Sapardi: Aku ingin menulis sastra dengan sederhana

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sapardi: Aku ingin menulis sastra dengan sederhana
Sapardi Djoko Damono meluncurkan novel terbarunya, ‘Suti’. Kata-kata yang sederhana adalah kekuatan puisi beliau selama 60 tahun berkarya

 

SOLO, Indonesia – Ratusan penikmat sastra rela menanti berjam-jam di Balai Soedjatmoko Solo untuk mendengarkan Sapardi Djoko Damono mengupas novel terbarunya yang berjudul Suti. Tetapi, penyair berambut putih keperakan yang tak lepas dari topi pet dan kacamata itu ternyata tak banyak bicara tentang novelnya.

Sastrawan senior kelahiran 20 Maret 1940 itu sebaliknya malah lebih banyak memberikan pembaca kesempatan untuk berbicara dan bercerita tentang karya-karyanya. Ia enggan menilai novelnya sendiri yang baru saja diluncurkan di Solo, Sabtu malam, 21 November, kemarin.

“Saya selalu menulis karya yang berbeda, tetapi saya tak bisa bercerita soal novel ini. Apa yang ada di kepala saya saat itulah yang saya ketik,” ujar Sapardi.

“Setiap pembaca bebas memahami dan mengintepretasi karya sastra, dan saya tak bisa mendikte mereka.”

Dalam menulis cerita, Sapardi hanya perlu mencari setting yang benar-benar ia tahu, sehingga tak perlu mengarang. Ia memilih latar cerita masyarakat Jawa di Solo, karena ia benar-benar mengenal kota kelahirannya ini, tempat ia tumbuh dan mengenyam pendidikan hingga SMA.

Ia kemudian menciptakan seorang tokoh yang hidup dalam dunia fiksi. Sapardi membawa dirinya masuk menjadi tokoh tersebut, lalu membiarkan kisahnya mengalir sendiri, tanpa sebuah plot. Sapardi tidak mencari ide cerita, ia mengikuti apa yang ingin ditulisnya ketika menjadi tokoh dalam cerita itu.

“Saya tidak mengendalikan Suti, Suti yang mengendalikan saya. Jadi saya tidak tahu bagaimana kisah selanjutnya, seringkali saya kaget, kok begini akhir ceritanya,” akunya.

Kata benda sebagai jembatan komunikasi

Sapardi berfoto bersama pembaca karya-karyanya saat peluncuran novel 'Suti' di Solo, Jawa Tengah, 21 November 2015. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Diceritakan dalam novel itu seorang perempuan bernama Suti yang menjadi saksi perubahan masyarakat pra-modern ke modern, dari sebuah kampung di pinggiran kota ke tengah kota besar. Suti bisa bergaul dengan gerombolan berandal maupun priyayi.

Ia kemudian terlibat masalah yang rumit dalam keluarga Den Sastro yang sulit ditebak ujung dan pangkalnya.

Banyak yang menduga bahwa kisah ini diilhami oleh pengalaman masa lalu penulis, namun Sapardi membantahnya. Semua cerita dan penokohannya adalah fiksi, yang tidak pernah ada dalam realitas. 

Sapardi adalah nama besar dalam dunia sastra Indonesia yang juga dikenal dengan inisial SDD. Tetapi, seperti halnya karya-karyanya yang lekat di benak pembaca, ia adalah pribadi yang tenang, tidak menggelegak, dan sederhana.

Ia berkarya apa adanya, mendekatkan pembaca lewat bahasa yang mudah dimengerti, lewat contoh dan kejadian yang mudah dipahami, namun seluruhnya indah dan bermakna. Kata-kata seperti hujan, kayu, api, abu, dan langit adalah benda-benda di sekeliling dipilihnya menjadi jembatan komunikasi Sapardi dengan pembaca.

“Kata benda itu saya pakai karena semua orang tahu dan bisa membayangkan, tidak perlu susah-susah mencari terjemahannya,” kata Sapardi.

Meskipun dalam bahasa yang sederhana, puisi atau novel Sapardi diakui banyak penggemarnya telah berhasil menyihir mereka. Puisi Aku Ingin, misalnya, ditulis berulang-ulang dalam berbagai bentuk, dijadikan soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991) karya Garin Nugroho, dan disampaikan oleh jutaan pria kepada perempuan yang dicintainya, bahkan kerap dijadikan kutipan dalam undangan pernikahan.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu

kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan

kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

Menurut Sapardi, ia tak bermaksud menjadikan puisi-puisinya romantis atau ditafsirkan macam-macam dengan makna yang dalam. Menurutnya, semua puisinya bermakna sederhana dan mudah dicerna, tidak perlu penafsiran.

Salah satu puisinya, Hujan Bulan Juni, misalnya, banyak menginspirasi orang karena kata-katanya yang sederhana tetapi indah. Tulisan yang ringkas, padat, dan menggunakan bahasa sehari-hari adalah kekuatan puisi-puisi Sapardi.

Dalam karya sastra, terdapat hal-hal yang kadang tidak masuk akal, seperti hujan di bulan Juni yang seharusnya masuk musim kemarau di Indonesia. Tetapi, bagi Sapardi, pekerjaan penyair itu justru mencari-cari agar yang tak masuk akal itu bisa menjadi indah.

 

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

 

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

 

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

Mengidolakan Rendra

Novel terbaru Sapardi, 'Suti', dipajang di samping buku kumpulan puisi 'Hujan Bulan Juni'. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Meskipun karyanya tak pernah sama, penyair yang kini berusia 75 tahun itu menganggap semua karyanya tak ada satu pun yang istimewa. Bahkan, ia sendiri sampai lupa tokoh dan karakter yang ia ciptakan dalam cerita pendek dan novel.

Tahun ini, misalnya, Sapardi membuat lebih dari 20 karya sastra. Semuanya ia kerjakan dalam waktu bersamaan. Ia lebih memilih mengikuti mood-nya untuk memulai tulisan yang ia inginkan, lalu berpindah ke yang lain, dan lainnya lagi, tanpa harus menyelesaikan lebih dulu.

“Karena seringnya berpindah tulisan, kerap kali tokoh-tokoh dalam cerita saya saling tertukar,” ujar penyair yang mengaku menulis puisi dan novel sama-sama sulit itu.

Sapardi juga menolak disebut penulis produktif. Lagipula, menurutnya, setelah menulis selama 60 tahun, suatu hal yang wajar jika ia menghasilkan ratusan karya.

Ia berkarya secara bebas tanpa tekanan waktu dan target karya. Itu sebabnya, ia bisa saja berhenti menulis selama tujuh tahun dan pada kesempatan lain justru sangat produktif menghasilkan karya, seperti menulis 18 puisi dalam semalam.

Menurut dia, menulis sastra bukan persoalan isi atau apa yang ditulis, melainkan tentang bagaimana cara penulis menyampaikannya. Sebuah topik yang sama bisa menghasilkan karya yang berbeda jika ditulis oleh orang yang berbeda pula. Cara penyampaian kepada pembaca itulah, bagi Sapardi, yang menentukan kualitas sastrawan.

“Cara penyampaian itu adalah dengan bahasa, sejauh mana penulis menggunakan bahasa dengan baik agar dipahami pembaca,” Guru Besar Universitas Indonesia yang dijuluki Profesor Puisi Indonesia itu.

Sapardi sudah menulis puisi sejak usia 15 tahun ketika di bangku SMP dan sering mengirimkan karyanya ke koran Penjebar Semangat. Lalu kesukaannya berkembang sejak mengenal WS Rendra, penyair yang juga lahir di Solo. Meskipun kedua sastrawan ini memiliki gaya berpuisi yang berbeda, Sapardi mengakui bahwa puisi-puisi Rendra yang membuatnya ia menjadi penyair.

“Saya pembaca karya Rendra, celakanya saya itu hanya bisa menjadi diri saya sendiri ketika menulis (tidak bisa mengikuti Rendra),” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!