Korban kebakaran Gunung Lawu abaikan larangan pendakian

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Korban kebakaran Gunung Lawu abaikan larangan pendakian
Satu rombongan keluarga pendaki yang menjadi korban kebakaran sebenarnya sudah tahu ada kebakaran hutan dan sudah diperingatkan oleh petugas posko pendakian Cemoro Kandang

NGAWI, Indonesia – “Awakmu gak melok (Kamu tidak ikut)? Itu ajakan terakhirnya kepada saya,” ujar Sunardi, sahabat dan rekan sekantor Sumarwan. 

Kedua karib itu terbiasa mendaki Lawu bersama. Namun, tahun ini Sunardi memutuskan absen pergi ke puncak karena mengkhawatirkan kakinya yang sedang menderita asam urat.

“Katanya ia mau mengajak anak-anaknya, lalu saya menemaninya membeli tenda sehari sebelumnya,” kata Sunardi.

Sabtu sore, Sumarwan mengirimkan pesan singkat melalui telepon seluler bahwa ia akan naik dari Cemoro Kandang (Karanganyar), setelah tahu Cemoro Sewu (Magetan) ditutup karena ada kebakaran hutan. Kedua posko pendakian itu terletak di dua provinsi, namun lokasinya hanya berjarak setengah kilometer.

Sumarwan, warga Desa Beran, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, naik ke Lawu bersama kedua anaknya, Nanang Setya Utama dan Novi Dwi Istiwanti; kedua keponakannya, Eko Nurhadi dan Rita Septi Nurika serta calon suaminya Awang Feri Pradika. 

Dalam rombongan itu, hanya Sumarwan dan Nanang yang pernah mendaki gunung.

“Pak Sumarwan meninggalkan KTP dan motornya di Posko Cemoro Kandang hari Sabtu, lalu naik ke puncak sore hari,” kata Budi Babhie, anggota relawan search-and-rescue (SAR) Anak Gunung Lawu.

Beberapa petugas SAR di Posko Cemoro Kandang sebenarnya sudah mengingatkan rombongan Sumarwan demi keselamatan pendakian dan melarang mereka turun lewat Cemoro Sewu karena sedang terjadi kebakaran hutan di beberapa titik.

“Kalau saja mereka mengikuti peringatan dari kami, kecelakaan ini tak perlu terjadi,” ujar Budi.

Tidak ada yang tahu persis mengapa rombongan Sumarwan akhirnya mengabaikan peringatan dan memutuskan turun melalui jalur Cemoro Sewu yang berakhir dengan tragedi. Mereka bersama pendaki lainnya terjebak dalam kobaran api yang melahap hutan dan semak di jalur antara pos 3 dan 4 Minggu siang.

Sebelumnya, tim gabungan Perhutani, SAR, dan tentara yang berada di atas untuk memadamkan api bertemu seorang pendaki dari Semarang, Maisur Salim, yang mengaku menolong seorang pendaki lainnya yang terjebak kebakaran, Dita Kurniawan, asal Magetan.

Dita kemudian menceritakan dirinya selamat karena bersembunyi di ceruk batuan tebing saat api menyambar semak kering, sedangkan dua orang temannya lainnya melompat ke jurang. Mereka selamat tetapi mengalami luka.

“Saya mendengar suara orang berteriak meminta tolong, tetapi saya tidak bisa melakukan apa-apa karena terkepung api yang semakin membesar,” katanya.

Ia juga mengaku menyaksikan ada beberapa pendaki lain yang terpanggang dalam api yang berkobar sangat cepat tertiup angin.

Budi yang waktu itu berada di Cemoro Sewu menuturkan sekitar pukul 14.30, ia melihat seseorang berjalan tergopoh-gopoh turun meminta tolong, yang kemudian diketahui identitasnya bernama Eko Nurhadi, keponakan Sumarwan.

“Ia mengalami luka bakar di badan, tetapi kakinya masih kuat berjalan turun mencari bantuan. Ia sempat bercerita ada satu anak perempuan yang kritis dan lemas di atas bersama yang lainnya,” lanjutnya.

“Saya memapahnya lalu memanggil bantuan kawan-kawan.”

Namun, saat tim gabungan penyelamat naik ke atas, hanya dua orang yang ditemukan masih hidup, yaitu Novi dan Nanang, sedangkan tiga lainnya sudah tidak bernyawa. Novi yang pertama kali dievakuasi pada malam hari dan segera dilarikan ke RSUD Magetan sebelum tengah malam dipindahkan ke RSUD Dr Moewardi Solo. Sementara, Nanang meninggal saat perjalanan ke rumah sakit.

MASIH DIRAWAT. Novi Dwi Istiwanti salah seorang yang ditemukan kritis di tengah kebakaran hutan di Gunung Lawu masih menjalani perawatan. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Sumarwan ditemukan terduduk kaku dengan kepala menunduk dan lengan seperti sedang memeluk dan melindungi kedua anaknya. Diduga kuat, mereka tewas akibat keracunan menghirup asap yang membuatnya lemas dan pingsan sebelum akhirnya  terbakar api.

Namun, yang mengetahui secara pasti rekonstruksi kejadian hanya Novi yang kini masih diisolasi dalam perawatan intensif di ruang ICU. Sedangkan tiga orang pendaki dari rombongan lain (Jakarta)  juga ditemukan sudah meninggal tak jauh dari lokasi keluarga Sumarwan.

Di lokasi kebakaran, tim relawan Anak Gunung Lawu menemukan beberapa peralatan yang diduga milik para pendaki yang menjadi korban, seperti telepon seluler, tongkat narsis, potongan kain jaket, celana, dan tas, yang semuanya dalam kondisi rusak terbakar.

Berdasarkan cerita Sunardi, Sumarwan dikenal sebagai seorang bapak yang sangat sayang pada anak. Ia rela mengikuti keinginan anak perempuannya untuk naik gunung Lawu.

“Pak Sumarwan sebenarnya tidak berminat naik, sudah bosan ke Lawu saat bulan Suro. Lagipula ia mengaku sedang tak ada uang. Kalau rombongan seperti itu tak cukup Rp 500.000, sekali naik,” kata Sunardi.

“Tetapi, Novi yang paling bersikeras karena belum pernah naik gunung. Bapaknya mengalah dan menuruti keinginan anaknya,” lanjutnya.

Sang ibu, Sumiyatun, sebenarnya sudah melarang mereka mendaki Lawu, sampai ia bersitegang dengan anaknya sendiri beberapa hari menjelang keberangkatannya. Entah itu merupakan sebuah firasat atau tidak, yang jelas Sumiyatun tidak setuju dengan rencana pendakian satu keluarga itu.

 “Mbak Atun sudah melarang keras mereka, tetapi Novi malah mendebatnya sampai ibu-anak bertengkar hebat karena beda pendapat. Ibunya tetap tidak mengizinkan, meskipun bapaknya mau mengantarkan,” ujar salah satu kerabat dekat keluarga, Hariyani.

Saat mendapat kabar bahwa rombongan keluarga mengalami kecelakaan terbakar di hutan Cemoro Sewu, Sumiyatun panik dan segera mencari keberadaan Novi di RSUD Magetan. Ia menemunkan Novi dan menyertainya saat dipindah ke RSUD Dr Moewardi.

Ia bahkan belum mengetahui kabar suami, anak laki-laki, dan keponakannya karena saat mobil ambulans datang satu per satu ke RSUD Magetan, ia sudah berada di Solo.

Senin siang, ia pulang ke Ngawi untuk mengambil baju ganti sekaligus mencari tahu kabar anggota keluarga yang lain. Sumiyatun gagap teknologi dan tak pernah membawa telepon seluler ke mana-mana sehingga tidak bisa menghubungi siapa pun untuk menanyakan kabar.

“Sampai di rumah, ia kaget kok ada yang pasang kajang (tenda hajatan). Ia pingsan saat dikasih tahu suami, anaknya, dan keponakannya meninggal di rumah sakit,” ujar Haryani.

Sumiyatun hingga kini masih mengungsikan diri di desanya, Karangjati, tempat suami dan anak laki-lakinya dimakamkan. Ia menitipkan rumahnya kepada kerabat dan tetangga-tetangganya untuk menggelar tahlilan setiap malamnya. — Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!