Untuk LGBT, ‘coming out’ adalah pilihan pribadi bukan paksaan

Amahl S. Azwar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Membuka diri, melela, atau ‘coming out’ merupakan pilihan pribadi individu-individu LGBT. Lakukan ini untuk diri Anda sendiri, jangan untuk orang lain

'Coming out' adalah pilihan pribadi yang harus datang dari diri sendiri. Bukan karena paksaan. Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa/Magdalene.co

“Kok elo bisa suka sama laki-laki? Sejak kapan?” 

“Terus kamu sama sekali enggak ada ketertarikan sama perempuan?”

Pertanyaan-pertanyaan senada biasanya dilontarkan setiap kali status saya sebagai seorang gay menjadi perbincangan. Entah sekadar kepo, ingin menambah wawasan (?), atau memang kurang bahan obrolan saja.

Sejujurnya, saya sama sekali tidak punya masalah dengan orientasi seksual saya. Saya sudah mengetahui diri saya “berbeda” sejak masih kecil, sudah seperti ini sedari dulu, dan sama sekali tidak ada “trauma” yang membuat saya menjadi tidak tertarik dengan perempuan.

I am what I am. 

Saat ini, komentar-komentar miring memang sudah tidak terlalu mengganggu bagi saya. Namun, sewaktu saya masih berjuang dengan identitas diri sendiri, pertanyaan-pertanyaan tersebut terasa cukup memojokkan — membuat saya mempertanyakan diri saya sendiri.

Kisah SMA

Saya mulai aktif “mencari” teman-teman seperti saya ketika menginjak bangku SMA. Saya menyadari saya “berbeda” dengan teman-teman SMA. Secara naluriah, saya berusaha menemukan komunitas di mana saya bisa bergaul tetapi masih menjadi diri saya sendiri. 

Memang, belum ada aplikasi-aplikasi seperti Grindr yang bisa mencari people like me dengan teknologi GPS (tolong jangan bahas umur saya). Namun, saya masih bisa menemukan teman-teman baik untuk sekadar berbagi. 

Dunia maya membantu saya untuk mencari orang-orang seperti saya, sekalipun situs pertemanan yang tersedia pada saat itu hanyalah Friendster dan mIRC masih menjadi satu-satunya program untuk berbincang di Internet (sekali lagi, jangan bahas umur saya).

Berawal dari satu-dua teman di dunia maya, saya mulai  membangun jejaring sosial di dunia nyata. Ada sebuah kafe di kota tempat saya tinggal yang “terkenal” sebagai tempat nongkrongbagi teman-teman gay. Tempat ini ibarat Central Perk di serial TV Friends atau MacLaren’s di How I Met Your Mother bagi saya dan teman-teman saya.

Saya menemukan teman, teman tapi mesra, dan juga pacar dari komunitas tersebut — semua yang tidak bisa saya temukan di sekolah. 

Kafe yang saya bicarakan ini terletak di sebuah mal yang juga memiliki beberapa tempat nongkrong lain. Pada suatu waktu, rupanya beberapa teman SMA saya memergoki saya tengah berangkulan dengan seorang pria dan memasuki kafe tersebut.

Keesokan harinya, seolah-olah satu sekolah sudah mengetahui status saya sebagai seorang gay. Mulai dari cibiran di kelas, ejekan-ejekan di bus sekolah, sampai omongan-omongan lain yang tidak enak didengar harus saya hadapi setiap hari.

Saya masih ingat betul, ketika guru Bahasa Indonesia kami memberikan tugas makalah, salah satu siswa menulis tentang kafe tempat saya nongkrong dan betapa baginya semua itu sama sekali tidak normal dan, mengutip kata-katanya, semua itu “begitu mengkhawatirkan.”

Bagi beberapa orang, masa SMA merupakan masa yang paling indah. Bagi saya? Silakan Anda simpulkan sendiri. I was “outed”.

Membuka diri 

Sekalipun status saya sebagai seorang gay sudah diketahui banyak orang, tetapi ada satu orang yang perlu untuk mengetahui dan menerimanya — diri saya sendiri. 

Menginjak bangku kuliah, sekalipun keadaannya jauh lebih baik dibandingkan masa SMA, saya masih belum banyak membuka diri kepada teman-teman saya yang non-LGBT. Saya baru benar-benar “menerima” status saya dan bersikap terbuka menjelang kelulusan. 

Begitu pula ketika saya mulai bekerja. Butuh waktu bagi saya untuk terbuka mengenai status saya sebagai seorang gay dan bersikap kasual ketika membicarakannya. 

Saya beberapa kali membuka diri secara personal kepada teman-teman saya yang non-LGBT dan sepupu favorit saya, tetapi “coming out” yang paling berkesan bagi saya adalah ketika saya menuliskan status saya di dunia maya melalui jejaring sosial Twitter. 

Apa yang saya lakukan pada saat itu merupakan sebuah pilihan yang sudah lama dipertimbangkan — saya akhirnya memutuskan untuk memeluk identitas ini dan bukannya menutup diri. Saya tidak mau ketika saya meninggal dunia nanti, saya menyesal karena tidak pernah jujur terhadap diri saya sendiri.

Bukan berarti saya menantang teman-teman yang lain untuk coming out. Bagi saya, coming out merupakan pilihan pribadi yang harus datang dari diri sendiri. Bukan karena paksaan atau sekadar ikut-ikutan.

Membuka diri, melela (meminjam istilah Rio Damar), atau coming out merupakan pilihan pribadi individu-individu LGBT. Lakukan ini untuk diri Anda sendiri, jangan untuk orang lain. 

Yang jelas, perbedaannya bagi saya langsung terasa. Sikap saya yang terlalu sensitif menjadi berkurang, saya bisa lebih banyak tersenyum, dan saya mulai bisa melihat hidup dengan lebih optimis.

Saya memang masih menerima komentar miring, tetapi saya juga menemukan orang-orang yang bisa menerima diri saya apa adanya. Saya juga masih bisa berkarya dan memperoleh kesempatan-kesempatan sekalipun jati diri saya sudah terbuka.

I am what I am. 

Lalu bagaimana dengan keluarga saya? Tunggu kisah saya berikutnya. —Rappler.com

Amahl S. Azwar adalah penulis lepas yang kini tinggal di Shanghai, Tiongkok. 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!