Leicester City vs Chelsea: Claudio Ranieri menagih karma Roman Abramovich

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Leicester City vs Chelsea: Claudio Ranieri menagih karma Roman Abramovich

EPA

Ada dendam yang tersembunyi dalam laga Leicester City vs Chelsea. Bentrok kedua tim memang profesional. Tapi, ada yang menganggapnya sangat personal

JAKARTA, Indonesia — Apakah kamu percaya karma? Kalaupun benar-benar ada, ia kerap bekerja sangat lamban. Misalnya dalam kasus manajer Leicester City Claudio Ranieri.

Butuh 11 tahun bagi allenatore (pelatih) asal Italia itu untuk membuktikan bahwa keputusan owner Chelsea Roman Abramovich memecat dirinya 11 tahun lalu adalah kesalahan besar.

Proses pemakzulan Ranieri juga sangat menyakitkan. Nasibnya sudah berada di ujung tiang gantungan, bahkan sebelum dia sempat merampungkan tugasnya di klub London Barat tersebut.

Beberapa jam sebelum timnya bertarung habis-habisan melawan AS Monaco di semifinal Liga Champions 2003-2004, para pejabat Chelsea bertemu dengan pelatih FC Porto saat itu Jose Mourinho.

Tak tanggung-tanggung, pemilik klub Roman Abramovich dan chief executive Peter Kenyon turun langsung menemui pelatih Portugal tersebut.

Saat mereka mengumbar senyum, berjabat tangan, dan mungkin cipika-cipiki menyepakati kontrak kepelatihan musim selanjutnya, Ranieri seorang diri berteriak dari pinggir lapangan. Menyemangati anak asuhnya yang dihancurkan Monaco 3-1.

Ranieri bahkan tak diberi waktu untuk membuktikan dirinya layak. Musim sudah berakhir untuknya, meski beberapa laga masih tersisa. Empat pertandingan Premier League dan second leg Liga Champions melawan Monaco. Sejumlah media Inggris menyebut kondisi Ranieri seperti zombie, “Dead man walking.”

Insiden itu membuat mantan pemain AS Roma tersebut mulai belajar bagaimana rasanya ditikam dari belakang. Pengkhianatan memang pahit.

“Penampilan tim kala itu memang buruk. Kami sedang berusaha mengubah segalanya. Kemenangan melawan Monaco akan mengangkat mental para pemain. Tapi, mereka menghancurkannya,” kata Ranieri dalam wawancara dengan Corriere Della Sera

“Jika usia saya lebih muda, saya mungkin akan bereaksi berbeda,” imbuhnya.

Cinta yang bertepuk sebelah tangan

 
//

Claudio Ranieri thrilled to see #lcfc top of the table ahead of this weekend’s games http://leic.it/1RijsEn #LeiChe

Posted by Leicester City Football Club on Sunday, December 13, 2015

Kecintaan Ranieri pada Chelsea memang tak berbalas. Sejak menggantikan kursi Gianluca Vialli pada 2000, dia membangun fondasi tim hingga menjadi salah satu kekuatan baru Premier League.

Di musim terakhirnya itu, dia sempat memohon kepada Abramovich agar dirinya tidak dipecat di tengah jalan. “Biarkan saya selesaikan dulu tugas saya,” katanya

Ranieri membawa Chelsea menjadi sebagai runner up Premier League untuk pertama kali sepanjang 49 tahun sejarah klub. Mereka juga menembus semifinal Liga Champions. Tapi Abramovich tak ingin melihatnya lagi di Stamford Bridge. Dia bergeming meski fans dan para pemain meminta Ranieri bertahan.

“Padahal saya mulai membangun tim ini. Saya baru menyelesaikan fondasi dan lantai bawah. Rumah ini belum selesai,” katanya seperti dikutip BBC

Kata-kata Ranieri akhirnya terbukti. Di musim pertamanya, Mourinho langsung menjuarai gelar domestik dengan mengandalkan pemain-pemain yang sudah dia datangkan. Mulai dari Frank Lampard, William Gallas, John Terry, Claude Makalele, hingga Wayne Bridge.

Para pemain yang datang kemudian seperti Didier Drogba dan Arjen Robben sejatinya adalah target manajer berjuluk Tinkerman (tukang rombak) tersebut untuk direkrut kemudian.

Sejak pemecatan itu, Ranieri sampai saat ini masih puasa bicara dengan Abramovich. Dia memang tak perlu berkomunikasi lagi dengan konglomerat Rusia itu. Sebab, papan klasemen Premier League sudah lebih dari cukup untuk mengatakan apa yang ia rasakan.

Ranieri hanya perlu menyempurnakan karma untuk Abramovich. Caranya, mengalahkan Chelsea, pada Selasa, 15 Desember, pukul 03.00 WIB dini hari.

Kekalahan akan membuat The Blues hanya berada dua tingkat dari zona degradasi. Dan kemenangan akan membuat kekuasaan Leicester di puncak klasemen semakin langgeng.

Chelsea bakal memaksa Leicester bermain lambat

TOP SCORER. Penyerang Leicester City James Vardy menjadi 'top scorer' sementara Liga Inggris dan belum lama ini baru saja memecahkan rekor mencetak gol secara berturut-turut milik Ruud van Nistelrooy. Foto oleh Lindsey Parnaby/AFP

Leicester tak memiliki banyak masalah dalam komposisi skuad, begitu juga Chelsea. Dua andalan mereka, winger Riyad Mahrez dan striker Jamie Vardy, siap diturunkan dalam formasi 4-4-2.

Begitu juga Mourinho. Formasi andalan 4-2-3-1 siap tampil dengan para pemain reguler.

Namun, Mourinho harus berpikir keras untuk menyiasati kegesitan serangan balik lawan. Vardy bisa menyasar wilayah gerak bek kanan Branislav Ivanovic yang mulai menurun performanya. Sementara, Mahrez—yang kerap dipanggil Road Runner oleh Ranieri karena kecepatannya—bisa membuat kekacauan di sektor sayap kiri Chelsea.

Di sisi lain, Mourinho bisa meniru strategi manajer Manchester United Louis van Gaal saat menahan Leicester 1-1 pekan lalu. Mereka bermain dengan garis pertahanan rendah. Itu membuat lawan tidak punya kesempatan untuk membuat umpan terobosan.

Selain itu, dua gelandang bertahan harus sering-sering turun demi meredam kegesitan lawan. Tempo permainan juga harus lambat. Barisan bek sebaiknya tak terlalu banyak membantu serangan.

Namun, skenario itu berisiko hanya menghasilkan laga imbang. Tapi, imbang lebih baik bagi Mourinho. Daripada dianggap tidak becus menyelamatkan muka bos besarnya: Abramovich. — Rappler.com 

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!