5 negara Eropa buka pintu bagi minyak sawit berkelanjutan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 negara Eropa buka pintu bagi minyak sawit berkelanjutan

EPA

Kampanye promosi sawit Indonesia membuka jalan bagi produk yang ramah lingkungan untuk masuk ke pasar Eropa

JAKARTA, Indonesia — Ada kabar gembira bagi produsen minyak kepala sawit. Pekan ini, tepatnya pada 14 Desember, pemerintah lima negara di Eropa, yaitu Inggris, Denmark, Perancis, Jerman, dan Belanda menyepakati untuk memastikan produksi 100 persen minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil) pada 2020.

Para pejabat dari kelima negara itu menandatangani Deklarasi Minyak Sawit Berkelanjutan untuk mendukung pasokan minyak sawit berkelanjutan — atau minyak sawit yang diproduksi dengan ramah lingkungan — secara penuh.  

Kesepakatan Amsterdam ini dibuat untuk mendukung komitmen serupa yang telah dibuat oleh 11 organisasi perusahaan swasta. 

Kegiatan untuk mendukung komitmen 100 persen minyak sawit berkelanjutan di Eropa dibuat atas inisiatif dari Proyek Eropa untuk minyak sawit berkelanjutan. Upaya ini difasilitasi oleh inisiatif Perdagangan Berkelanjutan dan Industri Minyak dan Lemak Belanda.

Akan ada pendekatan yang lebih harmonis di antara negara-negara Eropa untuk memastikan penggunaan minyak sawit berkelanjutan dan menginspirasi perbaikan di kawasan lain. Hal ini dikatakan oleh juru bicara Federasi Eropa untuk Industri Minyak Sayur dan Makanan Berprotein (Fediol), salah satu organisasi yang ikut menandatangani Deklarasi Amsterdam.

Negara-negara di Eropa memiliki tanggung jawab karena kawasan ini menjadi pengimpor kedua terbesar di dunia untuk minyak sawit. Sebanyak 7,3 juta ton minyak sawit yang memasuki pasar Eropa setara dengan 12 persen dari produksi minyak sawit dunia.  

Indonesia adalah produsen 40 juta ton minyak sawit, sedangkan Malaysia 30 ton. Kedua negara ini menguasai 85 persen produksi sawit dunia.

Pada 11 Oktober 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyepakati pendirian dewan negara-negara penghasil sawit. Dalam acara di Istana Bogor itu, kedua pemimpin negara bersepakat membuat standar global baru produksi minyak sawit berkelanjutan.  

Tujuan membuat standar baru adalah menjadikan standar ramah lingkungan dan mampu menyejahterakan 4 juta petani di Indonesia dan 500 petani sawit di Malaysia. Kedua negara juga sepakat membangun zona ekonomi hijau.

(BACA: Ironi kesepakatan dewan kelapa sawit Jokowi dan Najib)

Perwakilan dari Fideol mengatakan bahwa pihaknya bekerjasama erat dengan inisiatif tingkat nasional, Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), dan asosiasi industri makanan di Uni Eropa, serta berkolaborasi dengan grup advokasi sawit berkelanjutan di Eropa.

RSPO adalah organisasi yang memberikan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan.

Barbara Gallani, Direktur Kebijakan dan Keberlanjutan Makanan dan Minuman di Badan Perdagangan Inggris mengatakan, “Tidak ada pemain individu yang dapat menangani sendiri tantangan keberlanjutan. Jadi, inisiatif sebagaimana yang baru dilahirkan, Komitmen Eropa, sangat krusial untuk mendorong perubahan secara sistematis di seluruh jaringan pemasok.”  

Barbara ikut menandatangani Deklarasi Amsterdam.

Penandatangan lain, Asosiasi Internasional Margarin di negara Eropa (IMACE), mengatakan bahwa tujuan 2020 terdengar ambisius namun bisa dilaksanakan.

Direktur IMACE Siska Pottie mengatakan, bersamaan dengan reformasi di RSPO, langkah lain juga diperlukan.

“Mendukung negara produsen untuk produksi secara berkelanjutan, memperbaiki kriteria, dan pendekatan global untuk menghentikan deforestasi hutan dalam pelaksanaan industri sawit diperlukan,” kata Siska.

Kabar dari Eropa ini tak lepas dari kampanye intensif yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Sejak Oktober tahun ini, BPDP melakukan perjalanan promosi dan advokasi minyak sawit Indonesia di beberapa acara di Eropa, mulai dari Milan, Paris, Jerman, Belanda, Kopenhagen, sampai Warsawa.  

BPDP ikut dalam sesi di Paviliun Indonesia di COP 21, atau Konferensi Perubahan Iklim di Paris, yang baru berakhir pekan lalu. (BACA: 4 hal tentang Indonesia di KTT Perubahan Iklim COP 21)

Kepala Eksekutif BPDP Bayu Krisnamurthi hadir dan berbicara dalam seminar yang diadakan oleh Kantor Perdagangan Belanda pada 7 Desember 2015.

“Mereka menantang untuk membuat pledge 2020. Bagi Indonesia tidak masalah. Kami sudah menekankan industri sawit berkelanjutan dalam tiga tahun terakhir,” kata Bayu.

Data Oktober 2015, yang dikutip dari RSPO, mengenai pencapaian sertifikasi minyak sawit yang berkelanjutan (CSPO), Indonesia sudah mencapai 74,4 persen dari total CSPO yang dicatatkan industri minyak sawit secara global. Itu berarti sekitar 2,56 juta hektar.

Dari jumlah itu, yang diproduksi petani kecil sawit adalah 166,380 hektar. “Di dunia, hanya Indonesia yang petani kecilnya juga sudah memenuhi CSPO,” kata Bayu.

Bayu menggarisbawahi bahwa memboikot minyak sawit bukanlah jawaban.

 “Produk minyak dari bahan lain belum tentu lebih sehat, tapi sudah pasti berdampak lebih buruk keberlanjutan lingkungan hidup,” kata Bayu, merujuk kepada produktivitas per lahan antara kelapa sawit dibandingkan dengan industri minyak kedelai dan minyak biji-bijian lain.

Dalam Paris Dialog yang digelar awal November, Bayu menyampaikan lima prioritas pembangunan sawit Indonesia, yang dapat dibaca di sini. —Rappler.com 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!