Kenapa laki-laki suka jajan?

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa laki-laki suka jajan?
“Jajan” zaman dulu tentu berbeda dari “jajan” zaman sekarang. Sekarang, birahi ada di ujung jemari



Habisnya saya tidak menemukan kata lebih halus sih, selain “jajan”.

Kalau kemarin mungkin ada beberapa orang yang menanyakan pada pasangan perempuannya, “Dek, kamu suka main sendiri ngga?”, sekarang giliran yang laki-laki ditanya, “Kamu pernah jajan?”.

Jajan zaman dulu tentu beda dari jajan zaman sekarang.

Kalau dulu ada lokalisasi (saran saya, Dolly, Saritem, Pasar Kembang, Sunan Kuning, lokalisasi itu sebaiknya jangan dibubarin. Biar ibu-ibu gampang cari suaminya di sana), sekarang lokalisasinya pindah ke ranah digital. Ironisnya, tidak ada lokasi khusus di ranah digital. Yang membuat ibu-ibu dan pacar-pacar penunggu rumah makin kesulitan cari pasangannya.

Kalau tidak ingin ketahuan sebagai pelanggan tetap Alexis atau Malio (ya siapa tahu jadi target KPK), sekarang ada Internet. Mulai dari Jakarta Backpage, jejaring tersembunyi di Facebook, hingga Twitter. Bikin saja akun lain, dengan persona lain, gaya bahasa lain. Jadi kan.

Karenanya alam bawah sadar saya menilai lelaki dari: 1. Alamat dan jumlah email (kadar kepercayaan berkurang drastis kalau punya lebih dari 2 alamat email dan nama emailnya semacam kapitalis_munafik atau kombinasi nama sendiri dan nama pemain bola) dan 2. Berapa hape yang dia miliki.

Entah mengapa saya bawaan nggak enak aja melihat laki-laki punya HP lebih dari satu. Alasannya “yang satu buat kantor, satu buat keluarga”. Yah, “om” dan “ponakan” juga keluarga dong ya. Dua saja curiga, apalagi sampai punya tiga. Lalu ada yang ditinggal di kantor pula.

Saya tahu pertama kali soal Jakarta Backpage dari seorang teman. Waktu itu sih aksesnya belum diblokir Kominfo. Sekarang jadi Blockpage, bukan Backpage. Singkatnya Jakarta Backpage ini semacam Craigslist-nya Jakarta. Mau cari apartemen, hotel, sampai teman tidur ada. Teman saya melarang saya untuk mengeksplor lebih lanjut laman itu, dengan alasan “Berbahaya”. Barangkali karena dia pengguna aktif jadi tahu risikonya. Saat ketika saya tahu Jakarta Backpage hanya berselang beberapa hari dari saat Jakarta dihebohkan kasus pembunuhan Tata Chubby. Dari situ saya jadi tahu soal “akun alter”. Lalu saya beranikan membuka akun Twitter Tata Chubby, dan menemukan nama orang yang saya kenal sebagai follower-nya.

Intermezzo:
Sarah Ardhelia ngga ada apa-apanya deh. Apalagi Chika Bandung (buat Millennials, nama ini legendaris banget. Beredar dari warnet ke warnet, PC ke PC).

Teman laki-laki saya (yang lain lagi, dan sekarang saya mulai memertanyakan pilihan pertemanan saya hahaha) tidak terlalu terkejut ketika saya cerita. “Ah kamu kemana aja. Cari saja pakai hashtag bispak. Atau bisyar. Dari dulu ada kali,” kata dia. 

Satu klik berujung pada klik yang lain dan lama-lama saya tenggelam dalam “investigasi” saya, sampai jam 3 pagi. Perpaduan rasa ngeri sekaligus ingin tahu lebih lanjut. Saya yakin dari 74 ribu lebih follower Mbak Mawar Jakarta itu, bila saya cukup tekun dan tahan melihat dick pics saya bisa menemukan orang yang saya kenal.

Lepas dari segala pro-kontranya, legal maupun moral, akun-akun itu tidak digembok. Benar-benar tanpa rasa takut. Wong saya dikirimin pesan kebencian saja seketika akun saya gembok. Lha ini pose-pose nungging muka dipasang jelas, eh nggak digembok.

Para akun alter itu menerapkan aturan yang sangat ketat dan harga yang lebih detil daripada online shop di Instagram. Tak segan mempublikasikan orang-orang melanggar aturan mereka, foto maupun nomor telepon. Pelanggannya dari berbagai kalangan. Ada pegawai, ada mahasiswa, ada yang Pak Haji (foto bareng Bu Haji pakai baju ihram, you know what I’m saying). Ada pula istilah-istilah, lingo, seperti BO (Bisa Order), RO (Repeat Order), Avail, FFM (Female-Female-Male), ada pula yang spesifik melayani bermacam fetish, penggemar perempuan montok, penggemar perempuan berdada kecil, dan masih banyak lagi.

Sebagai perempuan, saya rasanya tersobek-sobek. Otak laki-laki saya ngeri-ngeri sedap mengikuti linimasa akun-akun alter itu. Mudah saja, tinggal Whatsapp. Transfer bila ada uang. Hati perempuan saya gemas. “1,5 juta 2 jam? Anjaaay… Berapa jam begadang dan berapa tulisan yang harus gue submit untuk dapat duit segitu?”. Lagian mana ada yang tahan 2 jam sih, paling bagus 5 menit.

Gemas, wong mbaknya ini terlihat mbak-mbak biasa (kalau mau artis, ya bayarnya memang beda sih). Tipe mbak yang akan membuat perempuan berteriak putus asa ke pasangannya, “Kenapaaah..??!! Aku kurang apaaah…??!!” gitu. Tipe BMW (Bodi Mengalahkan Wajah) pokoknya. Sebagai perempuan penulis, saya kagum, penasaran, takjub, bahwa ada dunia alternatif di luar sana, lengkap dengan segala bahasa dan kode, dunia yang bahkan tidak ada upaya apapun untuk menutupi adanya, semacam tersembunyi di depan mata, cuma harus tahu kata kunci apa yang harus saya ketik. Semacam “Open Sesame!”.

Karena tidak sebombastis atau seeksklusif klub orgy atau swinger, akun alter lebih mudah diakses siapa saja. Barang 2 jam sepulang kantor, tinggal menuju bilangan Setiabudi dan sekitarnya. Barangkali itu daya tariknya. Birahi di ujung jemari.

Yang membuat saya berpikir, susah sekali ya jadi perempuan zaman sekarang. Foto di hape pasangan dihapusin, bokep di laptop dan hape dihapusin, nomor diblok, BBM di-delcon, akun sosmed diblok, eh punya hape lain diumpetin di kantor. Eh, punya alamat email lain. Eh, ada tak terhingga akun alter di luar sana. Mau diadukan sebagai kasus pidana (kan butuh delik aduan), eh membongkar aib pasangan dan jadi terbawa. Nggak ada pula undang-undangnya. Lalu mau apa, me-DM si akun alter marah-marah? Memangkas semua jalur komunikasi pasangan?

Laki-laki dan penisnya itu semacam gurita. Satu jalur ditutup, 7 tentakel sisanya menjulur-julur mencari jalan keluar (untung “tentakel pria” cuma 1, nggak 8 kaya gurita). Semakin dilarang semakin pintar. Pola relasi zaman sekarang pun jadi semacam duel otak. Adu pintar. Stalking silahkan saja, tapi kudu tepat sasaran. Melelahkan bukan, semua perkara selangkangan ini.

Lalu out of curiosity saya menanyakan pertanyaan klasik itu pada kawan-kawan laki-laki saya di sebuah grup. “Kenapa?”. Saya sedikit berharap jawabannya agak intelek, semisal “karena transaksional, based on consent, dan tanpa emosi”. Sesuatu yang bagaimanapun tetap di luar koridor pikir perempuan.

Jawaban mereka singkat: “Because we can”.

Oh iya, saya berencana menulis tentang adiksi. Tertarik? —Rappler.com

Anindya Pithaloka
adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!