Filipino bands

Ada apa dengan Indonesia? Dari Tolikara hingga Aceh Singkil

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ada apa dengan Indonesia? Dari Tolikara hingga Aceh Singkil
Dari Tolikara hingga Aceh Singkil, kita ditunjukan bagaimana umat beragama di Indonesia bisa demikian beringas dalam memaknai sebuah peristiwa

 

Agama adalah alasan paling murah dan mudah bagi manusia untuk saling menyakiti. Cukup mengutip firman tuhan yang berisi seruan perang, tanpa menjelaskan konteksnya, umat manusia yang bebal akan dengan senang hati mengangkat senjata untuk berperang. Tapi apakah Tuhan demikian kerdil dan sempit, sehingga untuk menegakkan keyakinan dan ajarannya ia perlu bantuan manusia untuk berperang?

Satu daerah di Aceh pada Selasa, 13 Oktober, lalu menjadi perhatian publik karena berita terbakarnya gereja. Rumah ibadat itu konon dibakar karena tidak memiliki izin bangunan. Satu orang meninggal karena insiden ini. Orang-orang mengungsi dan kondisi dikabarkan mencekam. Media sosial ribut, mengecam dan menganggap peristiwa ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 

Sementara beberapa yang lain menggoreng isu ini menjadi masalah kebencian golongan. Jonru, idola kita semua, langsung berkomentar mengaitkan masalah ini dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sementara sisanya menunggu.

Sebenarnya ada apa dengan Indonesia? Aceh dan juga Papua adalah tanah yang indah. Di sana banyak manusia-manusia perkasa yang memiliki kebaikan hati, keramahan dan juga sikap memuliakan tamu. Lantas mengapa kebengisan ini bisa terjadi? 

”Di negeri ini kita dipaksa untuk punya agama, namun jika kita memiliki agama di luar keyakinan mayoritas, kita toh akan mengalami diskriminasi.”

Andreas Harsono, peneliti isu hak asasi manusia di Human Rights Watch (HRW), menyebutkan bahwa di Indonesia ada beberapa aturan yang diskriminatif terhadap agama minoritas, termasuk pasal penistaan agama (1965), aturan soal pendirian rumah ibadah (1969 dan 2006), hukum Administrasi Kependudukan (2006), maupun keputusan anti-Ahmadiyah (2008). 

Di negeri ini kita dipaksa untuk punya agama, namun jika kita memiliki agama di luar keyakinan mayoritas, kita toh akan mengalami diskriminasi. Pendirian rumah ibadah selain masjid dan mushola akan dipersulit, pada kasus yang ekstrim seperti jemaat GKI Yasmin, rumah ibadah yang telah dimenangkan oleh hukum toh tetap disegel. 

Barangkali memang benar kecurigaan saya, di negeri ini kita dipaksa untuk memilih satu agama saja, agama mayoritas. Agama mayoritas yang saya maksud bukanlah Islam, tapi konsensus dan kelompok yang berkuasa di tempat itu. 

Pada beberapa kasus ditemukan pula keluhan masjid yang dipersulit pembangunannya, dibakar atau bahkan dirusak. Masjid milik kelompok Ahmadiyah misalnya, beberapakali disegel dan dikepung sehingga umat yang hendak beribadah tidak bisa melakukan ritual agama mereka. Hal ini terjadi karena adanya fatwa sesat Ahmadiyah dan juga peraturan pemerintah yang diskriminatif.

Aturan diskriminatif, tindakan intoleran, dan kelompok fundamentalis sepertinya dipelihara oleh negara. Mereka merugikan dan mempersulit minoritas agama. Aturan diskriminatif tadi senantiasa dipakai oleh golongan-golongan militan untuk menyerang minoritas agama.

Andreas menyebutkan pada zaman Sukarno dan Suharto, militansi tersebut tak berkembang pesat karena kekuasaan otoriter kedua presiden tersebut, dari 1945 hingga 1998. Keadaan berubah sesudah Suharto mundur dari kekuasaan dan ruang politik dibuka lebih lebar.

Kadang saya berpikir, di negeri ini untuk membangun rumah tuhan, kita butuh izin dari manusia. Lebih daripada itu, izin dari manusia yang merasa punya otoritas terhadap keyakinan orang lain. Indonesia merupakan rumah dari berbagai macam agama. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha. dan ratusan keyakinan lokal yang telah ada bahkan jauh sebelum negeri ini berdiri.

”Selemah apa iman seseorang sehingga dengan berdirinya masjid atau gereja orang-orang di sekitar tempat itu akan ikut berganti agama.”

Setara Institute for Democracy and Peace mencatat sepanjang periode 2007-2014 ada 316 tempat ibadah mengalami perusakan seperti pembakaran dan penolakan izin pembangunan. Rincian dari 316 tempat ibadah tersebut antara lain, terdapat 20 tempat ibadah aliran kepercayaan, 163 gereja, 3 klenteng, 110 masjid aliran keagamaan minoritas, 1 sinagog, 5 pura, dan 14 vihara. 

Peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil beberapa hari lalu merupakan satu kasus baru tahun ini yang memperburuk citra toleransi di Indonesia. 

Anggita Paramesti, program officer dari Search for Common Ground (SFCG) Indonesia, menyebutkan berdasar riset yang dilakukan pada 2015 ini, menunjukan 6% responden yang mereka temui mengatakan bahwa penyerangan rumah ibadah milik penganut agama lain dibolehkan. 7 persen di antaranya menyebutkan bahwa mereka bersedia turut serta dalam aksi perusakan itu. 

Menariknya, Anggita menyebutkan umat Muslim lebih toleran terhadap pembangunan gereja ketimbang masjid-masjid Ahmadiyah. Hal ini terkait isu kebencian sektarian yang didasari oleh kerangka pemikiran kesesatan mazhab yang ada diluar dirinya. 

SFCG sendiri memulai proyek inisiatif untuk penghormatan terhadap rumah ibadah antar umat beragama di Indonesia. Proyek ini dimulai pada Agustus 2014 lalu. Tujuannya untuk membuat umat antar agama bisa saling menghargai dan menjaga rumah ibadah yang ada. Proyek ini juga dilakukan di Nigeria berdasarkan Universal Code of Conduct on Holy Sites (UCCHS). Proyek serupa juga telah dilakukan sebelumnya di Bosnia Herzegovina dan Israel juga Palestina. 

Indonesia semestinya belajar bahwa keyakinan dan juga keimanan seseorang semestinya menjadi urusan personal. Jika dengan dibangunnya rumah ibadah agama lain bisa mengganggu keyakinan orang lain, semestinya kita bertanya.

Selemah apa iman seseorang sehingga dengan berdirinya masjid atau gereja orang-orang di sekitar tempat itu akan ikut berganti agama. Keyakinan dan keimanan yang baik tidak datang dari perjuangan yang enteng, semestinya ia lahir dari pencarian akan tuhan secara personal.

Ketakutan-ketakutan pemurtadan atau perpindahan keyakinan menyuburkan xenopobia dan kebencian terhadap perbedaan. Dalam kasus Aceh Singkil, gereja yang dibakar dianggap tak memiliki izin, jika kita bisa sedikit kritis dan adil, semestinya kita bisa bertanya lebih jauh.

Memangnya masjid dan mushola dekat rumah kita sudah memiliki izin? Apakah gedungnya aman? Apakah ia sudah lulus uji konstruksi? Bagaimana transparansi keuangan yang digunakan untuk pembangunan? Kita cenderung bersikap keras terhadap umat agama lain, tapi memalingkan muka ketika ia berkaitan dengan keyakinan kita sendiri.

Dari Tolikara hingga Aceh Singkil kita ditunjukan bagaimana umat beragama bisa demikian beringas dalam memaknai sebuah peristiwa. Rumah tuhan yang semestinya aman dan menjadi tempat untuk berkeluh kesah dengan sang pencipta, justru menjadi sumber bencana. 

GKI Yasmin di Bogor dan mungkin berbagai masjid yang dilarang dibangun semestinya membuat kita semakin belajar. Toleransi adalah satu jalan keluar kerukunan umat, sementara tindak kekerasan adalah sisa peradaban barbar.

Beragama semestinya membuat orang semakin adil dalam bersikap. Bukannya malah menjadi munafik dan berlindung di balik agama untuk membenarkan perilaku keji. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!