Dugaan korupsi di bisnis tambang pasir besi liar Lumajang

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dugaan korupsi di bisnis tambang pasir besi liar Lumajang
Menurut JATAM, ada 5.000 truk pasir besi diangkut ke luar Lumajang setiap harinya. Nilainya mencapai US$ 6,3 juta

JAKARTA, Indonesia—Permasalahan tambang pasir liar tak hanya milik Desa Selok Awar-Awar, tapi juga milik seluruh Kabupaten Lumajang. Bukan hanya soal kerusakan lingkungan, melainkan juga dugaan korupsi dan pencucian uang di bisnis tambang liar di pesisir Pantai Selatan Jawa Timur tersebut. 

Pemerintah Kabupaten Lumajang sebelumnya mengklaim bahwa sumbangan tambang pasir liar pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mencapai ratusan juta rupiah per tahun. Tapi temuan sementara Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan angkanya lebih dari ratusan juta rupiah. 

Menurut JATAM, ada 5.000 truk pasir besi diangkut ke luar Lumajang setiap harinya. Nilainya mencapai US$ 6,3 juta atau lebih dari Rp 85 miliar per hari.

“Itu pernyataan dari Dinas Perhubungan di Probolinggo dan Jember. Yang selama ini berjalan tiap hari keluar dari Lumajang 5.000 truk. Itu hitungan kasar,” kata Ki Bagus Hadikusuma dari JATAM pada Rappler, Jumat, 16 Oktober. 

Berapa nilai per satu truk?

“Satu truk itu kapasitasnya 35  ton pasir. Dan potensinya memang kadarnya 40-50 persen kandungan pasir besinya belum diolah murni. Itu kalau hitungan di pasar internasional, harga satu tonnya 36 dolar. Jadi satu truk 1.260 dolar,” katanya.  

Jika dikalikan 5.000 truk, maka akan didapat angka $ 6,3 juta atau lebih dari Rp 85 miliar per hari dengan nilai kurs saat ini. 

Siapa saja yang mengelola tambang pasir besi di Lumajang? 

Lalu ke mana uang itu mengalir? Bagus belum dapat menjelaskan. Tapi JATAM mencatat ada 16 izin tambang pasir besi yang dikeluarkan untuk lokasi di Kabupaten Lumajang.

Satu izin dikeluarkan oleh oleh Direktorat Jenderal Penambangan Umum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk PT Aneka Tambang, dan dua izin dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS).   

Izin lainnya dikeluarkan oleh Pemkab Lumajang untuk individu, CV, dan koperasi.

“Luasnya sekitar 5 hektare,” kata Bagus.  

Luas lahan yang dioperasikan individu dan koperasi ini sangat tak sebanding dengan luas yang dikelola PT IMMS.

“Misalnya untuk IMMS, dia punya dua izin surat pertambangan. Total seluruh konsesinya 5.100 hektare. Antam saja cuma 462 hektare,” katanya. 

PT IMMS yang masuk Lumajang sejak 2010, belakangan punya banyak masalah karena izin lahan olahannya di enam kecamatan tumpang tindih dengan Perusahaan Hutan Indonesia (Perhutani).

“Karena wilayah Perhutani juga tersebar di pesisir selatan. Cuma tumpang tindih, artinya AMDAL-nya bermasalah,” katanya. AMDAL adalah Analisis Dampak Lingkungan, syarat untuk melakukan penambangan. Ini dikeluarkan oleh Pemkab Lumajang. 

Kasus Amdal PT IMMS ini akhirnya terendus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

“Terbukti ada gratifikasi AMDAL yang dilakukan PT IMMS kepada Pemkab Lumajang. Sudah ditetapkan tersangka Dirut PT IMMS pada Februari 2015,” katanya. 

Dari pihak Pemkab Lumajang, ada  delapan tersangka, salah satunya kepala tim seleksi AMDAL dan Sekretaris Daerah Lumajang.

Saat ini kasus masih berjalan dan alat-alat berat sudah disita. 

Ada yang menikmati uang haram tambang pasir besi

Bagus menengarai ada pihak-pihak selain kepolisian sektor dan kepala desa yang menikmati bisnis tambang tersebut. 

“Klaim IMMS, kontribusi dia ke Pemkab Lumajang klaimnya 16 miliar (rupiah),” katanya.

Sementara menurut JATAM nilainya mencapai $6,3 juta.

“Kalau pengandaian operasi produksi 800 hektare ya bayangkan PT IMMS sehari berapa truk. Sehari bisa ratusan juta rupiah perputaran uang. Itu hanya PT IMMS saja,” katanya.  

Muhnur Satyahaprabu dari Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mengamini pernyataan Bagus. “Kalau estimasinya Rp 5.000 truk per hari, katanya cuma nyumbang APBD ratusan juta, kan enggak mungkin,” katanya.  

“Pertanyaannya adalah, ke mana pasir pergi, dan ke mana uang itu berputar?” katanya. 

Bagus menambahkan, indikasi ada penikmat lain dari bisnis tambang ini. “Kalau kita lihat kasusnya, Pak Haryono percaya diri yang sangat tinggi berani melakukan tindakan sekejam itu di depan umum, artinya dia yakin ada backing kepolisian dan aparat pemerintahan,” kata Bagus.  

Haryono adalah Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tambang pasir besi ilegal dan dugaan pembunuhan aktivis Salim Kancil. 

Bagus mengatakan, ia yakin bukan oknum polisi yang terlibat. Tapi juga pejabat hingga dewan. Indikasinya?

“Dia (Haryono) kan sebelum kejadian ini sempat berkoar-koar juga di masyarakat, katanya, siapa yang berani tangkap saya, saya kebal hukum.” 

Hitungan JATAM dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) aktivitas pertambangan pasir besi liar di Lumajang ini berpotensi merugikan keuangan daerah hingga Rp 11,5 triliun dalam jangka waktu 5 tahun atau setara dengan 9 kali Anggaran Pendapatan Belanja Daerah kampung halaman Salim tersebut. 

Jangan berhenti di pembunuhan Salim Kancil 

Bagus melanjutkan, polisi harus lebih berani mengungkap kasus tambang pasir besi liar di Lumajang, bukan hanya menetapkan tersangka kepala desa dan tiga oknum polisi yang bertugas di Polsek Pasirian. 

“Ya harus bisa melebarkan penyidikannya melakukan tindak pidana korupsi dengan uang,” katanya.  

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan harus masuk lebih dalam.  

“Tapi akar permasalahannya harus diselesaikan dan diuraikan. Sudah jelas ini akar permasalahannya akibat operasi pertambangan di pesisir pulau,” katanya. 

Muhnur menambahkan pernyataan Bagus. “Yang ditangkap jangan hanya aktor di lapangan saja. Usut aktor intelektualnya,” katanya.

Polisi: Mana bukti korupsinya? 

Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti langsung menanggapi temuan JATAM dan WALHI. “Kami sudah mencari datanya di kantornya, rumahnya. Enggak ada. Kami sudah geledah,” kata Badrodin pada Rappler. 

Polri justru meminta kedua lembaga swadaya masyarakat tersebut untuk menyerahkan bukti-bukti yang mengarah pada dugaan korupsi.  

“Buktinya itu dari mana, masuknya ke siapa saja,” katanya. Karena polisi, lanjut Badrodin, tidak bisa masuk ke suatu perkara berdasar asumsi, melainkan hasil penyelidikan. 

Saat ini, kata Badrodin, pihak kepolisian sedang mengembangkan penyelidikan ke anggota dewan perwakilan rakyat setempat dan aparat pemerintahan. Tapi ia berharap, JATAM dan WALHI tidak keburu bermain dengan asumsi.

“Kalau Anda punya datanya, kasihkan saja informasinya. Biar jelas, bukan asumsi,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!