Bicara seks: Hobi mengomentari tubuh perempuan dengan negatif

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Hobi mengomentari tubuh perempuan dengan negatif
Ada yang salah entah di mana, yang menjadikan orang berpikir bahwa tidak salah untuk mengomentari tubuh seseorang



Seks berkaitan erat dengan tubuh. Boleh dong, saya bicara tentang tubuh. Tubuh perempuan. Kenapa? Kalau menurut saya sih (nanti dicap seksis lagi, ya terserah deh) tubuh laki-laki tidak begitu menarik diperbincangkan. Apa sih selain buncit versus six pack sama ukuran penis (laki-laki bisa merah padam kalau dengar obrolan cewek-cewek tentang penis, sambil makan siang). Sedangkan hampir setiap inci tubuh perempuan selalu bisa diperbincangkan. 

Waktu saya bilang ke beberapa orang bahwa saya akan menulis tentang body shaming, ada dua reaksi. Ada yang seketika paham dan “Iyaaa!! Aku sering banget digituin, sebel”. Ada pula yang “Apa itu?”. Dalam sebuah kalkulasi ngawur, yang mempertanyakan apa itu body shaming jumlahnya dua kali lebih banyak daripada yang langsung menyahut antusias.

Saya paham kenapa body shaming masih menjadi istilah atau konsep yang asing. Setidaknya di lingkungan saya (padahal ya perasaan sudah lumayan sophisticated dan nge-urban loh). Jadilah saya jelaskan secara singkat konsep body shaming lengkap dengan contoh paling nyata: diri sendiri.

“Kamu kurusnya kurus jelek”.
“Kamu kurus banget, nanti susah punya anak lho” (memutar bola mata)
“Kalo kamu gendutan pasti cakep deh” (seolah pujian padahal bukan).
“Itu bahu apa tempat sabun?”

Secara sederhana, body shaming adalah komentar tak pantas dan tak diinginkan yang terkadang diikuti dengan melekatkan stigma negatif atas citra tubuh tertentu. Asingnya konsep body shaming menurut saya terjadi karena konsep itu konsep yang sangat spesifik, dalam subjek bahasan yang hanya digeluti segelintir orang. Atau belum jadi isu di negeri ini.

Atau memang, mengomentari tubuh orang dianggap bukan sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak perlu dianggap serius, tidak perlu dimasukkan hati, tidak perlu dipikirkan, apalagi sampai dijadikan bahan tulisan. Konsep body shaming mungkin dianggap sepele karena “Apaan sih, lebay deh”. Atau “Nggak ada maksud jelek”. Atau “Itu kan cuma bercanda”.

Nah justru di situ salahnya. Bahwa negativitas disikapi dan diterima sebagai sebuah kebiasaan. 

Kita tinggalkan sejenak tentang “negativitas” dan mari bicara lagi tentang konsep body shaming. Ada banyak sih jenis-jenis body shaming. Ada fat shaming. Bahwa orang dengan berat badan berlebih dianggap tidak menarik secara estetis dan juga stereotipe negatif lain. Ini lalu memunculkan pembelaan “real women have curves”.

Di sinilah saya jadi benci Meghan Trainor. Bahwa video klipnya berwarna-warni pastel dengan gaya yang menggemaskan tidak mengubah fakta bahwa lagu itu sebenarnya skinny shaming, menganggap perempuan kurus itu “lawan” mereka yang di-fat shaming. Mbak Meghan, real women itu ya bentuknya macam-macam, mau kurus kering berdada rata atau badan semlohay montok.

Semua perempuan bisa jadi real women apapun bentuk tubuhnya. Mereka real women kalau berdaya, bisa bebas berekspresi, dan tidak merendah menyembunyikan dirinya hanya demi berkompromi dan menjalani hidup sesuai apa yang masyarakat inginkan dari dirinya. Itu baru real women. Kalau mau membuat pesan yang empowering tentang menjadi diri sendiri ya bukan dengan merendahkan yang lainnya dong (lah jadi personal).

Jangan dikira yang kurus tidak kena stigma atau komentar tidak menyenangkan dan tidak diminta. Jangan dikira hidup orang kurus lebih mudah. Jangan dikira jadi kurus itu enak, bisa gampang cari baju. Cari lingerie susah loh. Cari bra susah loh, harus ke bagian remaja atau malah sports bra (ya meski ada juga yang dikaruniai keindahan bak Emily Ratajkowski atau Gigi Hadid).

Jangan dikira yang kurus tidak pernah mengalami body issues atau masalah percaya diri. Mulai dari dikatain depresi lah (yang meski sekarang bahagia pun tetap dicap depresi karena berat saya tidak keliatan nambah meski ngemilnya rendang), dicap anoreksia lah, bahkan hingga dikomentarin susah punya anak (makasih, tapi anak tidak ada dalam pikiran maupun rencana saya ke depan), atau bahkan saat foreplay dikatain “Kalau gemukan kan t*teknya gedean, jadi gemesin”. Kira-kira begitu. Lupa. Keburu sakit hati. Hahaha.

Perempuan, berapapun usianya, seperti apapun bentuk tubuhnya, apapun perannya, sebagai lajang, anak, ibu, tidak lepas dari body shaming. Yang paling parah terjadi pada perempuan yang baru saja menjadi ibu. Bayangkan betapa menakjubkannya tubuh perempuan. Bisa menampung dan menjaga kehidupan dan kemudian melahirkannya bertaruh nyawa.

Tapi selepas mengalami proses paling menentukan dalam kehidupan, dia diharapkan memenuhi standar penampilan tertentu dalam waktu yang tidak masuk akal. “Ya ngerti sih habis melahirkan, tapi ya tetap jaga badan juga sih” atau “Badan ngga bisa bohong, lengannya lengan ibu-ibu”. Anda pikir para selebritis itu tampak sempurna sekejap sehabis melahirkan? Tidak. Percaya deh, saya kerja di media.

Kembali ke soal tubuh. Tubuh perempuan benar-benar cermin semua proses hidupnya. Semua perubahan emosi, perjuangan bertahan hidup, kecemasan, kesedihan, ketakutan, pergulatan internal akan terlihat karena tubuh perempuan adalah medan laga, dan semua ketidaksempurnaan yang nampak di permukaan adalah battle scars. Setiap tanda lahir, setiap urat yang terlihat, setiap selulit, setiap stretchmark. Kalaupun ingin berubah, menambah berat, mengurangi berat, jangan karena orang lain. Berubah karena memang diri ingin, mau, butuh, dan harus berubah.

Nah anehnya menurut pengalaman saya sendiri, biasanya pelaku body-shaming ini kebanyakan justru sesama perempuan lho. Entah apakah karena saya sudah kebal dengan perkataan teman laki-laki saya dan menerima mereka apa adanya, atau karena mereka takut saya jadikan objek tulisan jadi ngga pernah komentar, atau komentarnya santai saja jadi saya tidak tersinggung? Semacam “Berat lo berapa sih, kog ngga kerasa di motor”. Entahlah. Tapi dari perkiraan berdasarkan memori, para pelaku body-shaming, atau dalam kasus saya skinny-shaming, kebanyakan perempuan. Apa motivasinya, entahlah.

Saya masih yakin beberapa yang mengatakan komentar tidak diminta atas tubuh tadi itu bisa jadi benar-benar peduli, setidaknya ketika berkomentar. Saya, dan teman-teman saya yang kurus yang di-skinny shaming itu makan kok, cuma ya makannya sedikit. Alias sedikit sedikit makan. Jangan salahkan genetika dan metabolisme kami. Pengen loh, nambah beberapa kilo yang didistribusikan secara spesifik di tempat tertentu.

Beberapa yang lain lagi mungkin cuma sirik, atau penasaran saja, atau tidak punya bahan obrolan dan bingung harus menyapa apa. Kalau ngga ada hal baik yang bisa dikatakan, lebih baik diam. Tidak usah basa-basi. “Serius lhoh, kamu kurus banget. Kamu makan vitamin blab la bla”. Atau “Coba kamu hamil deh, kan gemuk” (kisah nyata). “Kamu sih enak bisa pakai baju apa aja”. Oh ya tentu saja. Siapa yang ngga seneng bisa pakai skinny jeans, leather legging, atau pakai dress-dress lucu, bebas pakai kemeja tanpa khawatir harus pakai peniti antar kancing. Tapi apapun alasannya, taste your words before you spit them out. 

Mereka yang kurus, atau sebaliknya, mereka semua perempuan yang punya cerita. Tahukah Anda alasan di balik bentuk tubuh mereka? Tahukah Anda ada emosi, ada pikiran, ada perasaan, ada manusia di balik kulit dan lemak (atau tulang) itu? Tahukah Anda mereka juga pengen membalas komentar tak diminta Anda tapi memilih diam daripada memicu konflik yang dangkal dan tidak perlu.

Tubuh perempuan adalah dan selalu jadi milik publik. Karena milik publik, tubuh jadi subjek komentar atau pendapat yang paling mudah dijadikan sasaran. Jadi kamu mau saya gemukan? Ya yang realistis dong, temani saya makan. Atau ajak dan temani saya berolahraga dong (apapun asal jangan yoga dan lari, bikin cranky). Atau sebaliknya. Kalian mau saya kurusan? Temani saya, ikutan jogging dan diet sehat dong.

Ada yang salah entah di mana, barangkali dalam proses penanaman nilai-nilai kesopanan dan umum, entah oleh siapa, entah karena apa, yang menjadikan orang berpikir bahwa tidak salah untuk mengomentari tubuh seseorang. Kalau dari awal dianggap salah ya Tulus ngga bakal menciptakan lagu judulnya Gajah. Dalam kondisi ideal teman-temannya tidak akan mengejek dia karena bentuk tubuhnya.

Oke baiklah, itu guyonan masa kecil. Lalu kenapa tingkah laku yang “masa kecil” itu, yang bicara tanpa memahami konsekuensinya, dibawa hingga dewasa? Tidakkah idealnya manusia tumbuh, sejalan antara tubuh dengan perkembangan emosional sosial dan psikologisnya? Menjadi lebih saling mengerti dan memahami manusia lain? Atau malah jadi makin egois dan self-righteous sehingga semua alasan dan pengakuan jujur atas ketidaknyamanan yang diakibatkan body shaming lantas dianggap “lebay” atau “sensi” semata.

Kita tidak akan bisa berubah jadi lebih baik ketika kita bahkan tidak bisa jujur dan nyaman membicarakan segala sesuatu. Sesuatu sesederhana kenyamanan atas tubuh. —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!