SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia – Sebanyak empat film pendek bertema HAM diputar perdana, Sabtu 5 Desember 2015, dalam Festival Film Rekoleksi Memori di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kegiatan ini akan berlangsung sampai peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Kamis, 10 Desember.
Film-film ini diproduksi khusus untuk acara Rekoleksi Memori untuk memperingati Hari HAM tahun ini. Keempat film adalah “Tida Lupa” karya sutradara Asrida Elisabeth, “Tarung” karya sutradara Steve Pillar Setiabudi, “Saudara dalam Sejarah” karya sutradara Amerta Kusuma, dan “0990” karya sutradara Bayu P. Kecuali “0990” yang merupakan film fiksi, ketiga film lainnya adalah dokumenter.
Tida Lupa
Yulia Evina Bhara, yang merupakan produser keempat film ini, menjelaskan bahwa keempat film yang diproduksi adalah upaya untuk merumah-kacakan sejarah tentang tragedi kemanusiaan 65. Seperti “Tida Lupa”.
Di film ini Asrida bercerita tentang bagaimana orang yang berada di pelosok, di Pulau Flores nun jauh, kemudian bergabung menjadi anggota PKI yang merupakan partai resmi saat itu, akhirnya menjadi korban.
“Film ini menjadi ruang di mana untuk pertama kalinya saksi, korban yang selamat, dan keluarga dari korban yang hidup bercerita, setelah 50 tahun peristiwa itu terjadi,” ujar Astrida.
Saudara dalam Sejarah
Lalu Amerta Kusuma dalam “Saudara dalam Sejarah” bercerita tentang seorang anak bangsa yang bercita-cita tinggi untuk memajukan indonesia dengan ikut program Soekarno sekolah keluar negeri. berakhir dengan kenyataan: tak dapat pulang ke Indonesia pascatragedi 65. Ia pun akhirnya terpaksa hidup di luar negeri berpuluh tahun, dan tak bisa bertemu dengan keluarga di Tanah Air.
Tarung
Sedangkan “Tarung” bercerita tentang Sanggar Bumi Tarung yang merupakan perwakilan komunitas seni yang menjadi korban kekerasan Orde Baru.
Satu-satunya fiksi dalam film baru Rekoleksi Memori adalah “0990” yang berupaya menggambarkan sebuah dialog intim antara seorang tentara dan seorang tawanan; dialog tentang luka, kesetiaan, pengkhianatan, drama, dan teror.
Diungkapkan Bayu, dalam banyak peristiwa, tampak jelas kekerasan dan reproduksi kekerasan merupakan hak monopoli negara. Tak terkecuali bila negara dan sinema bekerja bersama untuk mereproduksi kekerasan dan teror, dengan mengatasnamakan sejarah.
“Sebagai generasi yang dilahirkan pada akhir dekade 80-an, penting kiranya bagi saya untuk tetap berkeyakinan bahwa sebagian sejarah bangsa ini dibangun melalui fiksi dan fantasi,” tutur Bayu.
Setelah pemutaran perdana, keempat film masih diputar selama Festival Film Rekoleksi Memori di Kineforum, TIM. Jadwal bisa dilihat di sini.
BACA JUGA:
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.