Komisioner Komnas HAM: Dakwaan selaras dengan penyelidikan Komnas HAM

Rika Theo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komisioner Komnas HAM: Dakwaan selaras dengan penyelidikan Komnas HAM
Dianto merupakan satu-satunya anggota Komnas HAM yang datang ke IPT 1965 dengan inisiatif pribadi


DEN HAAG, Belanda —Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi maju berbicara di Pengadilan Rakyat Internasional 1965, Kamis (12/11). Dianto menyatakan dakwaan yang sejauh ini diajukan jaksa selaras dengan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Dianto merupakan satu-satunya anggota Komnas HAM yang datang ke IPT 1965 dengan inisiatif pribadi. Sebab, lembaga negara itu sudah memutuskan tak mengirim orang ke IPT.

“Sampai hari ini, pengadilan sudah membahas 7 dakwaan penuntut. Semuanya koheren dengan hasil penyelidikan Komnas HAM,” kata Dianto di depan para hakim. Ia kemudian mengungkapkan kebuntuan penuntasan kasus 1965 di jalur hukum Indonesia.

Sejak 1 Juni 2008 sampai 1 April 2012, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro-yustisia untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pro-yustisia adalah penyelidikan sebelum kasusnya masuk ke pengadilan. Hasil penyelidikan setebal 800 halaman itu sudah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal Kejaksaan Agung. Saat itu, dokumen tersebut masih rahasia karena memuat nama korban dan pelaku. Komnas mengacu pada asas praduga tak bersalah, sehingga tak membukanya ke publik.

Sampai lama, Komnas tak menerima jawaban dari Kejaksaan Agung Jika hasil penyelidikan diterima, proses akan berlanjut ke penyidikan. Tapi akhirnya setahun lalu, setelah Joko Widodo menjadi presiden dan Jaksa Agung baru menjabat, jawaban itu datang.

“Kami terima 1 dus penuh, bukan hanya tentang kasus 1965, tapi seluruh kasus. Mereka sampaikan catatan-catatan a, b, c, d untuk kami perbaiki. 30 hari kemudian kami kirim balik, tapi sampai sekarang kami belum mendengar lagi,” kata dia.

Beberapa bulan kemudian, Jaksa Agung malah kemudian menyatakan akan menyelesaikan kasus dengan cara non yudisial, yaitu melalui jalan rekonsiliasi. “Rekonsiliasi bisa saja. Tapi rekonsiliasi harus dimulai dengan pengungkapan kebenaran. Bagaimana berdamai kalau tidak tahu mana yang benar dan tidak?” ujarnya.

Terlebih, UU No.26/2000 tentang Peradilan HAM menyatakan bahwa rekonsiliasi diatur dalam payung hukum sendiri. Hanya saja, sampai sekarang UU Komite Rekonsiliasi Nasional tidak jelas nasibnya.

Menurut Diyanto, Komnas HAM masih menuntut keputusan Kejakgung, apakah menerima atau menolak. “Secara hukum kalau menolak, mereka harus mengeluarkan surat penghentian. Sehingga kita masyarakat di Indonesia bisa tahu apa alasan hukumnya sehingga tidak bisa disidangkan. Kami tdak pernah tahu apa alasan kenapa Kejakgung belum memutuskan. Saya tidak melihat bahwa Kejakgung menolak hasil penyidikan Komnas HAM. Saya menyebu ini delay berkepanjangan,” tegasnya. Dari 10 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, hingga saat ini hanya 3 kasus yang masuk pengadilan.

Dua lembaga, beda sikap
Dianto berbicara di depan hakim sebenarnya tidak ada dalam jadwal sidang. Sebab, ia datang sebagai pengamat atau observer. Terlebih, rapat Komnas HAM memutuskan untuk tidak memenuhi undangan IPT 1965.

Pada rapat itu, 3 suara mendukung, di antaranya Dianto dan Sandra Moniaga. Namun, 5 suara menolak, 3 suara abstain, dan 2 tidak hadir. “Saya datang karena saya konsisten dengan sikap saya yang mendukung. Karena saya menganggap ini penting dalam pengungkapan kebenaran. Dan saya datang dengan biaya pribadi,” kata Dianto kepada Rappler.

Hantu PKI
Menurutnya, IPT penting karena berguna untuk menekan negara bertanggung jawab. Jika tidak, kata dia, kita akan terus menyaksikan impunitas pelaku, dengan hantu PKI yang terus dihidupkan. Hantu PKI ini digunakan un tuk berbagai kepentingan, termasuk soal lahan. “Saya sudah sejak lama mendampingi kasus ini. Banyak kasus pengambilalihan lahan yang terjadi akibat hantu PKI. Ribuan hektar tanah diambil alih dengan mengancam masyarakat bahwa tanah itu adalah tanah hasil kerja komunis. Jika tidak menyerahkan, akan di-Buru-kan,” kata dia.

Berbeda dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan yang sama-sama lembaga negara memutuskan untuk hadir di IPT 1965. Wakilnya, Mariana Aminuddin, datang dengan surat jalan dari pemerintah dengan biaya pemerintah. “Pulang dari sini, saya dan teman-teman Komnas Perempuan akan melakukan tindakan follow up. Bagaimana masyarakat internasional mendukung di forum ini, akan menguatkan dan menjadi tambahan dokumen yang kami sampaikan kepada negara,” kata Mariana ketika bicara di sidang. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!