Penyebab 90 persen masyarakat Indonesia tak suka membaca

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penyebab 90 persen masyarakat Indonesia tak suka membaca
Penulis, dosen, dan aktivis bicara soal alasan-alasan yang membuat pembaca di Indonesia tak menikmati buku

 

JAKARTA, Indonesia—Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi, tetapi tidak suka membaca buku. 

Dibandingkan dengan negara maju, minat membaca penduduk Indonesia rendah. Di negara maju setiap penduduknya membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahun. Sebaliknya di Indonesia, penduduk hanya membaca paling banyak tiga judul buku dan itu pun masyarakat usia 0-10 tahun.

Padahal kata Kepala Kantor Perpustakaan Nasional RI Sri Sularsih dalam acara Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menjadi negara yang maju, kunci utamanya adalah kualitas sumber daya manusia yang gemar membaca. 

Redaksi kami terkejut dengan temuan ini. Sebab kami sebelumnya saling bertanya buku apa yang terakhir kami baca. Reporter Sakinah Ummu Haniy terakhir membaca buku Critical Eleven oleh Ika Natasha, Social Media Producer Famega Syafira Putri terakhir membaca buku Istanbul oleh Orhan Pamuk, dan redaktur Qowi Bastian membaca Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Penulis sendiri terakhir membaca Colorless Tsukuru oleh Haruki Murakami dan Novel David Nicholls berjudul One Day. 

Lalu apa penyebab rendahnya minat baca di Indonesia? Penulis, dosen, dan aktivis bicara soal alasan-alasan yang membuat pembaca di Indonesia tak menikmati buku. 

Okky Madasari, penulis 

OKKY MADASARI. Okky Madasari adalah penulis novel Entrok, 86, Maryam, hingga Pasung Jiwa. Foto oleh Facebook.

“Saya rasa ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Membaca buku belum menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besar orang Indonesia. Tapi saya rasa penyebabnya bukan sekadar karena orang Indonesia tak suka baca buku,” katanya pada Rappler. 

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak biasa membaca buku karena tidak memiliki akses mudah untuk mendapat buku. Perpustakaan umum jarang berdiri di berbagai daerah. “Bahkan perpustakaan hanya berupa gedungnya saja,” katanya. 

Belum lagi, isinya sangat tidak layak. Begitu juga perpustakaan sekolah. 

Sebagai orang yang lahir dan besar di Magetan, kota kecil di Jawa Timur, Okky tahu betul kondisi ini.

“Hingga sekarang pun kondisinya masih sama. Apalagi kalau saya pergi ke daerah di luar Jawa. Toko buku juga hanya ada di kota besar. Dan bicara toko buku tentu sangat terkait dengan kemampuan untuk membeli,” kata penulis buku Entrok dan Pasung Jiwa.  

Faktor lainnya, kata Okky, masyarakat tidak dididik untuk gemar membaca.

“Sistem pendidikan kita tidak membentuk orang untuk suka membaca buku, terutama bacaan seperti sastra. Kita hanya dibiasakan untuk menghafal dan mengikuti apa yang dikatakan guru,” katanya. 

Pada saat yang bersamaan, televisi masuk ke setiap rumah, merebut perhatian setiap orang, tanpa kontrol dan filter. Buku pun semakin tidak menarik dan kewalahan untuk berebut perhatian dengan gemilaunya hiburan layar kaca.

Sarasdewi, dosen

SARASDEWI. Sarasdewi adalah dosen Filsafat di Universitas Indonesia.

Menurut Dosen Filsafat Universitas Indonesia Saraswati Putri alias Sarasdewi, rendahnya minat membaca di Indonesia karena beberapa hal. 

“Budaya baca itu menyangkut banyak hal, dari kurikulum, kualitas buku bacaan, berarti juga menyentuh banyaknya penulis juga kualitas karyanya, sampai ke soal-soal kesulitan akses buku dan pendidikan, mana masih banyak yang buta aksara di berbagai daerah,” katanya. 

Masalah rendahnya budaya baca di Indonesia saling bertaut satu dengan yang lainnya. “Tapi jika diradikalisir, saya melihat sekolah sebagai institusi paling besar berperan dalam merangsang atau bahkan mematikan minat baca,” katanya. 

Sekolah seharusnya tempat untuk menanamkan minat baca, di luar keluarga. Sistem pendidikan nasional semestinya membudayakan pelajarnya berlama-lama di perpustakaan. “Jadi, basis pengetahuannya dari kekayaan wawasan dan argumentasi tidak sekadar menghafal saja,” katanya. 

Dari sisi keluarga, kebudayaan membaca dimulai sejak dini, diperkenalkan melalui kisah-kisah sastra anak, ataupun dongeng-dongeng hingga ke buku-buku mutakhir.

Tapi pergi ke perpustakaan, melakukan riset ataupun membaca buku, kegiatan-kegiatan ini membutuhkan waktu. Jadi meski, angka Ujian Nasional siswa dari suatu daerah tinggi, belum tentu berbanding lurus dengan budaya membaca. 

Karena ujian bersifat sangat mekanis dan membuat seolah-olah pelajar itu seperti produk yang harus cepat jadi. Sementara membaca itu hanya bisa ditumbuhkan jika ada kecintaan untuk membaca. 

“Seseorang perlu tahu betapa penting dan menyenangkan membaca itu, tidak membaca untuk menghafal yang kemudian lupa,” katanya. 

Aquino Hayunta, aktivis 

AQUINO HAYUNTA. Public Engagement at Indonesian Art Coalition Aquino Hayunta.

Public Engagement at Indonesian Art Coalition Aquino Hayunta mengatakan alasan utamanya adalah kurikulum yang lebih mengutamakan hafalan, bukan bacaan. Apalagi bacaan yang menarik. Lalu murid malah diminta untuk menceritakan ulang apa yang ia baca. 

Alasan berikutnya, kata Aquino adalah harga buku yang mahal. “Zaman kolonial dulu banyak yang suka baca Kho Pin Ho, banyak penyewaan buku, tapi tingkat buta huruf masih tinggi. Zaman sekarang, tingkat buta huruf membaik tapi harga dan akses ke buku yang susah,” katanya. 

“Bahkan kebanyakan dari kita baru dipaksa membaca itu ketika pasca sarjana,” katanya. 

Aquino mengatakan kini anak-anak lebih mengenal gadget sebelum buku. “Nah usia-usia segitu mulai tuh kehilangan minat baca,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!