBN saja yang bertugas,” ujar Ari. 

KESEHATAN REPRODUKSI. Kisara melakukan penyuluhan kesehatan reproduksi pada remaja. Foto oleh Luh De Suriyani/Rappler

Beberapa pihak seperti Dinas Kesehatan dan Forum Guru Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) di Bali juga khawatir pasal soal pembatasan peragaan alat kotrasepsi akan memundurkan upaya sosialisasi kesehatan reproduksi. 

IA Mas Arymawati dari Puskesmas Kuta menyebut konselor sebaya yang paham remaja sangat membantu. 

“Jika ada UU yang sangat membatasi, kami harus berpikir karena akan ada keterbatasan sosialiasi. Di satu pihak kami menargetkan penurunan angka kelahiran ibu dan AIDS tapi ada UU yang membatasi,” katanya.

Diskusi soal ini juga digulirkan lewat sosial media oleh akun jurnalisme warga @BaleBengong. Banyak yang berpendapat jika dilakukan pembatasan kontrasepsi seperti kondom, nanti jadi transaksi gelap seperti narkoba. — Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!