Indonesia

Satu setengah tahun, dugaan pelecehan seksual oleh Raja Solo masih samar

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Satu setengah tahun, dugaan pelecehan seksual oleh Raja Solo masih samar
Remaja 17 tahun ini sudah memiliki anak berumur satu tahun, tapi polisi belum bisa tetapkan tersangka karena belum ada bukti kuat

SOLO, Indonesia – AT, remaja putri berusia 17 tahun itu, sudah kembali bersekolah. Setahun lalu, saat duduk di kelas sepuluh sebuah sekolah menengah kejuruan, ia mengalami tragedi yang nyaris membuatnya gila dan kehilangan asa.

Di usia yang masih anak-anak, ia terpaksa mengandung bayi hasil pelecehan seksual yang membuatnya malu dan berhenti sekolah. Ia pernah berniat mengakhiri hidupnya dengan menegak dua liter ciu – jenis minuman beralkohol hasil fermentasi tetes tebu yang diproduksi di daerah Bekonang, Sukoharjo.

November tahun lalu, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim AT tanpa seorang bapak. Perempuan belia yang terpaksa menjadi ibu itu menyebut ayah biologis sang bayi, yang kini sudah berusia satu tahun itu, adalah Hangabehi, Raja Keraton Surakarta yang bergelar Pakubuwono XIII.

Kasus ini sempat menarik perhatian banyak pihak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan berbagai organisasi dan lembaga perempuan dan anak nasional dan lokal. Bahkan, sempat muncul petisi di Change.org yang mendesak Polri mengusut tuntas kasus ini, bila perlu dengan tes DNA.

AT adalah korban perdagangan anak dan pemerkosaan. Kasusnya mulai dilaporkan ke Polsek Sukoharjo pada Juli 2014, sedangkan kejadiannya sekitar bulan Maret tahun yang sama.

Kronologi

Menurut pengakuan AT, tragedi berawal dari kebutuhan uang untuk membayar SPP sekolah yang sudah menumpuk tiga bulan. Ia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Ibunya meninggal, dan ayahnya hanya seorang tukang becak dan buruh serabutan.

Seorang teman menawarinya pekerjaan, dan ia menyanggupinya. Dua orang temannya, Wati dan YS, mengenalkannya kepada orang yang mereka panggil Sinuhun – sebutan untuk raja keturunan Dinasti Mataram.

AT kemudian dijemput sebuah mobil di sebuah lokasi di tengah kota Solo. Ia mengaku melihat sang raja di belakang kemudi, sendirian di dalam mobil. Setelah masuk ke mobil, AT diberi sebuah permen rasa mint.

Pikirannya yang masih polos terus membayangkan pekerjaan yang akan diberikan oleh laki-laki tua di sampingnya. Namun, tak lama kemudian, kepalanya terasa pusing, matanya berangsur kabur, dan kesadaran mulai menghilang.

KERATON SURAKARTA. Polisian tak bisa tetapkan pelaku sebagai tersangka karena belum temukan bukti kuat dari saksi selain pengakuan korban. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Petang hari, gadis itu tersadar dan kaget karena sudah berada di sebuah kamar hotel di Sukoharjo dalam keadaan telanjang. Sang raja sempat memotret tubuhnya yang tanpa busana, menurut penuturannya.

Ia diantarkan kembali ke kedua temannya. Sang raja memberikan uang Rp 2 juta, dan Wati memberikan Rp 700.000 untuk AT sebagai imbalan pekerjaannya. Beberapa bulan kemudian, sang gadis depresi karena mengetahui dirinya hamil.

Ia sering memukul-mukul perutnya yang buncit jika teringat kejadian itu, lalu menangis. Bahkan, saat menjawab pertanyaan polisi dan wartawan, air matanya selalu meleleh.

Asri Purwanti, seorang pengacara di Solo, mendampingi korban melaporkan kedua perantara dalam kasus perdagangan anak. Wati (36) menjadi tersangka dan tertangkap di Pasar Minggu, Jakarta, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo karena terbukti bersalah. Sedangkan YS masih dalam pencarian polisi.

Sementara, sang raja yang disebut sebagai “pembeli” hanya berstatus saksi dalam laporan ini. Polres Sukoharjo pernah memanggilnya untuk dimintai keterangan, namun yang datang saat itu hanya kuasa hukumnya dengan membawa surat keterangan sakit dari RSPAD Gatot Soebroto.

Kesulitan alat bukti

Desember 2014, ayah korban didampingi kuasa hukumnya membuat laporan baru di Polres Sukoharjo. Namun, kali ini mereka melaporkan Hangabehi dalam kasus perdagangan anak dan pelecehan seksual yang berbuntut kehamilan.

Melalui laporan ini, keluarga korban berharap polisi memiliki kewenangan untuk memaksa Pakubuwono XIII menjalani pemeriksaan. Karena, sebagai terlapor, ia tidak bisa mengelak dan menolak panggilan kepolisian.

“Kalau benar sakit, seharusnya ada putusan pengadilan yang menyatakan bersangkutan sakit permanen dan tidak bisa menjalani proses hukum.”

Sayangnya, beberapa kali disurati Polres Sukoharjo, Raja Solo itu tak pernah sekalipun memenuhi panggilan pemeriksaan. Alasannya selalu sama, sakit stroke yang dikukuhkan oleh surat dokter. Polisi pernah mendatangi Keraton Surakarta untuk memeriksanya, tetapi sang raja tidak bisa diinterogasi karena kesehatan yang tak memungkinkan.

“Setiap kami panggil, alasannya sakit, kita tidak bisa memaksa karena syarat pemeriksaan harus sehat jasmani dan rohani,” kata Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai beberapa waktu lalu.

Pihak kepolisian belum bisa menetapkan sang raja sebagai tersangka karena belum menemukan bukti yang kuat dari para saksi selain pengakuan korban. Salah satu yang membuat polisi kesulitan menetapkan tersangka adalah pengakuan korban tentang pemerkosaan yang dilakukan saat dirinya dalam kondisi kehilangan kesadaran.

Polisi juga sudah memeriksa CCTV hotel, namun pihak hotel hanya memiliki rekaman dua bulan terakhir, karena secara otomatis rekaman lama tertimpa dengan yang baru. Meskipun mengalami kesulitan alat bukti, polisi belum akan menutup kasus ini.

Tes DNA

Kuasa hukum korban, Iwan Pangka, telah meminta kepolisian untuk melakukan pembuktian secara genetik dengan mengambil sampel DNA bayi dan sang raja untuk dicocokkan. Namun, sampai sekarang Polres Sukoharjo belum bisa memaksakan tes tersebut karena sang raja masih berstatus terlapor.

“Dari awal kami meminta tes DNA, namun polisi mengalami kesulitan karena Hangabehi selalu beralasan sakit saat dipanggil untuk diperiksa,” kata Iwan kepada Rappler.

Sang raja memberikan uang Rp 2 juta, dan Wati memberikan Rp 700.000 untuk AT sebagai imbalan pekerjaannya.

Pengambilan sampel DNA akan lebih mudah dilakukan setelah pihak terlapor memenuhi panggilan pemeriksaan, dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan, dan kemudian ditetapkan menjadi tersangka.

Namun, kuasa hukum Hangabehi, Ferry Firman Nurwahyu, menolak tes DNA karena tidak ada hubungan hukum apapun antara si bayi dan kliennya. Sebaliknya, ia menyarankan agar polisi mencari bukti yang kuat, jika ada, untuk membuktikan dugaan keterlibatan kliennya.

Sementara itu, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS), aliansi beberapa lembaga advokasi hukum, dan individu yang melakukan pendampingan terhadap korban, sejak awal kasus menilai belum ada kemajuan penyelidikan yang berarti dalam kasus perdagangan anak, selain diadilinya perantara.

Karenanya, mereka akan terus mendorong proses yudisial yang kini masih ditangani kepolisian, di samping memberi hak-hak korban sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, termasuk melanjutkan pendidikan.

Koordinator JPPAS, yang juga Direktur Lembaga Pengabdian Hukum YAPHI, Haryati Panca Putri, mengatakan mandeknya proses hukum disebabkan “surat sakti” dari dokter yang terus diperpanjang setiap tiga bulan sehingga menghalangi pemeriksaan.

“Kalau benar sakit, seharusnya ada putusan pengadilan yang menyatakan bersangkutan sakit permanen dan tidak bisa menjalani proses hukum,” kata Haryati kepada Rappler.

Menurutnya, jika kasus ini tidak dikawal, bisa jadi pelakunya tidak tersentuh hukum, sebagaimana kasus perdagangan anak pada 2012 yang juga menyeret nama terduga pelaku yang sama.

“Kalau surat dokter bisa menghentikan penyelidikan, ini akan menjadi yuriprudensi bagi kasus serupa di masa mendatang. Korbannya akan semakin bertambah,” kata Haryati.

JPPAS menyebut tidak tertutup kemungkinan untuk memperjuangkan langkah hukum lain seandainya proses penyelidikan di Polres Sukoharjo tidak membuahkan hasil, yakni dengan mempertimbangkan untuk membawa kasus perdagangan anak dan pelecehan seksual itu ke Polda Jawa Tengah. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!