Adilkah kita pada kaum LGBT di Aceh?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Adilkah kita pada kaum LGBT di Aceh?

EPA

Kaum LGBT dicambuk jika terbukti melakukan hubungan sesama jenis. Penulis mengatakan, semoga penegakkan syariah Islam di Aceh tidak dengan mata tertutup sebelah

 

Sudah dua berita tentang kaum lesbian dan gay di Aceh yang saya tulis dalam sebulan ini.

Pertama, Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) Kota Banda Aceh menangkap dua wanita yang diduga pasangan lesbian. Keduanya ditangkap saat sedang duduk berangkulan dan berpelukan pada 28 September lalu sekitar pukul 23:00 WIB.

“Karena duduk berangkulan dan berpelukan, petugas langsung memeriksa dan kita menduga mereka ini pasangan lesbi,” kata Kepala Seksi Penegakan Peraturan Undang-undang dan Syariat Islam, Polisi Syariat Kota Banda Aceh, Evendi A Latif

Yang kedua, terduga pasangan gay yang tertangkap basah saat berhubungan seksual diberitakan menjalani hukuman cambuk sebanyak 100 kali pada Jumat, 23 Oktober.

Bukan berita tentang penangkapannya yang saya soroti, tapi berita tentang betapa jelinya petugas polisi syariah mendapati teman-teman kita di komunitas LGBT ini tengah bermesraan. Pertama saat mereka berangkulan, kedua saat mereka berhubungan seks. 

Saya tidak tahu bagaimana kepala polisi syariah bisa mengendus aktivitas mereka. Apakah mereka sudah membuntuti terduga gay dan lesbian ini sejak lama, atau ini laporan masyarakat. 

OK, berarti ada dua skenario: 

Pertama, jika ini adalah hasil “investigasi” polisi syariah, luar biasa kerja mereka, ya. Sampai masuk ke hal-hal privat seperti tempat tidur (Negara hadir di tempat tidur, ckckck).

Kedua, kalau ini adalah laporan masyarakat, maka ini cukup memprihatinkan. Karena entah bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang keduanya sedang bermesraan, dan akhirnya polisi syariah mendapati mereka di momen “bahagia” bagi dua pasangan itu. 

Keberatan saya yang pertama adalah, polisi syariah yang terlalu rajin mengintip kaum gay. Bahkan terkesan berlebihan. 

Saya pikir Qanun ini berlaku pasif, artinya jika pelanggaran ditemukan by coincidence. Ternyata hukum Qanun untuk kaum LBGT bersifat masif, mereka blusukan untuk menyisir pintu-pintu kamar terduga gay atau lesbian, bahkan salon-salon yang menjadi tempat kerja mereka. Tempat di mana mereka mencari uang untuk menafkahi hidupnya. 

Mereka diperlakukan layaknya kriminal atau pengedar narkoba.  

Bukannya ini membuat ketidaknyamanan?

Dasar hukum 

Akhirnya saya tergelitik untuk mencari-cari tentang bagaimana polisi syariah ini bekerja dan apa dasar hukumnya. 

Menurut berita yang saya baca di acehnews.net mulai Jumat, 23 Oktober, Qanun Jinayat atau pidana Islam No. 6 tahun 2014, maka pelaku zina diberlakukan. Yang melanggar akan menerima hukuman 100 kali cambuk.

Lengkapnya di draf Qanun No. 6 tahun 2014 pasal 1 angka 28, mendefinisikan gay atau Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya ke dalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak. 

Dan di pasal pasal 63, disebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Liwath diancam dengan “Uqubat Ta’zir” paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan. 

Kemudian di pasal pasal 1 angka 29, lesbian atau Musahaqah didefinisikan sebagai perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak.

Hukumannya pun sama. 

(Hmmm, pun cara melakukan hubungan seks kaum gay dan lesbian mereka terjemahkan dengan letter leg, bagaimana kalau mereka memakai sex toys, Pak Polisi?) 

Namun perlu Anda ketahui bahwa dari disertasi yang saya baca berjudul “Perzinaan dalam undang-undang bertulis di Indonesia dan Malaysia menurut hukum Islam: Kajian perbandingan di Indonesia dan Malaysia” oleh Neng Djubaedan dari Universitas Kebangsaan Malaysia (2013), menunjukkan bahwa sebenarnya dasar hukum untuk kaum LGBT di Qanun ini lemah karena tidak sinergi dengan KUHP. 

“KUHP dan RUU-KUHP hanya melarang persetubuhan sejenis kelamin antara orang dewasa dengan orang belum dewasa (Pasal 292 KUHP) atau orang belum berumur 18 tahun (Pasal 492 RUU-KUHP). 

“Pasal 292 KUHP hukuman bagi pelaku persetubuhan sejenis kelamin dengan orang belum dewasa, yaitu dikenakan penjara paling lama 5 tahun. 

“Pasal 492 RUU-KUHP hanya melarang persetubuhan sejenis kelamin dengan orang belum mencapai umur 18 tahun, dikenakan hukuman penjara paling singkat setahun atau paling lama 7 tahun.” 

KUHP dan RUU KUHP tidak menentukan hukuman bagi orang dewasa yang berhubungan sejenis. KUHP dan RUU-KUHP tidak melarang biseksual dan transeksual/transgender.

Iseng saya ngobrol dengan dosen saya Dede Oetomo yang merupakan ketua Gaya Nusantara, organisasi nirlaba untuk kaum LGBT. 

Ternyata memang dalam KUHP tidak ada larangan untuk dua laki-laki dewasa berhubungan sejenis. Tapi yang diprotes adalah, bagaimana kalau laki-laki dewasa dan tidak cukup umur berhubungan atau dua-duanya tidak cukup umur.

Nah, keberatan saya yang kedua, kenapa pemerintah memberikan keistimewaan pada Aceh membuat undang-undang yang tidak sinergi dengan KUHP bahkan bertentangan dengan Convention Against Torture milik Perserikatan Bangsa-Bangsa? (Bagaimana ini bisa terjadi? hmmm).

Ingin versi yang berbeda 

Setelah itu saya melirik tulisan-tulisan tentang pemberitaan ini. Saya akui saya berada di Jakarta dan tidak di Aceh, jadi sulit bagi saya untuk menjangkau narasumber.

Tapi dengan segala keterbatasan saya justru merasa haus untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana gambaran menjadi seorang gay atau lesbian di Aceh. 

Sekali saya pernah mendengar cerita dari seorang pria bernama Hartoyo dan membaca kisahnya di laman DW Indonesia. Dalam artikel berjudul Gay Disiksa di Aceh itu, Hartoyo menuturkan kisahnya ketika dia dan partnernya disergap di kamar. 

Model berita dari perspektif korban ini jarang saya temui. Saya pun ingin berjumpa dengan mereka yang baru saja dicambuk dan mewawancarainya. Saya ingin sekali. Tapi saya tak bisa melakukannya dalam waktu dekat tentu saja. 

Hanya saja saya miris melihat pemberitaan di beberapa media yang mem-blow up berita kaum LGBT dengan langkah masif pemerintah Aceh “memberangus” mereka. Misal berita tentang polisi syariah Aceh menertibkan salon “mesum” yang ditujukan pada kaum gay. 

Pemberitaan seperti ini jelas terkesan wangi untuk menyanjung pemerintah Aceh, dan terkesan tidak adil bagi kaum LGBT. Seharusnya pemberitaan di Aceh lebih adil dengan mewawancarai korban untuk mendapatkan sisi lain dari pemberitaan mereka. Porsinya harus seimbang. 

Nah, itu keberatan saya yang ketiga. 

Semoga kita tidak menegakkan syariah Islam dengan menutup mata kita sebelah, atau terlalu semangat menegakkan sesuatu tanpa memikirkan bahwa syariah harus tetap memegang prinsip fairness. Bukan membabi buta atas nama kebenaran dalam kacamata kaum mayoritas. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!