Setahun Jokowi-JK: 5 hal yang harus diperbaiki

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setahun Jokowi-JK: 5 hal yang harus diperbaiki
Dari menunjuk Budi Gunawan sebagai calon Kapolri hingga pembentukan kabinet tak ramping

JAKARTA, Indonesia — Pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla genap setahun hari ini, 20 Oktober 2015. Dalam setahun itu pula Jokowi diuji dengan pemenuhan janji-janjinya yang terangkum dalam Nawa Cita.

Apakah Jokowi sudah memenuhinya? Ternyata, tidak semua janji dipenuhi oleh Jokowi dalam setahun ini. Bahkan kerap kali ia membuat kebijakan-kebijakan kontroversial yang ditentang oleh rakyat.

Berikut catatannya: 

Jokowi tunjuk calon Kapolri bermasalah

“Menjamin rasa aman warga negara deegan membangun Polri yang lebih profesional,” kata Jokowi dalam janjinya.

Baru tiga bulan menjabat, Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian pada Januari 2015.

Penunjukan Budi menjadi polemik karena ia diduga memiliki rekening jumbo hasil korupsi dan pencucian uang.  

Temuan itu kemudian yang mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006.

Pada akhirnya, Budi berhasil memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski gagal menjadi Kapolri yang kini dijabat Jenderal Badrodin Haiti, Budi tetap dilantik menjadi Wakil Kepala Polri pada 22 April. 

Menurut Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti, awalnya lembaganya melihat kepemimpinan Jokowi masih menyesuaikan dengan partai, yakni dengan menunjuk Budi yang merupakan mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden. 

Megawati adalah Ketua Umum PDI-Perjuangan yang mengusung Jokowi jadi presiden. 

“Tetapi pada akhirnya Jokowi memilih Badrodin Haiti yang hingga saat ini mampu memimpin Polri dengan baik,” kata Poengky pada Rappler, hari ini.

Namun, menurutnya, itu tetap bukan jaminan.

“Polri tidak bisa dibiarkan sendirian dalam melakukan reformasi. Harus ada pengawasan, baik internal maupun eksternal, untuk mengarahkan Polri agar menjadi aparat yang profesional,” katanya. 

Kriminalisasi pimpinan dan revisi UU KPK

“Institusi hukum seperti KPK harus diperkuat, baik dari jumlah maupun anggarannya: Ke depan KPK ini perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, kalau ekonomi bagus bisa sampai meloncatnya mungkin perkiraan saya kurang lebih bisa 10 kali,” kata Jokowi. 

Pada kepemimpinan Jokowi, KPK mengalami masa sulit, terutama setelah penetapan tersangka Budi Gunawan. Ketegangan terjadi antara kedua institusi, KPK dan Polri.

Polisi kemudian menetapkan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka kasus tindak pidana yang berbeda.

Aktivitas penindakan dan penyidikan di KPK tak terdengar lagi gaungnya. Ditambah lagi, penyidik senior Novel Baswedan juga tersangkut kasus dugaan penganiayaan warga saat menjabat sebagai anggota Polisi di Lampung beberapa tahun yang lalu. 

Belakangan KPK disinyalir akan dilemahkan lewat 15 poin revisi undang-undang usulan DPR. Kini KPK dan pemerintah sedang menimbang untuk melakukan revisi UU di empat poin, salah satunya mekanisme penyadapan. 

Menurut aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, agenda untuk memperkuat KPK yang dilakukan Jokowi belum berhasil.  

“Jadi agenda pemberantasan korupsinya Jokowi, ya tadi itu tertutupi oleh isu kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Dalam tanda kutip, Jokowi belum berhasil menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan,” kata Emerson pada Rappler. 

Penuntasan kasus tragedi 1965 

“Menghormati hak asasi manusia dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran ham pada masa lalu, seperti kerusuhan 1998, tragedi 1965, Munir, dll,” kata Jokowi. 

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya masuk dalam salah satu agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita butir ke-4 dan poin ke-9, tetapi juga tertuang dalam visi-misi pemerintah yang berbunyi:

“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.”

Tapi penuntasan ini tidak didukung oleh Kejaksaan Agung. Menurut Jaksa Agung HM. Prasetyo, memaksakan untuk menuntaskan kasus ini lewat jalur hukum juga bukan pilihan yang tepat.

“Yudisial kalau dipaksakan, bagaimana hasilnya,” kata Prasetyo.

Joshua Oppenheimer, sutradara film Jagal dan Senyap yang bertema pembantaian 1965, mempertanyakan sikap Prasetyo. 

Menurut Joshua, pernyataan ini menunjukkan ketidakseriusan yang gawat dan terkait erat dengan jabatannya sebagai Jaksa Agung.

“Ini persoalan salah-benar. Apakah kekejaman seperti yang terjadi pada 1965 adalah sebuah aksi heroik atau kejahatan terhadap kemanusiaan?,” kata Oppenheimer.

Proses hukuman mati bermasalah 

“Pemberantasan narkoba dan psikotropika: negara kita dalam posisi darurat narkoba, permohonan grasi kasus-kasus narkoba tidak akan ada yang saya berikan grasi,” kata Jokowi. 

Indonesia telah mengeksekusi mati 14 terpidana narkotika sepanjang 2015 ini. Keputusan ini mendapat tentangan dari sejumlah organisasi hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch.

Sebelumnya, pada Desember 2014, Jokowi telah menolak 64 grasi yang diajukan oleh terpidana mati. 

“Hingga saat ini kita tidak pernah tahu apa sebenarnya alasan presiden menolak grasi tersebut, dan apakah presiden telah mempelajari, atau membaca ke-64 kasus tersebut?” tulis laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). 

Kabinet tak ramping

“Menciptakan koalisi yang ramping agar ke depannya lebiuh memprioritaskan kepentingan rakyat bukan kepentingan bagi-bagi kursi. menolak politik transaksional dalam pembentukan kabinet,” kata Jokowi. 

Pada awal pengumuman susunan kabinet. Jokowi menunjuk 15 menteri dari 4 partai. Empat menteri dari PDI-P, 3 menteri dari Nasdem, 2 menteri dari Hanura, dan 5 menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pengamat politik beranggapan dengan komposisi kabinet seperti ini, Jokowi akan terperangkap oleh kepentingan-kepentingan partai politik yang mendukungnya selama 

 —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!