Leicester City vs Manchester United: Tim minimalis melawan passing game idealis

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Leicester City vs Manchester United: Tim minimalis melawan passing game idealis
Selesai sudah pekan-pekan yang memanjakan. Saatnya Leicester City menghadapi kenyataan. Yang pertama, Manchester United.

JAKARTA, Indonesia—Banyak pemakluman terhadap kejutan Leicester City hingga menguasai puncak klasemen sementara Premier League hingga matchday ke-13. Salah satunya, mereka belum pernah menghadapi tim-tim favorit juara. 

Sepanjang 13 pekan, hanya Arsenal yang sudah mereka ladeni. Hasilnya, mereka kalah 2-5. Itu tidak hanya menjadi satu-satunya kekalahan pasukan Claudio Ranieri, tapi juga satu-satunya pertandingan yang melibatkan klub tangguh. 

Nah, mulai pekan ini, klub yang bermarkas di King Power Stadium itu bakal menghadapi hari-hari yang berat. Gongnya adalah saat The Foxes, julukan Leicester, menjamu Manchester United, Minggu, 29 November dini hari nanti.

Dalam lima pekan selanjutnya, Wes Morgan dan kawan-kawan harus menghadapi rival-rival tangguh. Kecuali Swansea City pekan depan, mereka berturut-turut harus meladeni Chelsea (kalau ini masih dianggap klub tangguh), Everton, Liverpool, dan Manchester City. 

Karena itu, ujian konsistensi bagi anak asuh Ranieri tidak hanya meladeni United nanti malam, tapi juga pekan-pekan berikutnya. Kemenangan melawan United akan membawa klub milik taipan Thailand Vichai Srivaddhanaprabha tersebut semakin meroket karena mentalitas dan performa lebih teruji.

Tapi, jika sampai kalah, apa yang sudah dibangun Ranieri bakal terancam. Sebab, fans dan pemain sudah mulai berekspektasi tinggi terhadap klub. Mereka sudah bermimpi finish lima besar. 

Karena itu, di tengah kepercayaan diri yang melambung, Ranieri berusaha tetap membumi. 

“Fans boleh bermimpi. Itu sah-sah saja. Tapi kami yang bekerja untuk sepak bola harus terus bekerja. Yang lain silakan bermimpi,” kata Ranieri seperti dikutip Guardian.

Manajer asal Italia itu bahkan menegaskan target paling konkret timnya musim ini: meraih 40 poin dan tidak terdegradasi dari Premier League. 

Cita-cita yang kelewat sederhana untuk tim paling produktif di Premier League dan hanya sekali kalah dalam 13 pertandingan.

“Saya tidak bisa mengubah target kami saat ini. Tujuan kami adalah bertahan di liga ini. Kami akan kukuh dengan dua kaki menjejak kuat di liga ini,” kata Ranieri. 

Target 40 poin tersebut jelas hanya akal-akalan Ranieri. Musim lalu raihan poin Leicester bahkan lebih baik daripada target mereka musim ini, yakni 41 poin. Jumlah poin tersebut sudah cukup bagi pengurus klub untuk memecat Nigel Pearson, manajer pendahulu Ranieri. 

Ranieri tampaknya ingin menjaga mentalitas pemain. Jangan sampai mereka tertekan dengan kemampuan mereka sendiri. Apalagi agenda berat segera tiba. 

“Sampai sekarang hingga Januari nanti kami akan bermain melawan tim-tim besar. Kami akan melihat apa yang terjadi,” katanya. 

Menjebak lawan dengan penuh tekanan

Kegemilangan Leicester di puncak klasemen tidak sebanding dengan statistik permainan mereka. Klub yang dalam satu dekade belakangan lebih banyak berkiprah di kasta kedua Liga Inggris itu memiliki rata-rata ball possession hanya 47 persen. 

Angka tersebut merupakan terendah ketiga di Premier League setelah Sunderland dan West Bromwich Albion (WBA). 

Penguasaan bola paling rendah Leicester adalah 30 persen. Itupun mereka mampu menang 2-1 atas West Ham United pada 15 Agustus lalu. Penguasaan bola paling besar hanya saat menang 3-2 atas WBA dengan 53 persen.  

Tak hanya angka statistik penguasaan bola yang mengejutkan dari Leicester. Akurasi umpan mereka juga parah. Mereka adalah tim dengan akurasi terburuk di Premier League. Hanya 73 persen. Sama seperti WBA. 

Bandingkan dengan Manchester United yang unggul segala-galanya. United adalah klub terbaik ketiga dalam hal akurasi umpan, 84 persen. Catatan rata-rata penguasaan bola mereka adalah yang terbaik di Premier League (55 persen) bersama Arsenal dan Manchester City.

Lantas, apa yang membuat Leicester hanya sekali kalah? 

Blue Army—julukan mereka—tak mengandalkan dua kategori itu, umpan dan penguasaan bola. Mereka hanya mengandalkan pressing ketat dan memanfaatkan setiap peluang sebaik-baiknya. 

Karena itu, jangan heran melihat Leicester kerap menyerbu para pemain lawan sejak rival-rivalnya masih berada di daerahnya. Jika bola berhasil direbut, mereka akan langsung merangsek ke kotak penalti lawan dan mencetak gol.

Skema tersebut didukung formasi 4-2-3-1 yang membuat banyak pemain Leicester berada di garis depan sejak menit pertama. Empat pemain (3 gelandang dan 1 penyerang) bisa langsung menekan lawan saat mereka baru membangun serangan.

Terkadang Ranieri memvariasikannya dengan 4-4-2 agar lebih konservatif bertahan saat sudah unggul. 

Jamie Vardy striker paling eksplosif

Pembeda dari skema tersebut adalah striker Jamie Vardy, gelandang Riyad Mahrez, dan Shinji Okazaki. 

Vardy mampu memanfaatkan sedikit peluang dengan tingkat akurasi tembakan yang cukup tinggi, 61 persen. Di antara 4 penyerang Premier League paling berbahaya, pemain 23 tahun tersebut yang paling agresif. Dia melepas lebih banyak tembakan (54 shots) dibanding rival striker lainnya.

Sumber: www.squawka.com

 

Karena itu, manajer United Louis van Gaal bakal mengantisipasi pergerakannya secara khusus. Dia bahkan menyebut Vardy sebagai striker yang “menjengkelkan”. 

“Dia sudah sangat menjengkelkan sejak musim lalu saat melawan kami. Dia mencetak gol dan mendapatkan penalti. Sekarang dia terus membuat gol dalam 10 laga berturut-turut dan sedang berusaha menambah rekornya. Ini sesuatu yang sulit dilakukan,” kata Van Gaal seperti dikutip Guardian.

Upaya untuk menghentikan serbuan Leicester bakal sulit bagi United. Sebab, bek-bek tangguh mereka seperti Luke Shaw, Anthony Valencia, dan Phil Jones sedang absen. Bek kiri kemungkinan akan diserahkan Ashley Young yang notabene seorang winger

Gelandang serang Ander Herrera juga belum bisa diturunkan. Dengan winger Juan Mata yang tidak terlalu bisa mendukung pertahanan, praktis tekanan Leicester hanya bisa dihadapi gelandang tangguh seperti Bastian Schweinsteiger dan Morgan Schneiderlin. 

Wayne Rooney juga bisa ikut berkontribusi dengan turun lebih dalam. 

Jika skema itu tetap tak bisa menahan gempuran Leicester, tampaknya Vardy bakal terus meroket hingga memecahkan rekor Ruud van Nistelrooy dengan mencetak gol dalam 11 laga berturut-turut saat masih bergabung bersama Manchester United.Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!