Indonesia

Kemewahan helikopter dan sepotong pizza di Leicester

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kemewahan helikopter dan sepotong pizza di Leicester

AFP

Tidak banyak perombakan di Leicester City. Tapi tim yang baru musim lalu promosi ke Premier League itu berhasil menjadi kuda hitam Liga Inggris musim ini.

JAKARTA, Indonesia – Ada rutinitas baru yang selalu diingat warga Leicester setiap kali klub kota itu selesai bertanding. Suara bising helikopter memenuhi kota kemudian lamat-lamat menghilang ditelan angin. 

Kejadian seperti itu cukup unik bagi warga yang dengan sendirinya langsung menjadi bahan perbincangan seantero masyarakat kawasan East Midlands tersebut.

Maklum, sebagai kota tertua kedua di Inggris dan berpenduduk hanya sekitar 300 ribu jiwa, helikopter yang mengangkasa setiap akhir pekan adalah “kemewahan” yang langka. 

Dan suara helikopter  itu membawa pertanda yang pelan-pelan mulai jamak di benak mereka: owner klub Vichai Srivaddhanaprabha, seorang konglomerat Thailand yang mengakuisisi klub sejak awal 2011, sedang berada di kota tempat Raja Inggris abad ke-15 Richard III dimakamkan tersebut. 

Srivaddhanaprabha memang kerap datang untuk melihat timnya bertanding. Sejak menggantikan Milan Mandaric dari kursi chairman,pengusaha duty-free King Power Group itu kerap datang dengan helikopter pribadinya. 

Konglomerat Thailand 58 tahun itu menjadi bagian dari konsorsium investasi negeri Gajah Putih tersebut di dunia sepak bola. Payung perusahaannya bernama Asian Football Investments (AFI). 

Saat membelinya dari Mandaric, sorotan terhadap AFI tidak semeriah Qatar Investment Authority (QIA) yang membeli Paris Saint-Germain pada tahun yang sama. 

Penyebabnya tentu karena kekuatan finansial QIA yang lebih besar. Dengan dana jumbo, mereka langsung ambisius mencanangkan target muluk: dalam 10 tahun ke depan PSG harus jadi raksasa Eropa.

Beberapa nama besar duduk di jajaran kepelatihan dan direksi. Carlo Ancelotti yang dipecat dari Chelsea ditarik sebagai pelatih sedangkan legenda AC Milan asal Brasil, Leonardo, duduk sebagai direktur olahraga.

AFI jelas tidak bisa menyamai ambisi para taipan Timur Tengah itu. Kelas klub yang mereka beli, Leicester City, tidak berada di level Les Parisiens—julukan PSG. The Foxes—julukan Leicester—saat itu berada di kasta kedua sepak bola Inggris Championship. 

Mereka baru promosi ke Premier League musim lalu, 2014-2015 setelah selama 11 tahun tenggelam di Championship. Itupun di akhir musim Wes Morgan dkk sempat akan kembali ke mimpi buruk jurang degradasi. 

Mereka hanya berjarak 6 poin dari tim ketiga yang terjun ke kasta lebih rendah, Hull City.

Gaya pop ala Tinkerman

Hasil yang tak terlalu bagus musim lalu membuat klub memecat manajer Nigel Pearson. Tapi, ekspektasi fans dan media tidak juga meningkat saat klub mengumumkan penggantinya: Claudio Ranieri. 

Bahkan penunjukkan tersebut jadi bahan ejekan.

Ranieri dianggap bukan manajer yang hebat. Meski pernah menangani klub-klub Prancis, Spanyol, dan Italia, dia tidak pernah meraih gelar besar. Hanya 2 piala domestik, Coppa Italia (Fiorentina) dan Copa del Rey (Valencia).

Kepercayaan fans terhadap lelaki 64 tahun itu semakin menurun karena dia datang sebagai pelatih gagal timnas Yunani. Dari 5 pertandingan bersama Vasilis Torosidis dkk, Ranieri menderita 4 kekalahan dan sekali seri. 

Bahkan Yunani tidak pernah sekalipun menang di tangannya. 

Namun, pelan tapi pasti Leicester mulai berkembang. Perubahan yang dilakukan Ranieri tidak banyak. Dia tidak membuat perombakan besar-besaran seperti yang dia lakukan di Chelsea dan Monaco—yang dari kebiasaannya itulah dia mendapat julukan The Tinkerman alias tukang rombak.

Sang Tinkerman datang dengan mentalitas baru. Dua belas pemain utama dipertahankan. Beberapa asisten Pearson seperti Steve Walsh dan Craig Shakespeare masih digandeng. Begitu juga 3 asisten lain yang ikut membangun pondasi Leicester hingga berhasil promosi. 

Dua idola baru Premier League dari Leicester, James Vardy (pencetak 13 gol dalam 13 pekan) dan Riyad Mahrez, juga bukan pemain anyar Leicester. Mahrez sudah di klub sejak musim lalu sedangkan Vardy dua musim sebelumnya. 

Mereka berdua dibeli Leicester tak lebih dari 1,5 juta poundtserling. Ongkos sebesar itu bahkan tak ada 10 kali lipatnya dibanding Angel Di Maria yang gagal total di Manchester United dengan banderol 44 juta poundsterling dari Real Madrid. 

Namun, Ranieri masih mempertahankan gayanya dalam mendekati pemain. Sebelum laga perdana melawan Sunderland yang berakhir dengan kemenangan 4-2, dia memotivasi pemain dengan memutar lagu band Inggris Kasabian. Kebetulan, salah satu personil band adalah fans Leicester.

Pendekatan “pop” ala Ranieri bukan sekali ini dilakukan. Saat masih menukangi AS Roma, dia sempat ditegur FIGC (PSSI-nya Italia) karena mengajak pemain nobar film Gladiator. Bahkan kapten tim Francesco Totti sempat berfoto bareng bintang utama film Hollywoood tersebut, Russel Crowe. 

“Para pemain Roma adalah gladiator sebenarnya,” kata Ranieri membuat analogi, seperti dikutip Reuters.

Bersama Leicester dia juga membuat perjanjian. Jika tim mampu clean sheet alias tidak kebobolan sama sekali, dia akan menghadiahi mereka dengan mentraktir pizza. Dan jika mampu memuncaki klasemen seperti pada matchday ke-13 lalu, dia ganti mentraktir bir. 

Sejauh ini, strategi mentraktir pizza dan bir berhasil membuat Leicester memuncaki klasemen sementara Premier League. Ranieri mungkin perlu meningkatkan nilai traktirannya jika ingin menjuarainya. Atau masih terlalu dini untuk membahasnya? –Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!