Indonesia

Mengenal ‘hate speech’ ala Orba: Bangun citra kejam PKI pasca 1965

Rika Theo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal ‘hate speech’ ala Orba: Bangun citra kejam PKI pasca 1965

Chris Woodrich

Proses pembentukan citra kejam PKI dimulai sejak 1 Oktober 1965 ketika Suharto menuduh PKI sebagai dalang

DEN HAAG, Belanda — “Menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke akar-akarnya,” kalimat ini akrab terdengar di telinga kita, sebagai warga negara Indonesia.

Itulah kalimat awal yang memicu kebencian dan mendorong tindakan brutal terhadap ratusan ribu orang. Kalimat ini hanya satu bagian propaganda yang disusun secara cermat.

Sidang hari ketiga Pengadilan Rakyat Internasional, atau International People’s Tribune (IPT), untuk tragedi 1965 membuka plot propaganda Suharto dan rezim Orde Baru dalam menghilangkan PKI dari Indonesia. Di dalamnya, PKI ditampilkan sebagai dalang kudeta. 

PKI adalah musuh pengkhianat negara karena dua hal yang menjadi inti propaganda dan hidup sampai sekarang: ateis dan anti-Pancasila. 

Propaganda berlanjut dengan menghidupkan gambaran kekejaman anggota PKI dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Anggota yang perempuan dicitrakan amoral, hiperseks, dan sadis.

“Propaganda ini menyebar luas ke dalam masyarakat, dengan mudah menciptakan ketakutan dan kemarahan terhadap PKI,” kata antropolog Universitas Amsterdam Saskia Wieringa.

Wieringa melihat, isu anti-agama atas PKI merupakan isu politik, bukan isu agama. Ini bisa terlihat jika membalik lembaran sejarah ke puluhan tahun sebelumnya.

“PKI tidak selalu dalam posisi bermusuhan dengan kelompok agama. Di era kolonialisme Belanda, PKI pernah bekerja sama dengan Haji Merah (Serikat Islam Merah) di bawah Haji Misbach untuk melawan Belanda. Haji Merah berpandangan Islam juga adalah tentang keadilan sosial,” ungkapnya.

Kedua kelompok ini bergabung karena menghadapi musuh bersama, yaitu Belanda.

Konflik baru mencuat kemudian setelah kemerdekaan.

“PKI, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), sukses menciptakan propaganda melawan para tuan tanah di desa-desa yang kebanyakan adalah para kyai. Mereka menyebut para kyai itu iblis desa. Ini tentu sangat menyakiti para kyai,” paparnya.

“Ditambah lagi dengan Lekra (organisasi kesenian PKI) yang mementaskan lakon berjudul Kematian Allah.”

Lalu situasi memanas dan pecahlah Peristiwa Madiun 1948.

Sedangkan soal anti-Pancasila, tidak sepenuhnya benar. Jika kelompok relijius Indonesia mayoritas menganggap sila pertama yang paling penting, PKI sebaliknya. Sila lainnya lebih penting dari sila pertama.

Plot Orba bentuk citra kejam PKI

TRAGEDI 1965. Suharto saat pemakaman 6 jenderal pada 2 Oktober 1965. Foto oleh Wikimedia

Menurut peneliti dan pengajar Universitas Gunadarma Wijaya Herlambang, proses sudah dimulai sejak 1 Oktober 1965 ketika Suharto menuduh PKI sebagai dalang.

Jenderal Omar Wirahadikusumah langsung melarang terbit seluruh media cetak, kecuali dua koran milik militer, Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata.

Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata memuat tulisan yang berfokus pada kisah-kisah bengis PKI saat kudeta. Pembentukan image PKI yang kejam, ateis, dan amoral dilancarkan di sini. Selain koran, pemerintah mulai mengajak masyarakat untuk menumpas PKI melalui radio. 

Kurang dari dua bulan kemudian, buku versi “pemerintah” tentang kejadian 30 September pun terbit. Penulisnya adalah sejarawan militer Noegroho Notosoesanto, atas perintah Jenderal A.H. Nasution.

“Hanya 1,5 bulan waktu penulisannya. Buku berjudul 40 Hari Kegagalan G30S itu mengulangi tuduhan Suharto bahwa PKI pelaku kudeta, tanpa investigasi lagi. Ini membuat buku itu tak bisa dipercaya,” kata Wijaya di depan sidang.

Nugroho merevisi buku itu di Amerika Serikat. Atas perintah Jenderal Suwarto, ia pergi ke RAND Corporation dan menulis di sana di bawah supervisi agen CIA bernama Guy Pauker.

Di buku itu, Nugroho mengonstruksi motif kudeta PKI. Tak lupa ia menggambarkan para pemimpin PKI sebagai politisi ambisius yang hendak menggulingkan Sukarno.

Buku ini menjadi buku suci atau buku putih Orba — satu-satunya sumber sejarah 1965 yang diakui pemerintah. Ia menjadi acuan bagi produk-produk propaganda selanjutnya, termasuk film Pengkhianatan G30S/PKI.

Sebenarnya ada satu versi alternatif kejadian 1965. Buku karangan tiga akademisi Amerika Serikat, salah satunya Ben Anderson itu selesai ditulis pada Januari 1966. Namun Orba melarang buku itu beredar di Indonesia.

Sementara, propaganda lewat jalur kultural berlangsung terus-menerus. Pada 1968, pemerintah membangun museum dan monumen Lubang Buaya. Pada 1974, kewajiban Penataran P4 dimulai. 

Pada 1980-an, Nugroho membereskan naskah film G30S/PKI. Film dirilis pada 1984 dan sejak itu seluruh anak sekolah wajib menontonnya saban tahun.

Pemerintah Orba juga menetapkan berbagai hari khusus yang harus diperingati, seperti Hari Kesaktian Pancasila.

Buku-buku pelajaran sejarah ditulis ulang. Kurikulum sekolah memasukkan pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. PKI digambarkan sebagai pengkhianat yang sadis, sementara militer adalah korbannya.

Produk-produk kultural juga menjadi media propaganda yang ampuh. Film-film propaganda berikutnya disebarkan, sebut saja Janur Kuning, Enam Jam di Jogja, dan Jakarta 1966: Sejarah Perintah 11 Maret.

Di dunia sastra, terbit karya-karya berlatar 1965 yang menggambarkan kekejaman PKI di majalah Horison dan Sastra. Esai-esai di media massa, novel, bahkan cerita rakyat menambah siar kebencian terhadap PKI.

Akibat dari satu sumber sejarah ini, kita lama hanya berpikir satu hal, bahwa PKI adalah pengkhianat dan harus ditumpas ke akar-akarnya. —Rappler.com

BACA JUGA 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!