Apakah perempuan masturbasi?

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah perempuan masturbasi?
Masturbasi pada perempuan tidak ada bedanya dengan seks pada perempuan. Selalu rumit dan membutuhkan usaha.


Kalau kata Woody Allen, masturbasi itu
sex with someone you love”. Meski tidak bisa diverifikasi apakah Woody Allen benar-benar mengatakan itu, sebagai perempuan saya setuju. Siapa yang lebih mengetahui diri kita selain kita sendiri? (Kalau kita mau menuruti kata Om Ebiet G. Ade untuk “telanjang dan benar-benar bersih”, lho ya.) 

Sebelum saya lupa, sepertinya dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang terdengar enak untuk masturbasi. Bahkan masturbasilah yang terdengar paling netral. Lainnya: onani (mengesankan dosa karena diambil dari Alkitab, lagipula sangat maskulin). Merancap; berima dengan menancap. Lagi-lagi sangat maskulin. Atau yang paling populer: coli (kata yang membuat saya memvisualisasikannya sebagai anak remaja cowok 15 tahun mulai puber suara pecah, bulu tumbuh, bau badan). Semua sangat maskulin. Berbeda dengan bahasa Inggris: touching yourself, playing with yourself, dancing with yourself, spank the monkey, flute solo, bahkan manual override (teknis sekali yang satu ini hahaha).

Namun sayang sekali, kebanyakan perempuan, bahkan di lingkungan pertemanan saya, tak pernah terbuka soal masturbasi. Berbeda dengan laki-laki yang sepertinya bisa blak-blakan dan santai saja, bahkan bisa bilang “Njing, lihat (masukkan nama perempuan kekinian) bikin pengen coli”.

Semacam ada kebijakan “don’t ask don’t tell” di kalangan perempuan. Kalau saya tidak bertanya, teman perempuan saya tidak menjawab. Itupun menjawab dengan tatapan membelalak, tersenyum simpul, tersipu, bahkan “apaan sih?”. Ada yang dengan santainya bercerita, namun lebih banyak perempuan yang: tidak tahu harus diapakan organ di bawah sana itu (“geli aja rasanya, aneh ah pegang-pegang” atau “ngga enak ah, ngga puas sama sekali”), ada yang belum pernah masturbasi (coba deh, atas nama #cukuptauaja), dan banyak yang menganggap masturbasi itu sesuatu yang salah untuk dilakukan.

Ada yang merasa bersalah atas nama dosa, ada yang bersalah karena merasa terlalu sering melakukannya (seberapa “sering” kah “sering”, kalau beberapa hari sekali wajar lah), ada yang bersalah karena menikmati masturbasi. 

Kenapa salah? Kan tidak ada yang dikhianati toh?

Barangkali karena itu juga topik masturbasi pada perempuan menjadi sesuatu yang rahasia. Banyak film porno sekian menit yang menggambarkan perempuan bermasturbasi. Percayalah, sama sekali tidak seperti itu kalau perempuan bermasturbasi. Setidaknya, saya tidak seperti itu. Sebagai makhluk yang terintegrasi antara yang biologis dengan yang psikologis, perempuan (baca: saya) butuh kenyamanan untuk bermasturbasi.

Kamar mandi ngga enak: karena sambil berdiri dan gerah, meski bisa sekalian keramas. Toilet di fasilitas umum: itu cuma jadi fantasi saja, pipis saja nggak sanggup melihat toilet umum di negeri ini (walaupun toilet mall papan atas sepertinya boleh dicoba hahaha). Kamar tidur jadi pilihan utama. Dan seterbuka-terbukanya saya membahas seks, masih tetap ada hambatan mental untuk beberapa hal. Salah satunya: telanjang saat masturbasi dan masturbasi dengan lampu menyala.

Barangkali ada ketakutan “kegep” zaman remaja yang tertanam dalam atau mekanisme rasa bersalah di alam bawah sadar yang otomatis aktif begitu saya merasa agak “senggang” dan “bosan” dan “hampa”, lalu tangan mulai menjulur ke bawah tanpa bahkan ganti baju sehabis pulang kantor. 

Bersalah karena membuang waktu untuk hal yang tidak bermanfaat (saran: jangan masturbasi kalau lagi depresi, mood akan semakin tenggelam. Puas engga, ngenes iya. Diikuti nangis kejer). Bersalah karena baru sadar di sebelah bantal ada mukena. Bersalah karena malah bisa lebih puas saat masturbasi dibanding seks dengan laki-laki (klitoris letaknya bukan di situ keleus). Pikiran tak tenang memikirkan deadline dan pendingan pekerjaan, tagihan kartu kredit, fisik letih (ketiduran dengan tangan masih di bawah sana terjadi), kekecewaan, kemarahan, kegagalan yang lalu, dan segala macam.

Tuh kan, masturbasi pada perempuan tidak ada bedanya dengan seks pada perempuan. Selalu rumit dan membutuhkan usaha. 

Namun bagaimanapun, saya sangat menyarankan perempuan untuk bermasturbasi. Karena penting untuk mengenali tubuhmu sebelum orang lain mengenalinya dengan lebih baik (atau memanfaatkannya? Siapa tahu). Penting untuk nyaman dengan diri sendiri, being comfortable in your own skin. Penting untuk mengenali apa yang membuat kita puas (karena mustahil untuk selalu memuaskan orang lain, kenapa tidak belajar selalu memuaskan diri sendiri saja). Penting untuk mengakui dorongan seks itu ada dan bisa disalurkan dengan sehat. 

Lagipula ngga ada kawasan Mangga Besar, Kota, atau Pangjay yang bisa didatangi sewaktu-waktu, untuk perempuan sih, setahu saya. Alat pemuas wanita (mulai dari wanita lain, pria lain, hingga dildo atau vibrator) sifatnya ya sama seperti klitoris: tersembunyi. Beda dengan Alexis yang berdiri tegak bak phallus itu.

Bermasturbasilah dengan sehat, tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah. Dan berbagi ceritalah kalau kebetulan menemukan online shop yang menjual vibrator dan bisa cash on delivery. 

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!