Setahun Paniai berdarah, keadilan masih jauh dari Papua

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setahun Paniai berdarah, keadilan masih jauh dari Papua

AFP

Rakyat Papua mati dalam ketidakadilan, tapi warga Jakarta sibuk disajikan drama saham PT Freeport

Mungkin jika masih hidup, Yulianus Yeimo (17 tahun), Apinus Gobai (16), Simon Degei (17), dan Alpius You (18), hari-hari ini akan sibuk belajar. Mungkin mereka akan pusing mempersiapkan ujian nasional April mendatang. Atau bocah-bocah baru gede tadi sedang sibuk memikirkan pacar mereka, atau orang yang mereka sukai. 

Tapi sayang, 8 Desember tahun lalu, remaja Papua tadi — tiga di antaranya masih usia SMA — mesti meregang nyawa akibat ditembak. Setahun setelah kejadian itu, keadilan belum juga sampai. Mungkin ia hilang ditelan hiruk pikuk sengketa politik pesing negara ini.

Satu tahun setelah tragedi Paniai, pemerintah Indonesia tidak juga belajar. Kekerasan demi kekerasan masih saja terjadi. Dalam tiga tahun terakhir kekerasan dan pembunuhan warga sipil di Papua menunjukkan angka yang mengerikan. 

(BACA: Siapa penembak warga Papua di Paniai?)

Dalam laporan tahunan hak asai manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada 2012, tercatat tujuh kategori kekerasan dengan rincian berikut: Total 139 peristiwa kekerasan menelan 40 korban warga sipil tewas dan 155 luka-luka; 10 polisi tewas dan 6 luka-luka, 3 TNI tewas dan 10 luka-luka, dan 3 Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) tewas serta 2 luka-luka. 

Sedang data ELSAM pada 2013 mencatat delapan kategori kekerasan dengan rincian: Total 151 kekerasan menelan korban 106 warga sipil tewas dan 220 luka-luka; 1 polisi tewas dan 10 luka-luka, 13 TNI tewas dan 5 luka-luka; serta terakhir 5 KSB tewas. 

Bagi saya, menyajikan statistik kekerasan selalu memberikan perasaan getir. Manusia-manusia yang ditindas itu direduksi menjadi sekedar laporan dalam angka. Mereka tak lagi dianggap manusia, melainkan sekadar komoditas, pengingat, dan juga penanda bahwa pemerintah kita masih juga belum dewasa.

Sepanjang 2014, ELSAM mencatat 102 kasus kekerasan dan pelanggran HAM yang dialami oleh warga Papua. Pada 2015 kekerasan juga masih terjadi dan korban sipil maupun militer berjatuhan:

  • Kasus penembakan dan pembunuhan para aktivis di Kabupaten Yahukimo yang diduga dilakukan oleh aparat Brimob pada 20 Maret 2015.  
  • Kasus penembakan di Kabupaten Dogiyai pada 25 Juni 2015. 
  • Kasus amuk massa di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015.  
  • Kasus penembakan di Kabupaten Timika pada 28 Agustus 2015. 
  • Dan kasus penembakan hingga mati di Kabupaten Kepulauan Yapen yang membunuh empat orang.

Mereka yang meninggal dan mati akibat kekerasan di Papua bukan hanya orang Papua, bukan hanya kelompok sipil bersenjata, namun juga pihak TNI dan Polri. Upaya memutus rantai kekerasan di Papua membutuhkan perubahan cara pandang aparat, politik, dan kebijakan keamanan di Papua, secara mendasar. 

”Tidak ada kematian yang terlalu baik, tidak juga ada kematian yang pantas. Kemanusiaan tidak mengenal profesi. Sudah terlalu banyak kematian yang melahirkan lingkaran dendam. Apakah kita akan memperpanjang kebencian ini?”

Namun, selama pendekatan keamanan berbasis militer dan represif menjadi pilihan solusi, selamanya, putra-putra terbaik dari polisi dan tentara kita akan mati sia-sia.

Baik warga sipil Papua dan juga aparat TNI/Polri yang mati akibat kekerasan di Papua punya keluarga. Tidak ada kematian yang terlalu baik, tidak juga ada kematian yang pantas. Kemanusiaan tidak mengenal profesi. Hak asasi manusia tidak mengenal pangkat. 

TNI/Polri yang terbunuh di Papua berhak mendapatkan keadilan, seperti juga ratusan warga sipil yang terbunuh tanpa ada kejelasan dan kepastian hukum. Sudah terlalu banyak kematian yang melahirkan lingkaran dendam. Apakah kita akan memperpanjang kebencian ini?

Tentu melelahkan membicarakan angka. Apalagi angka yang berkaitan dengan korban kejahatan kemanusiaan. Mereka lebih dari sekadar angka. Mereka adalah manusia yang mati dibunuh, atau menderita disiksa, atau bahkan dicabut hak-hak sipilnya.

Sejumlah mahasiswa mendesak pemerintah menolak perpanjangan kontrak PT Freeport di Papua yang dinilai merugikan rakyat Indonesia. Foto oleh Ari Bowo Sucipto/Antara

 

Manusia-manusia di Papua berkali-kali disakiti. Lalu belakangan kita, orang-orang di Jakarta, dengan pongah membicarakan tentang saham perusahaan tambang emas PT Freeport Indonesia, sementara kasus kejahatan kemanusiaan yang ada bahkan tidak dibahas sama sekali.

Kemanusiaan macam apa yang membincangkan tentang kasus pencurian tanpa melibatkan tuan rumah? Emas yang diambil oleh Freeport adalah emas milik bangsa Papua yang diambil dari tanah-tanah kelahiran mereka. Pengadilan yang mengadili maling semestinya melibatkan tuan rumah sebagai korban. 

Tapi hari-hari terakhir kita ditunjukan tontonan menggelikan bagaimana heroiknya Presiden Direktur Freeport, sementara pada 1 Desember lalu, empat orang di Papua ditembak. Adakah pengadilan terbuka untuk mereka?

Lalu orang-orang Jakarta dengan pongah membicarakan tentang saham Freeport, sementara kasus kejahatan kemanusiaan yang ada tidak dibahas sama sekali.

Kabar tentang balita Papua mati akibat penyakit misterius juga tidak membuat republik ini guncang atau khawatir. Jelas, untuk apa khawatir? Kasus penyakit misterius ini hanya terjadi di Papua dan membunuh anak-anak dari mama-mama Papua. 

Mungkin pemerintah kita, Kementerian Kesehatan kita, dan media-media akan ribut luar biasa jika kasus itu terjadi di Jawa dan membunuh balita-balita kita. Ini pikiran yang jahat memang dan saya ingin sekali salah, tapi siapa yang peduli?

Hari ini, pada 1964, seorang pria besar lahir. Namanya Munir Said Thalib. Ia adalah salah seorang pejuang hak asasi kemanusiaan terbaik yang bisa dimiliki negeri ini. Munir berjuang membela kemanusiaan siapapun, tidak peduli kelompok Islam, kelompok non-Islam, siapapun yang mengalami ketidakadilan, sedapat mungkin akan diperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan. 

Sayang, Munir mesti mati diracun arsenik pada 7 September 2004. Hingga hari ini kasusnya tak beranjak seincipun menuju keadilan. 

Pollycarpus, orang yang dianggap bertanggung jawab, toh telah ditahan dan kini menikmati kebebasan. Tapi siapakah pelaku lainnya? Arsitek yang merancang pembunuhan ini, tak pernah benar-benar terungkap.

(BACA: Memberi Munir arti: Impunitas dan sulitnya memperjuangkan keadilan)

 

Mungkin, seperti juga kasus Paniai, kematian Munir hanya sekadar statistik. Ia tak perlu disidang secara terbuka, seperti bagaimana Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, melakukan persidangan secara terbuka di hadapan masyarakat Indonesia. Sudah selesai, kata Wakil Presiden kita.

Apa yang bisa diharapkan dari rezim pemerintah yang mengkhianati nawa citanya sendiri? Penegakan HAM, restorasi hukum, dan implementasi keadilan tanpa impunitas. 

Barangkali dulu saya terlalu naif untuk percaya ada orang yang mau menegakkan hak asasi manusia. Retorika kampanye dan juga mimpi indah merupakan salah satu strategi politik untuk mencapai kekuasaan. Barangkali saya salah, tapi melihat bagaimana pemerintah ini bekerja, saya meragukan empati dan kemauan politik pemimpin kita bersikap soal Papua dan kasus pelanggaran HAM lainnya.

Barangkali ini bukan soal empati, bukan soal kemauan politik mengakhiri kekerasan di Papua. Ini soal sikap keras kepala. Koppig. Dari pemimpin yang lebih memilih ribut soal wibawa negara, ketimbang, menegakan keadilan bagi warga Papua dan korban impunitas kejahatan HAM lainnya. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!