Kebakaran hutan tinggal 600 meter dari daerah konservasi orang utan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kebakaran hutan tinggal 600 meter dari daerah konservasi orang utan
Jika jaraknya sudah 300 meter, orang utan harus dievakuasi. Tapi evakuasi ke mana?


PALANGKARAYA, Indonesia—Tiga hari lalu, udara di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah diliputi asap tebal. “Tiga-empat hari lalu, cuaca gelap gulita, bahkan langitnya berwarna kuning. Pengap,” kata Monterado Fritman, 44 tahun, seorang penjaga orang utan pada Rappler, 27 Oktober 2015.

Jika sore hari tiba, asap pekat turun. Jarak pandangnya pun hanya 1-2 meter. Ratusan orang utan, terutama mereka yang masih berusia 1-4 tahun, menjerit-jerit. “Mereka stres, menangis, karena mata pedih dan hidung meler, batuk-batuk juga,” kata Monterado.

Petugas pun langsung menenangkan para orang utan tersebut. Mereka yang masih bayi langsung ditempatkan di ruangan khusus. “Ada 16 bayi orang utan yang kami istirahatkan dari berlatih di luar. Jadi mereka dirawat dan dan diasuh di dalam ruangan,” katanya. Setelah diperiksa, 6 dari 16 bayi tersebut positif menderita ISPA. Saat ini, bayi-bayi tersebut sedang menjalani terapi tim medis.

Untuk orangutan dewasa, sebagian besar dari mereka terlihat baik-baik saja. “Tapi tunggu nanti kalau sudah 3 bulan, biasanya ada gejala,” kata dia.

Bukan hanya orangutan yang menjadi perhatian tim konservasi, para pendampingnya pun terancam ISPA. “Mereka memakai masker seadanya, mereka juga sakit,” katanya.

Siap-siap untuk evakuasi

KABUT. Kabut asap menyelimuti kawasan konservasi. Foto: Konservasi Nyaru Menteng

Sementara itu, meski hujan sudah dua hari ini turun di Palangkaraya, Monterado mengaku tak tenang. Ia memikirkan skenario lain untuk keluarga orang utan di Nyaru Menteng.

“Kami sempat mewacanakan, seluruh orang utan ini akan kami evakuasi. Tapi kami tidak tahu evakuasi ke mana,” katanya.

Dalam kondisi apa keputusan evakuasi itu diambil? “Jika zonanya sudah merah,” katanya. Zona merah berarti kebakaran hutan sudah mengancam daerah konservasi dari jarak 300 meter.

“Kalau sudah merah, tim damkar mundur, kami mundur, urusannya susah evakuasi orang utan,” katanya. Kemarin, kata Monterado, kebakaran masih tergolong zona kuning, karena jaraknya masih 600 meter dari kawasan konservasi.

Tapi apakah tim sudah siap evakuasi? “Kami baru mewacanakan.”

Belum lagi memikirkan kendaraan untuk mengangkut para orang utan. Konservasi punya mobil angkutan, tapi jumlahnya terbatas. Tim juga harus memikirkan proses evakuasi yang butuh waktu karena harus membius satu persatu orang utan tersebut.

Lalu ke mana mereka akan dievakuasi? “Belum tahu. Tapi kalau kami sih, kami kembalikan saja orang utan ini ke pemerintah. Kita antar ke kantor gubernur, kita lepas. Atau kita kembalikan ke kebun sawit, tempat mereka kita ambil dulu,” katanya.

Tim mengaku sedang buntu saat ini. “Karena pemerintah tidak ada kontribusi membantu, mereka lamban,” katanya. Monterado kemudian berharap, ada perhatian lebih dari pemerintah untuk komunitas orang utan yang merupakan aset negara ini.

“Kami menginginkan perhatian lebih dari pemerintah, mengingat orang utan ini statusnya milik negara bukan milik kami. Kami hanya membantu,” katanya.

“Yang paling penting saat ini penegakan hukumnya (untuk lahan gambut). Jangan tinggal diam. Pemerintah harus cepat tanggap!” katanya.

Lahan sawit tetangga terbakar

Dari mana datangnya asap dan kebakaran hutan itu? Monterado menunjuk sebuah lokasi. Tepatnya di daerah Tangkiling. Menurut Monterado, lokasi kebakaran lahan gambut seluas 25 hektar tersebut hanya berjarak 600-800 meter dari sekolah hutan. Bisa ditempuh dengan 10 menit bermobil dari kawasan konservasi. “Lokasi itu yang pertama kali kami ketahui terbakar pada 4 Oktober,” katanya.

PENJAGA ORANG UTAN. Manterado, sang penjaga orang utan. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Konservasi pun mengerahkan tim pemadam kebakaran untuk menjinakkan api yang cepat merembet ke arah sekolah hutan tersebut. Api itu sempat padam pada pagi harinya. Tapi pada 5 Oktober di sore hari, api kembali membara.

Monteradi berang, karena ia curiga lahan itu dibakar lagi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Tapi itu bukan puncak kebakaran. Api terbesar terjadi pada 8 Oktober lalu. Tim di konservasi panik, mereka segera menghubungi petugas pemadaman kebakaran di seluruh kota Palangkaraya. Termasuk tim dari Badan Nasional Penanggulanan Bencana daerah dan pusat.

Tentara Nasional Indonesia dan Polisi ikut turun ke lapangan. Tujuan mereka cuma satu, memadamkan api, sehingga 470 orang utan selamat dari jilatan api yang semakin mengganas di area lahan gambut itu.

“Semalaman penuh kami memadamkan api,” katanya.

Saat tim sudah berhasil memadamkan, belakangan lahan itu ditanami sawit baru. Tunas-tunas sawit baru itu bukan berita bahagia untuk Monterado.

“Waktu ada deputi BNPB minta didampingi di lokasi (Tangkiling), kami kaget luar biasa, ternyata di situ sudah ada tumbuhan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hanya selang seminggu,” kata dia.
.SAWIT. Pohon sawit ditanam di lahan yang baru padam. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

“Nah itulah yang menguatkan kami bahwa indikasinya bukan terbakar, tapi dibakar,” katanya.

Karena itu ia berani mengajukan diri untuk diperiksa kepolisian sebagai saksi. “Saya selaku humas sudah dipanggil kepolisian Palangkaraya kemarin untuk memberikan keterangan, dan saya memberikan keterangan dengan bukti-bukti,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!